KURUNGBUKA.com – Dulu, yang getol membahas Amir Hamzah adalah HB Jassin. Ia membuat beberapa tulisan yang membahas tokoh (Amir Hamzah) dan puisi-puisinya, Sejak masa 1930-an, Amir Hamzah dianggap (sangat) berpengaruh dalam puisi Indonesia. Konon, ia besar bersama Poedjangga Baroe. Sebelum ia terlalu “menguasai” dan tebar pengaruh, Sutan Takdir Alisjahbana telah membuat pembahasan meski jarang diacungi jempol. Padahal, STA saat muda itu penulis novel, menggubah puisi, dan rajin garap esai-esai. Apa gara-gara STA itu teman dan pengarang sezaman mengakibatkan pembahasannya kurang apik?
Yang jelas mengenali Amir Hamzah dan menghayati puisi-puisinya mendingan melalui tulisan-tulisan HB Jassin. Imbuhannya adalah tulisan A Teeuw. Namun, ada yang belum bosan membahasnya setelah puluhan tahun. Buktikan saja dengan membaca esai-esai buatan Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Yang terjadi: Goenawan Mohammad merasa menemukan pengaruh Amir Hamzah dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang terkumpul dalam buku berjudul Dukamu Abadi.
Pada abad XXI, Amir Hamzah masih berpengaruh. Namanya tetap tercantum dalam buku-buku pengajarah sastra. Para murid dan mahasiswa makin kesulitan mengerti puisi-puisi Amir Hamzah. Zaman telah berubah. Akibatnya, bahasa yang digunakan Amir Hamzah itu asing bagi pembaca berbahasa Indonesia sekarang.
Yang tetap ingin mengenali dan menghormatinya bisa membaca tulisan Nh. Dini yang dimuat dalam majalah Femina, 10 November 1981. Tulisan serial, yang nantinya terbit menjadi buku oleh GFP. Beruntungnya kita menemukan tulisan yang pertama dijuduli “Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang”. Judulnya anggap saja benar. Ada yang ingin judulnya diubah? Usulannya adalah mengganti “pangeran” dengan “pujangga”.
Nh. Dini terkenal dengan novel-novelnya. Ia tidak menyibukkan diri dalam puisi. Mengapa menulis kisah (biografi) Amir Hamzah? Kapan-kapan saja kita berusaha mencari penjelasannya. Hal terpenting adalah Nh. Dini sanggup menulis kisah asmara yang mengharukan atau sangat menyedihkan bertokoh “pujangga” terkenang masa 1930-an.
Yang ditulis Nh Dini: “Amir Hamzah termangu. Pandangnya tetap terkait ke daratan. Namun, yang tertera di sana sudah kabur karena hatinya tak tertuju ke sana. Meninggalkan kampung halaman dengan menyeberangi laut berlainan dari hanya pergi ke Medan. Meskipun ada kegembiraan karena terpenuhi cita-cita bersekolah ke Jawa tetapi ikatan kepada tanah asal sangatlah erat.” Akhirnya, ia tiba di Solo. Ia menjadi murid sekaligus turut dalam perkumpuulan kaum muda. Yang terpenting: Amir Hamzah bersastra.
Di Solo, Amir Hamzah terlena oleh asmara. Ia juga terkena “wabah nasionalisme”. Pada hari-hari dialami Amir Hamzah, perkara-perkara besar melaju: asmara, sastra, dan Indonesia. Solo menjadi babak yang menentukan perasaan, yang mengunci nasib Amir Hamzah.
Wajarlah kesan itu terasakan saat membaca pengisahan yang ditulis Nh. Dini: “Demikian pula di AMS Solo, Amir Hamzah dan Ilik Sundari saling berpandangan dari jauh. Saling mengetahui bahwa tempat tinggal masing-masing di dekat Stasiun Balapan. Sekali dua kali pada waktu berangkat, mereka berpapasan. Lalu, bersamaan bersepeda. Begitu pula ketika pulang. Kemudian disambung pertemuan-pertemuan di waktu beristirahat di sekolah.” Para remaja yang kasmaran. Mereka bermaksud meraih pengetahuan tapi perasaan telah berkembang dengan tegang. Asmara itu indah tapi mengandung tragedi.
Kita membayangkan kisah mereka bisa menjadi lagu-lagu cengeng. Amir Hamzah memang pujangga tenar. Apa salah bila ada yang membuat lagu-lagu berairmata dari kisah hidupnya? Jika membaca tulisan Nh. Dini, lakon asmara mereka tidak picisan. Lelaki yang gandrung sastra tidak bakal sembrono dalam olah perasaan terhadap perempuan. Apakah pujangga memang ditakdirkan menanggungkan asmara yang sial, bukan asmara yang menciptakan sorga?
Kita kasihan dengan nasib Amir Hamzah. Apakah kita tergoda membandingkan lakon asmaranya dengan Chairil Anwar, Rendra, Afrizal Malna, dan Aan Mansyur? Nh Dini yang mengisahkan Amir Hamzah terbukti peka dalam urusan asmara, tidak hanya sastra dan nasionalisme. Yang mengesankan adalah pengisahan ditulis oleh perempuan, Jadi, kita merasa dekat bila membayangkan perasaan perempuan yang dipuja oleh Amir Hamzah.
Namun, siapa memiliki ingatan dan kesan bahwa Nh. Dini pernah menulis biografi Amir Hamzah selain novel-novel yang terus cetak ulang oleh Gramedia Pustaka Utama? Setelah mengenali Amir Hamzah, kita berharap lekas ada yang menuliskan lakon asmara dan sastranya Nh. Dini.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<