Nada panggilan di ponselku melantunkan lagu Bunga Citra Lestari berjudul Cinta Sejati berulang kali. Tak kuhiraukan, terus menyuapi Mas Bram sarapan. Itu telepon darinya! Aku sengaja mengatur nadanya berbeda dengan nada panggilan lain. Kenapa dia menghubungiku sekarang, bukankah dia tahu kalau jam segini aku sibuk?

“Kenapa tak kauangkat teleponnya?” Pertanyaan Mas Bram membuat aku terhenyak.

“Tidak penting. Kesehatanmu jauh lebih penting,” jawabku diiringi senyum yang lembut.

Mas Bram semringah, selalu bahagia setiap kali kutunjukkan perhatian terhadapnya. Sakit kepala yang dideritanya membuatnya sulit bergerak. Tangan kanannya yang sedikit keriput perlahan menyentuh pipiku yang lebam.

“Masih sakit?” tanyanya.

“Sudah baikan. Aku sudah mengobatinya,” jawabku menenangkan. Kemarin aku mengatakan padanya pipiku lebam karena jatuh terantuk dari sepeda motor.

Seandainya Mas Bram tahu penyebab sebenarnya, apa dia akan menceraikanku? Tidak, dia tidak akan memercayainya sama seperti saat Amy melabrakku ke rumah, meneriakiku istri penghianat. Semua tetangga keluar. Depan rumah kami dikerumuni banyak orang. Aku memilih diam dengan airmata berlinang karena malu. Beruntung tidak ada yang memercayainya, menganggap Amy perempuan gila. Aku dikenal sebagai wanita baik dan sabar melayani suami. Rumah tanggaku selalu tampak harmonis meskipun suamiku jauh lebih tua. 

Kusuapkan pil lalu meminumkan Mas Bram air putih. “Istirahatlah,” perintahku.

Perlahan matanya tertutup dan tertidur. Ponselku berbunyi lagi. Kali ini nada standard untuk semua panggilan. Aku mengambilnya dan membawanya keluar dari kamar agar suamiku tidak terganggu. Dahiku mengernyit dengan nomor tak dikenal.

“Halo.”

“Aku ingin bicara denganmu empat mata.” Sebaik diangkat, suara yang tak asing di telingaku, langsung terdengar.

Aku menyeringai sinis. Setelah apa yang dilakukannya kemarin, apa yang ingin dibicarakannya lagi? Apa kali ini dia akan membunuhku? Dari mana dia memperoleh nomorku? Dapat dipastikan dia mencurinya dari ponsel Vicky. Oh, jadi dia yang menghubungiku tadi. Setelah tidak diangkat berulang kali, dia berinisiatif menghubungiku menggunakan nomornya sendiri?

“Aku nggak bisa,” jawabku dengan nada datar.

“Aku janji tidak akan menyakitimu. Kita ngomong baik-baik,” katanya buru-buru.

“Apa yang ingin kaubicarakan?”

“Tentang hubunganmu dengan Vicky.”

Aku menyeringai lagi. Ternyata dia belum jera juga memisahkan aku dengan suaminya. Apa setelah perbuatannya kemarin dia pikir aku akan menjauhi Vicky?  Setahun aku mempertahankannya setelah sepuluh tahun perpisahan kami. Aku dan Vicky masih saling mencintai.

“Baik. Nanti sore di kafe simpang gang rumahku.”

Setidaknya aku akan lebih gampang minta tolong jika dia mencoba menyakitiku lagi.

***

Saat aku datang Amy sudah menungguku, duduk dengan minuman lemon tea di depannya. Aku duduk di hadapannya tanpa menyapa atau sekedar basa-basi. Perempuan sadis dan lantam mulutnya tidak perlu mendapat keramah-tamahan apa pun.

“Apa yang ingin kausampaikan?” tanyaku bersikap tenang, setelah pelayan mengantar minumanku.

“Apa yang kau inginkan agar menjauhi Vicky?” tanyanya balik, menatapku serius.

Senyumku mengembang atas perkiraan yang tidak salah. “Aku tidak akan melepaskannya. Dia laki-laki pertamaku.”

“Aku tahu,” potong Amy. “Tapi kau yang meninggalkannya lebih dulu dan menikah dengan laki-laki lain.”

Itulah kesalahan terbesarku. Vicky pacar pertamaku sejak SMP. Hubungan kami berjalan lima tahun. Setelah aku tamat SMA dan Vicky kuliah, hubungan kami semakin rentan. Vicky cowok playboy yang dikelilingi banyak cewek membikin aku cemburu hingga akhirnya memutuskan menerima lamaran seorang duda kaya dan meninggalkan kota ini. Sepuluh tahun kemudian suamiku sakit-sakitan. Perawatan di sini jauh lebih lengkap sehingga kami kembali.

