Ruang yang Tidak Menginjak Bayangan
Aku berjalan di antara dinding yang lupa pada gema,
jejakku menguap bahkan sebelum sempat jatuh.
Langit-langit menggantung rendah seperti kepala
yang enggan menatap mata ibunya sendiri.
Ada bau luka yang dipelihara terlalu lama
hingga tumbuh seperti pohon—rindang, tapi meranggas.
Setiap bayangan di ruangan ini menolak diinjak.
Mereka menjelma tangga yang tak bisa dinaiki,
terbuat dari janji-janji tua yang berkarat dalam kepala.
Di sana, aku pernah tertawa bersama bayangku sendiri,
sebelum ia memilih pergi lebih dulu
dan meninggalkan tubuhku sebagai teka-teki yang utuh.
Aku mencoba bicara dengan diam yang tak kenal jeda,
memaksa kata pulang di tengah lidah yang retak.
Namun malam di tempat ini tak pernah mati—
ia hanya beranak jadi sunyi yang lebih bising.
Aku tumbuh di bawah cahaya yang tak pernah padam,
namun tak pernah cukup terang untuk memeluk satu pun wajah.
Seseorang mengetuk dinding dari dalam dadaku,
memanggil namaku dengan suara yang asing tapi akrab.
Mungkin itu aku dari masa depan, atau masa lalu
yang ingin kembali ke rahim sepi yang sama.
Dan ketika semua pintu terbuka tanpa arah,
aku tahu: satu orang bisa terlalu ramai.
***
Rumah yang Tidak Pernah Pulang
Ada dinding di dalam kepalaku
Yang tidak pernah bisa roboh meski dihantam doa-doa.
Setiap orang mengetuk,
Tapi tak satu pun berniat masuk.
Mereka hanya ingin memastikan aku masih sendiri,
Masih luka, masih nyala meski membakar dirinya sendiri.
Dan aku mengangguk dari balik jendela
Seperti orang yang pura-pura paham arti kata pulang.
Aku menyapu debu kenangan setiap pagi,
Menyusunnya dalam rak-rak kecil bersama suara
Yang tak lagi memiliki pemilik.
Sesekali, langit-langit runtuh oleh tangis diam-diam
Yang menggema dari langit dada.
Tapi tak apa—aku terbiasa.
Sebab menjadi rumah berarti siap ditinggalkan
Tanpa janji kembali.
Ada kursi yang patah di ruang tamu jiwaku,
Ditempati oleh seseorang yang dulu pernah kutunggu,
Tapi kini hanya nama yang ditulis dengan tinta kabut.
Aku bicara sendiri, menata gelas yang tak pernah diisi,
Memutar lagu yang bahkan tidak tahu iramanya.
Aku berjalan dari dapur ke halaman,
Mencari alasan untuk tetap bernapas
Selain rutinitas berulang: hidup, jatuh, hilang, hidup lagi.
Dan malam tiba seperti pintu tanpa gagang.
Aku ingin keluar,
Tapi tidak tahu bagaimana cara menjadi tamu
Di rumah yang tidak punya alamat.
Mungkin aku adalah rumah yang tidak pernah selesai dibangun.
Atau mungkin aku hanya alamat yang dilupakan
Oleh orang-orang yang tidak pernah benar-benar datang.
*) Image by istockphoto.com