KURUNGBUKA.com – Matra, majalah untuk pria. Majalah yang ikut membesarkan sastra di Indonesia. Majalah yang kemasannya apik dan mewah itu memberikan halaman-halamannya untuk sastra, terutama cerita pendek. Konon, honornya lebih besar dibandingkan majalah-majalah yang lain. Para pengarang bangga dan senang bila ceritanya dimuat di Matra.
Banyak pengarang terkenal yang ceritanya mejeng di Matra. Kita mengumumkan kembali cerita pendek gubahan Satyagraha Hoerip yang dimuat dalam Matra edisi Maret 1993. Siapa berani melupakan nama Satyagraha Hoerip? Sejak lama, ia rajin menulis cerita dan esai. Pada masa sibuk, ia menjadi editor untuk terbitan buku sastra. Dulu, pernah ke Amerika Serikat untuk makin mahir dalam bercerita.
Yang suka baca buku-buku lama bakal mengingat buku yang dieditori Satyagrah Hoerip terbitan Sinar Harapan. Ia mengerti sastra bisa berkembang dengan ketekunan dan keberanian, tidak mengandalkan keajaiban. Terbuktilah ia bersastra dalam waktu yang panjang, tiada bosan dan jatuh dalam putus asa. Beberapa bukunya diterbitkan Pustaka Jaya, Balai Pustaka, dan Sinar Harapan.
Ia melewati masa-masa sastra yang guncang oleh politik. Maka, keberpihakan dalam bersastra pun tampak. Cerita-cerita biasa mengarahkan pembaca mengerti nasib pihak-pihak yang terpinggirkan dan terabaikan. Konon, cara bercerita dan misinya membuktikan dirinya adalah pengarang yang berani.
Di Matra, kita membaca ceritanya yang berjudul “Sarinah, Kembang Cikembang”. Para pembaca mula-mula melihat ilustrasi sehalaman berwarna sebelum membaca paragraf-paragraf cerita. Matra memang istimewa dalam sajian cerita, yang memberikah satu halaman khusus ilustrasi, yang menguatkan atau melengkapi cerita. Di situ, kita melihat wajah-wajah yang bertabur pesan. Melihat ilustrasi sebelum membaca cerita kadang membekali atau “mengecoh”.
Yang diceritakan: “Matahari tampak penuh di atas Jakarta. Tadi malam hujan lebat lebih dari setengah jam. Di sana-sini masih bersisa genangan air. Maka seperti lain-lain orang, Sarinah pun harus hati-hati dalam berjalan, takut terpeleset.” Kita ingatkan dulu, yang diceritakan bukanlah Sarinah yang diperkenalkan Soekarno melalui bukunya pada masa revolusi. Banyak yang mengetahui Sarinah itu buku persembahan Soekarno kepada kaum perempuan. Yang ditulis Satyagraha adalah Sarinah yang berbeda, yang berada di Jakarta sebelum dipimpin oleh Joko Widodo.
Pembaca mudah menduga nasib tokoh dalam cerita: “Kedatangannya kembali membuat beberapa WTS yang tinggal kehilangan, minimal kekurangan, tamu tak terkecuali yang tadi telah berkomentar dengan dengki. Di ambang pintu pondokan Sarinah, seorang lelaki brewok sengaja enggan menyingkir. Kepalanya kebotak-botakan dan tubuhnya tegap bagai banteng. Inah yakin belum mengenalnya. Mata lelaki itu ia lihat seperti mata harimau yang siap menerkamnya.” Pencerita yang bikin pembaca berimajinasi satwa. Ia mengenalkan lelali dengan menyebut banteng dan harimau. Pengarang mungkin kebablasan jika senang satwa. Maka, cerita itu berlanjut berisi kucing, anjing, burung, buaya, gajah, serigala, dan lain-lain. Yang diceritakan adlaah WTS. Singkatan yang dulu dimaksudkan agar tidak lekas menyebut pekerjaan yang dilakoni perempuan.
Di kesusastraan Indonesia, banyak cerita pendek, puisi, dan novel yang menokohkan WTS. Para pengarang membuat pembelaaan atas nama kemanusiaan, politik, sosial-kultural, dan lain-lain. Kita kewalahan bila membuat daftar teks sastra yang bertokoh WTS dan berpengaruh besar di Indonesia. Kita bakal kelelahan membaca nasib WTS bila mau khatam ratusna novel yang dicap pop. Pokoknya, berlimpah cerita mengenai WTS. Satyagrah Hoerip ikut menulis cerita, yang semula dimuat di Matra, akhirnya terbit menjadi buku yang judulnya sama.
Kita diajak mengenali Sarinah: “… lamunan Sarinah jadi serupa peluru kendali. Melejit dari bilik sempit itu langsung jatuh jauh di desanya, tanah Priangan yang masih sejuk. Ia bayangkan betapa selagi gadis dahulu, ia acap jadi incaran lelaki, sampai-sampai dari luar Desa Cikembang.” Ia memiliki masa lalu, yang membuatnya masih tersenyum meski nasibnya tidak mudah diramalkan di Jakarta.
Nasib yang ditanggungkan tidak membahagiakan. Yang terjadi pada masa lalu: “Akhirnya, Pak Openg, duda kaya bercucu tiga orang, lelaki yang sukses pertama kali menerobos gawangnya. Selain punya sawah dan rumah serya ramah tamah, kebetuhan ayah si Inah sering berhutang kepada Pak Openg.” Kita yang membaca kadang mengetahui nasib atau pemicu adalah uang, beban keluarga, kehancuran rumah tangga, dan lain-lain. Sarinah dalam situasi yang menyulitkan. Apakah pembaca akan selalu mendapat pengulangan bila membaca cerita yang bertokoh WTS? Satyagraha tidak membuat kejutan. Ceritanya masih dalam jalur pengulangan dan hampir klise.
Akhirnya, yang membuat pembaca harus mengerti nasib: “Inah, Sarinah Kembang Cikembang, menumpahkan seluruh tenaganya pada malam itu. Peluhnya bercucuran. Ia ingin menjadi pencari nafkah yang baik buat keluarganya nun jauh di desa yang sepi, yang tak terbuai lagi oleh seruling maupun kecapi.” Yang penting, Satyagraha Hoerip membuktikan keberpihakan dalam penulisan cerita agar pembaca memiliki empati.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<