Aku menemui Vicky lebih dulu. Kami sama-sama menceritakan tentang perkawinan masing-masing. Dia yang delapan tahun menikah tapi belum juga punya anak dengan istri yang cerewet selalu memakinya, memukulinya karena pengangguran. Harga dirinya sebagai laki-laki dijatuhkan. Aku kasihan terhadapnya dan memutuskan menjalin kembali hubungan kami.

“Karena itu aku tidak ingin meninggalkannya lagi,” tegasku pada Amy.

Amy terperanjat atas keberanianku mengatakannya. Selama ini aku selalu diam setiap kali dia melabrakku, memakiku dan memukuliku di depan orang ramai.

“Dia bukan hanya laki-laki pertama sebagai pacarku tapi juga laki-laki pertama yang mengambil kesucianku. Aku tahu aku juga perempuan pertama baginya. Atau mungkin… perempuan satu-satunya?” tambahku, menekankan kalimat terakhir.

Seketika Amy tampak pucat. Aku sengaja mengatakannya karena Vicky pernah mengatakan istrinya tidak suci lagi saat dia nikahi. Amy semakin kelihatan gugup, berusaha menenangkan dirinya dengan meminum minuman di depannya. Dia kemudian menatapku dengan tatapan yang mulai meredup. Mungkin dirinya bertekad inilah usaha terakhir dan dia harus berhasil meluluhkan hatiku agar melepaskan Vicky.

“Bukankah kau punya anak? Pikirkan masa depan anakmu jika kau menceraikan suamimu.  Apalagi kudengar keluarga kalian harmonis. Suamimu sangat menyayangimu. Kau tidak ingin mengecewakannya kan? Kau punya segalanya. Harta, anak. Sedangkan aku cuma punya Vicky. Aku sangat mencintainya.”

“Tapi kenapa kau mengabaikannya?” potongku menatapnya nanar. “Aku jauh lebih mencintainya. Urusan anak dan suamiku bukan urusanmu.” Aku optimis tetap menjalin hubungan dengan Vicky di belakang suamiku. Setahun ini buktinya kami bisa menjalaninya dengan mulus. Anakku Rizkia tidak masalah. Usianya sudah sembilan tahun dan dia dekat dengan Vicky.

“Aku bukan mengabaikannya. Aku cuma ingin dia memenuhi kewajiban sebagai suami. Selama delapan tahun dia hanya menjadi parasit. Aku kerja mati-matian memenuhi kebutuhannya. Percayalah, kau tidak akan sanggup hidup dengannya.”

Aku tersenyum, lucu mengingat sifat Vicky yang dari dulu tidak berubah. Saat pacaran juga selalu aku yang membayarinya makan dan membelikan baju. Vicky matrealistis memang.

“Aku sudah tahu jelek baiknya dia,” jawabku. “Aku yakin dia akan berubah setelah punya anak.” Sekali lagi aku menyindirnya.

“Aku akan mengikuti program punya anak. Aku akan usaha agar kami punya anak.” Amy bekeras meyakinkanku bahwa dia dapat memperbaiki diri dan membahagiakan Vicky.

Aku menggeleng iba. “Kau tidak mampu melakukan itu Amy karena aku sudah terlanjur melakukannya lebih dulu. Sekarang aku mengandung tiga minggu anak Vicky.”

“APA?” Amy histeris menggeleng keras. “Tidak mungkin.”

“Apanya yang tidak mungkin? Kaupikir ini anak suamiku? Suamiku sudah lama tidak sanggup lagi melakukannya. Kau yang tidak mungkin hamil karena kau mandul!”

PAR! Amy menamparku. Kali ini sebelah kiri bukan bekas tamparan kemarin. Aku menyipit tajam. Aku puas dia menamparku walau sepuluh kali pun untuk hari ini karena aku tahu aku menang. Ini terakhir dia melakukannya. Sebelum pergi aku melempar senyum tipis kepadanya.

***

Aku jarang berhias. Wajahku semakin sering tampak pucat. Berat badanku semakin berkurang karena tidak nafsu makan. Aku mengkhawatirkan kehamilan yang kelak pasti makin membesar. Orang-orang pasti mencurigainya terutama Mas Bram. Dia pasti tahu aku berselingkuh.

“Bagaimana ini Vick?” tanyaku ketika kami bertemu siang ini. “Kandunganku sudah hampir dua bulan.”

