KURUNGBUKA.com – Di Indonesia, ada sebutan yang unik berkaitan “tidak panjang” dan “tidak pendek”. Yang mula-mula dikenali adalah cerita pendek. Artinya, cerita itu disajikan secara pendek. Yang lain tidak disebut cerjang atau cerita panjang. Para pengarang dan pembaca di Indonesia mengetahui bahwa cerita yang panjang mendapat sebutan novel. Dua sebutan yang pernah dalam kancah-bantah tapi kita mulai lelah mengikutinya.
Ada satu lagi sebutan yang ingin diterima untuk adanya cerita yang secara “ukuran” berada di antara cerpen dan novel. Sebutan yang mulai lazim adalah novelet. Pada masa lalu, yang menyuburkan novelet itu majalah-majalah. Maksudnya, pihak redaksi biasa mengadakan sayembara penulisan novelet atau memberikan sisipan novelet sebagai hadiah.
Kita agak kesulitan memberi sebutan kepada pengarangnya. Yang aneh dan membingungkan adalah “cerpenis”. Konon, sebutan bagi orang yang menulis cerpen (cerita pendek). Sebutan yang jika ditulis lengkap tampak merepotkan: “cerita pendekis”. Ada sebutan yang dianggap tidak bermasalah: “novelis”. Maka, sebutan untuk yang menulis novelet seharusnya “noveletis”. Kita tidak usah berdebat yang menggunakan jurus iseng dan sembrono. Pada suatu hari nanti, kita berharap ada orang yang sanggup memberi penjelasan, argumentasi, atau ralat.
Marak penulisan novelet sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Yang ikut berperan adalah pengelola majalah Sarinah. Kita mengetahuinya dari pengumuman: “Sayembara Mengarang Novelet Sarinah 1990.” Pengumuman dimuat dalam majalah Sarinah, 16 Juli 1990.
Nama majalah mengesankan bacaan (khusus) kaum wanita. Namun, panitia tidak mengharuskan naskah novelet yang ikut sayembara harus bertema kewanitaan. Yang disampaikan panitia: “Tema bebas (keluarga, cinta, misteri, sejarah, perjalanan, dan sebagainya) sesuai misi majalah Sarinah, tidak menjurus ke pornografi dan SARA, dan tidak bertentangan Pancasila.”
Dulu, deretan kata itu biasa digunakan dalam beragam kepentingan. Kita cukup heran dengan perkembangan sastra di Indonesia dan Pancasila. Ada ketentuan yang wajib dipahami para pengarang bila ingin menang dalam sayembara. Mereka dipastikan paham Pancasila atau pernah mengikuti penataran-penataran yang memungkinkan mengerti Pancasila menurut kepentingan rezim Orde Baru.
Jadi, paham Pancasila membekali pengarang dalam menulis novelet. Yang direpotkan lagi tentu para juri. Mereka tidak boleh membaca asal-asalan. Kecermatan diperlukan agar berhasil menyeleksi naskah-naskah sesuai misi majalah dan berada di naungan Pancasila. Artinya, sastra di Indonesia diinginkan Pancasilais.
Sayembara kadang dianggap oleh pengarang sebagai “penentu” kemonceran dalam jagat sastra Indonesia. Pengarang yang menang akan mudah dikenal oleh para redaktur majalah, penerbit, dan pembaca. Kemenangan membuatnya menemukan kemudahan dalam pemuatan cerita-cerita yang ditulisntya. Yang menang akan merasakan dampak-dampak lanjutan. Kenangan beberapa kali makin memberi bobot gengsi dan kesaktian yang berdasarkan bukti.
Mengarang itu uang? Kita jangan gegabah membuat simpulan mengenai pamrih pengarang yang rajin atau “coba-coba” ikut sayembara. Para pemenang biasanya mendapat hadiah berupa uang. Adanya sayembara-sayembara yang diadakan beberapa lembaga akan disusun tarafnya berdasarkan jumlah uang hadiah. Pada 1990, pihak majalah Sarinah memberikan hadiah sebanyak 1.500.000 rupiah kepada pemenang pertama. Jumlah yang menggiurkan.
Sastra Indonesia masa lalu, sastra yang bermajalah. Yang “memakmurkan” para pengarang adalah terbitnya majalah-majalah yang mengadakan rubrik untuk pemuatan cerita pendek dan cerita bersambung. Serunya lagi pihak pengelola majalah rutin mengadakan sayembara penulisan cerita pendek, novelet, atau novel. Semuanya ada uangnya.
Keuntungan bagi pemenang: cerita yang menang dimuat dalam majalah. Yang diharapkannya: berlanjut terbit menjadi buku. Rezeki yang diperoleh bisa ganda. Namun, redaksi majalah pun memiliki siasat mengenai sayembara dan dampaknya untuk meninggikan gengsi atau mutu sastra yang diembannya. Ketentuan jangan diabaikan: “Semua naskah pemenang dan naskah bukan pemenang tetapi yang dianggap layak muat akan dimuat dalam majalah Sarinah. Hak penerbitan pertama dan selanjutnya ada pada majalah Sarinah (hak cipa pada pengarang).” Masa lalu, masa yang patut mendapat tepuk tangan dan pujian bagi majalah-majalah yang menyuburkan sastra.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<