KURUNGBUKA.com – Film Perang Kota karya Mouly Surya diangkat dari novel sastra klasik berjudul Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, yang diterbitkan pada tahun 1952. Karya ini dianggap sebagai salah satu novel terbaik dalam sejarah sastra Indonesia. Berlatar masa pendudukan Jepang dan masa awal kemerdekaan, film ini menyajikan kisah Guru Isa, seorang guru sekolah yang disegani di kampungnya, namun menyimpan ketakutan mendalam akibat situasi politik yang mencekam. Trauma dan tekanan mental yang ia alami bahkan menyebabkan disfungsi ereksi, membuat relasi rumah tangganya dengan sang istri, Fatimah, retak secara emosional dan seksual.
Latar era 1940-an yang menjadi setting film ini sebenarnya cukup berhasil dihidupkan. Truk militer yang membawa serdadu Sich Hindia Belanda NICA—dalam novel dipelesetkan sebagai “No Indonesian Cares About”—berkeliling gang-gang sempit, lengkap dengan atmosfer kota tua dan suasana kolonial yang cukup meyakinkan. Namun, beberapa detail teknis justru melemahkan usaha rekonstruksi sejarah ini, seperti kemunculan wastafel modern, toilet duduk, dan lampu listrik di rumah Guru Isa, yang terasa aneh untuk ukuran rumah sederhana masa itu. Hal-hal kecil ini cukup mengganggu dan mencederai ilusi zaman yang sudah dibangun.
Sebagai adaptasi dari karya dengan muatan filosofis dan politis yang dalam, Perang Kota justru terasa ragu-ragu dalam menjelajah gagasan besar novelnya. Film ini seolah lebih memilih berkutat pada konflik personal antara Guru Isa (Chicco Jerikho) dan Fatimah (Ariel Tatum), tanpa pernah benar-benar membedah akar sosiopolitik dari trauma sang tokoh utama. Dalam cerita, Guru Isa yang tidak suka kekerasan akhirnya mencoba menumbuhkan keberanian dengan bergabung bersama Hazil (Jerome Kurnia), sahabat dan muridnya sekaligus seorang musisi dan gerilyawan muda. Misi mereka sangat strategis dan berbahaya: memancing Belanda, Jepang, dan tentara NICA agar masuk ke Kafe Batavia yang sama, lalu meledakkan tempat itu untuk menumpas semuanya sekaligus. Sayangnya, tensi dari misi yang seharusnya menjadi titik balik karakter ini justru terasa datar dan kurang intens dalam eksekusinya.
Salah satu titik paling disayangkan dalam film ini adalah karakterisasi. Chicco Jerikho sebagai Guru Isa tampil terlalu atletis: terlalu tampan dan berotot untuk ukuran seorang guru lugu yang didera rasa takut dan inferioritas—seperti yang digambarkan di novel. Ia tampil sebagai sosok heroik luar, namun gagal menampilkan kegamangan batin yang lebih subtil. Ariel Tatum pun tidak banyak membantu. Relasi emosional antara Fatimah dan Isa terasa dingin dan tidak memiliki daya magnetik. Padahal, seharusnya konflik rumah tangga mereka menjadi poros emosi dari film ini. Yang muncul justru dominasi adegan-adegan seksual (yang berlebihan) yang terasa seperti keharusan tiap kali Ariel Tatum tampil di film. Ada kesan bahwa sensualitasnya lebih dimaksimalkan ketimbang dimaknai secara emosional dan naratif.
Kisah perselingkuhan antara Fatimah dan Hazil pun lebih banyak mengisi ruang dramatik film dibanding misi perlawanan itu sendiri. Alih-alih menjadi film perang atau film tentang perjuangan batin melawan penjajahan, Perang Kota lebih terasa seperti drama rumah tangga yang penuh luka namun minim kedalaman. Bahkan, bila peran Ariel Tatum ditukar dengan Dea Panendra—yang hanya muncul sebagai cameo—emosi karakter istri Guru Isa mungkin bisa lebih menyentuh dan nyata. Dea dikenal memiliki kedalaman akting yang kuat, dan peran seperti Fatimah sebetulnya membutuhkan sensitivitas emosional semacam itu, bukan sekadar penampilan fisik.
Dengan judul seambisius Perang Kota, penonton tentu mengharapkan sebuah narasi penuh ledakan, strategi gerilya, dan pergulatan ideologis. Namun, yang disajikan justru konflik personal yang tak berkembang, sejarah yang hanya jadi latar yang terkesan tempelan, dan emosi yang terasa artifisial. Tidak ada “perang kota” dalam arti sebenarnya. Bahkan motivasi karakter pun sejak awal tidak pernah terjelaskan dengan baik, sehingga sulit bagi penonton untuk peduli terhadap keputusan atau perubahan yang mereka alami.
Sayangnya, Mouly Surya yang sebelumnya dikenal lewat karya-karya kuat seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), dan Fiksi (2008), kali ini seperti kehilangan arah. Film ini bukan hanya gagal menangkap esensi novelnya, tapi juga gagal memberi pengalaman sinematik yang utuh dan bermakna. Meski tetap ada momen-momen visual yang menarik dan beberapa dialog yang menjanjikan, Perang Kota lebih banyak terjebak dalam kebingungan antara ingin jadi film sejarah, thriller psikologis, atau drama keluarga. Film ini punya potensi besar, tapi sayangnya tidak berhasil mewujudkan ambisinya dengan utuh dan menggigit.
Skor: 6,5/10.
*) Image by imdb.com