“Perceraianku dengan Amy dalam proses. Kau tenang saja,” kata Vicky dengan sikapnya seperti biasa tanpa beban. Setelah pertemuanku dengannya, dua minggu kemudian Amy mau diceraikan Vicky. Aku lega tapi tetap ada rintangan lain yang harus kulewati.

“Masalahnya keluargaku, suamiku, tetangga-tetangga. Apa kata mereka? Kau tahu, aku perempuan baik-baik.” Meski berulang kali ini selalu kami bahas, tetap tidak menemukan jalan keluarnya. Beberapa kali sudah kucoba menggugurkan kandunganku tapi selalu gagal. Doa Vicky lebih mujarab agar anak ini lahir.

“Aku masih terus memikirkannya. Kau tenang sajalah. Kita pasti menemukan jalan keluarnya,” kata Vicky sungguh-sungguh.

“Sampai kapan? Keburu anak ini lahir.”

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Dari nomor rumah. Ini pasti suamiku. Buru-buru aku mengangkatnya. Antara sudah menebak kabar yang disampaikan dan penasaran.

“Halo…. APA?!” Airmataku seketika meruak. Tetap saja aku kaget dan menangis mendengarnya.

“Kenapa Sayang, ada apa?!” tanya Vicky.

“Mas Bram meninggal dunia. Sebelum kemari aku sempat memberinya obat. Aku harus cepat pulang.”

***

Tidak menunggu empat puluh hari, aku menikah dan mengadakan pesta di rumah. Aku perempuan baik-baik, bagaimanapun harus dipestakan. Aku tidak ingin kehamilan ini semakin membesar dan orang-orang sampai tahu aku selingkuh sejak Mas Bram hidup.

“Tanah kuburan suami kamu masih basah masa mau nikah. Pakai pesta lagi,” kata salah seorang tetangga saat aku mengundang. Aku tahu kalimat tersebut mewakili mulut-mulut tetangga lainnya. Aku menunduk lemah.

“Iya, suami saya selalu muncul dalam mimpi meminta saya agar cepat menikah. Sebenarnya saya nggak mau, Bu. Tapi saya juga takut kalau sampai setiap hari didatangi. Dulu waktu Almarhum masih sakit-sakitan, beliau juga sibuk meminta agar saya mencari calon suami baru. Saya bekeras enggak mau, memilih mengurusnya dengan ikhlas.” Mataku berkaca-kaca seolah mengenang Mas Bram. Ibu di depanku mengangguk-angguk, mengerti. Siapa yang tidak memahami perasaan seorang perempuan muda, cantik, begitu sabar dan setia pada suami yang lebih pantas dipanggil ayah.

***

Menginjak enam tahun menikah, anakku dan Vicky sudah empat. Semuanya laki-laki. Rizkia yang mengurus adik-adiknya sedangkan aku pergi bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pergi pagi pulang sore. Tetangga selalu mengeluh anak-anakku pada nakal, berlari kesana-kemari saat kakaknya sekolah. Riskia juga mengeluh, adik-adiknya tidak pernah mau mendengar perintahnya meski dipukuli. Aku pusing setiap kali mendengar keluhan itu.

Hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Kami tinggal di rumah kontrakan dengan pendapatan yang sedikit, cuma berharap dari hasil kerjaku. Vicky selalu pulang malam dengan keadaan mabuk.

“Kau ke mana saja, Vick?!” Aku menolak-nolak tubuhnya sambil menangis histeris. “Kaubilang cari uang. Mana?!” Rasanya aku ingin bunuh diri saking kesalnya dengan hidup ini. Setiap hari aku dan Vicky selalu bertengkar.

“Aku sudah berusaha tapi tidak dapat!”

“Setiap hari begitu! Dari mana kau dapat uang kalau tidak kerja? Kau cuma duduk di rumah teman-temanmu.  Kaupikir aku tidak tahu? Tahumu minta uang minyak dan rokok.”

“Sudahlah, aku capek.”

“Capek? Aku yang banting tulang setiap hari kau yang capek? Kalau kau tidak kerja lebih bagus jaga anak-anakmu di rumah. Kau sudah punya anak empat, Vick. Empat! Anak yang selalu kauharap-harapkan. Aku sudah memberimu empat. Cukup sabar aku sebagai istri, makanmu selalu kusiapkan, pakaianmu kucuci. Tapi mana tanggung jawabmu? Membalas, membahagiakanku yang sudah memenuhi harapanmu pun kau tak pernah. Kesengsaraan yang kau balas,” umpatku geram. Aku hanya bisa memarahinya sambil menangis, tidak seperti mantan istrinya yang tega memaki dan memukul.

Seperti biasa Vicky tidak menghiraukanku, memilih tidur. Setiap hari aku seperti marah-marah pada tembok.

