KURUNGBUKA.com – Sejak seratusan tahun yang lalu, orang-orang di tanah kolonial sudah menjadi pembaca yang sabar dan penasaran. Pembaca menanti beberapa hari untuk mendapatkan lanjutan cerita. Ia berjanji menjadi pembaca yang setia. Artinya, hadirnya cerita bersambung di surat kabar membuat peran pembaca sangat menentukan derajat pengarang dan keuntungan yang diperoleh penerbit surat kabar.
Ada yang membuat taktik: pemuatan cerita bersambung selama puluhan atau ratusan edisi. Selanjutnya, ada penerbitan buku. Pihak yang sadar kondisi pembaca memilih meneberbitkan buku berjilid-jilid, bukan satu buku yang utuh. Yang menyedihkan, ada beberapa cerita bersambung dari masa lalu yang terhenti atau tidak ketahuan akhirnya. Nasib cerita bersambung ditentukan surat kabar itu terus terbit atau bangkrut untuk menghilang dari pasar. Ada pula nasibnya akibat ulah pembaca atau sikap bermusuhan yang disampaikan beberapa pihak.
Pengarang tidak selalu beruntung. Kita mengingat dengan Kompas. Semula, cerita bersambung dimuat di Kompas. Di hitungan waktu yang cepat, cerita bersambung terbit menjadi buku oleh Gramedia. Ada pula yang menunggu waktu lama untuk bisa terbit menjadi buku, belum tentu oleh Gramedia. Di koran-koran yang lain, cerita bersambung biasa tanpa berlanjut menjadi buku.
Dulu, beberapa penerbit majalah memilih suguhan unggulan berupa cerita bersambung. Janji yang ditawarkan adalah mengajak pembaca mengikuti cerita, mengoleksinya dalam wujud buku. Namun, cuma beberapa majalah saja yang berani membuat kebiasaan penerbitan buku setelah cerita bersambung tamat. Yang seru adalah cerita bersambung belum selesai tapi buku sudah bisa dibaca oleh para penggemarnya.
Majalah bernama Amanah ikut menyuguhkan cerita bersambung. Yang dihadirkan adalah cerita-cerita yang memiliki misi dakwah atau berkaitan dengan ajaran-ajaran Islam. Majalah itu berhaluan Islam meski dibaca oleh umum. Majalah yang tidak berani memastikan beberapa cerita bersambungnya bertambah usia kehadirannya melalui terbitan buku.
Di majalah Amanah, 27 Maret 1987, pembaca mendapat cerita bersambung yang ditulis oleh Santi WE Soekanto. Dugaan saja, pengarang adalah istri Soekanto SA. Dulu, dua pengarang itu kadang hadir bareng dalam satu buku. Yang punya koleksi buku-buku terbitan Gaya Favorite Press dan Pustaka Jaya bakan menemukan namanya.
Cerita bersambung yang memudahkan pembacanya berairmata. Maka, cerita itu mudah berkesan, membuat pembacanya ingin terus mengikuti. Pembaca akan membeli majalah atau meminjam demi meneruskan cerita yang telanjur diikuti dan mengena hati.
Santi WE Soekanto mengisahkan: “Kupeluk. Kucium gundukan tanah merah itu. Satu persatu kupunguti kembang kemboja merah yang berguguran di atasnya. Kususun kembali dengan hati-hati dan kuletakkan di bagian atas dan kanannya, seolah-olah aku sedang bermain penganten-pengantenan seperti kecil dahulu. Dan gundukan tanah itu adalah pengantin yang kuhiasi rambutnya. Air mataku meluncur dan menetes ke tanah, menghilang tanpa bekas.”
Pembaca yang terbiasa menikmati cerita mengetahui adegan itu terjadi di kuburan. Mudah sekali memastikan: gundukan tanah, kembang kemboja, air mata, dan lain-lain. Mengapa pengarang memudahkan pembaca mengetahui kejadian dan perasaan tokoh? Di suguhan cerita bersambung, yang terpenting mungkin bukan kematangan berbahasa. Urusan terbesa adalah memikat pembaca, yang diharapkan mudah terjebak dalam penderitaan tokoh-tokoh. Derita lebih manjur ketimbang girang yang berulang.
Ingat, cerita bersambung dimuat dalam majalah yang berhaluan Islam. Yang terbaca lagi: “Mungkin kekeraskepalaanku itu menyebabkan Allah mengujiku. Empat tahun sesudah Fauzan lahir, aku tak pernah hamil lagi….” Sedihnya pelaku tidak boleh cepat selesai. Ramuan yang membuat cerita bisa panjang adalah mengumbar sedih tiada akhir. Buatlah pembaca habis air matas dan meratap di hadapan lembaran-lembaran majalah!
Cerita bersambung yang berjudul Dua Mutiara Hati itu memang memiliki pembaca yang memerlukan hikmah atau dakwah. Cerita bersambung tidak dibiarkan sia-sia tanpa muatan nasihat atau titipan misi berdakwah dari pengarang dan pelbagai pihak. Kita membayangkan ibu-ibu yang rajin pengajian di Indonesia abad XX menjadi pembaca cerita bersambung meski tidak lagi melalui koran atau majalah. Mereka bisa mengikuti cerita bersambung di gawai.
Yang seru lagi, anjuran membaca cerita bersambung dicontohkan oleh penceramah atau ahli agama yang biasa membuat ibu-ibu rajin belajar agama. Konon, cerita menjadikan dakwah memungkinkan bermain tafsir ketimbang ketetapan-ketetapan yang bisa menimbulkan sikap keras dan bertengkar. Namun, siapa yang masih menginginkan cerita bersambung saat tontonan-tontonan atas nama dakwah berkuasa di gawai setiap hari? Di majalah Amanah, kita setidaknya menemukan ceirta bersambung yang berdakwah meski tidak semeriah sambutan saat orang-orang mengikuti cerita bersambung di Femina atau Kompas.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