Aku selalu menangis, mencurahkan isi hatiku kepada saudara-saudaraku. Tidak ada yang mendengarkan dan mengasihaniku padahal dulu aku selalu baik pada mereka. Berpuluh juta uang peninggalan suamiku hilang tanpa sisa. Aku meminjam-minjamkannya pada orang yang membutuhkan juga pada saudara-saudaraku dengan imbalan dikembalikan beserta bunga lima belas persen. Banyak yang kabur melarikan uangku. Tinggal kini pada saudara-saudara. Saat meminjamkannya aku berharap mereka bisa membalas kebaikanku saat aku susah.

“Aku tidak punya uang lagi. Untuk beras pun tidak ada. Tolonglah, minta uangku,” kataku menagih pada Dewi.

“Aku pun tidak punya, Fi. Uang kami pas-pasan untuk makan. Aku belum bisa membayar utangku padamu.”

“Tolonglah cicilpun jadi.” Aku sambil menangis. Saudaraku yang lain juga mengatakan yang sama.

“Tidak ada uang yang mau dicicil. Kita sama. Semua dalam keadaan susah, Fi.”

“Aku menagih uangku. Hutang kalian! Bukan meminjam. Kembalikan beserta bunga-bunganya!” Mendadak aku histeris berteriak seperti orang kesurupan.

“Aku tahu tapi mana yang mau ditagih?”

“Aku tidak mau tahu! Pokoknya uang itu harus ada.”

“Dulu aku pernah mengingatkan, tabung uangmu, depositkan untuk masa depan anak-anakmu. Tapi kau dan Vicky memfoya-foyakan uang itu, pergi tamasya setiap minggu, belanja kesana kemari, membungakan uang. Bagaimana mau berkah? Rumah pun mengontrak. Padahal sudah kuingatkan untuk beli rumah biarpun kecil. Sekarang apa yang bersisa? Nggak ada kan?”

“Cukup! Semua adalah uangku, kau tidak punya hak mengaturnya.”

“Bukan mengatur, aku cuma mengingatkanmu. Sekarang semua sudah terjadi, tidak ada jalan selain ikhlas. Suruhlah suamimu bekerja.”

“Aku sudah capek menyuruhnya. Alasannya tidak punya modal. Mau kerja apa.”

“Dulu banyak uang tidak ingat kalian bikin modal.”

Aku menatapnya nanar. Kenapa dia jadi menghakimiku? “Aku meminta uangku bukan sindiran. Sedang senang aku kalian dekati, sedang susah semua menjauh.”

“Bukan menjauh Fi tapi keadaannya memang berubah. Aku tahu kesusahanmu tapi saat ini cobalah untuk ikhlas dan mendekatkan diri pada Allah. Kau masih punya Allah.”

“Aku tidak bisa sembahyang dalam keadaan stres. Aku hanya ingin menagih kebaikanku pada kalian. Aku sudah baik pada kalian saatnya kalian baik padaku.”

“Itu mengumpat namanya. Memohonlah pada Yang Maha Kaya. Insya Allah ada rezeki uang itu pasti aku cicil, Fi. Kita sama-sama berdoa.”

“Aku mau sekarang!”

“Berapa orang yang membawa lari uangmu kenapa tak kau kejar? Aku niat membayar tapi saat ini uang itu memang belum ada. Di mana mau kucari?”

“Aaaaaa….!!!” Aku berteriak histeris sambil menjambak-jambak rambutku, memaki-maki sepupuku, membuatnya malu karena tidak mengembalikan uangku. Sepupuku itu hanya diam tidak menjawab sepatah kata pun. Hingga pandanganku tiba-tiba menjadi gelap dan aku terjatuh pingsan.

 ***

Bayangan masa lalu menghantuiku. Aku merenung dengan pandangan kosong di dalam kamar. Sejak gadis sampai hidup dengan Mas Bram aku selalu menggenggam uang banyak, tak pernah seperti ini. Dosa masa lalu? Bukankah aku selalu baik pada siapa saja? Menurutku itu yang penting tapi mereka semua yang pernah aku baiki tidak tahu balas budi.

Aku mencintai Vicky. Dia cinta pertamaku, itu sebabnya aku bersabar hidup dengannya sampai empat anak walaupun dia tidak bekerja. Aku setia padanya. Saat bersama Mas Bram, hidupku bahagia meski aku tidak mencintainya tapi dia mencintaiku.

Vicky bukan laki-laki pertama. Aku sering selingkuh di belakang Mas Bram. Rizkia bukan darah daging Mas Bram. Beberapa bulan setelah menikah dengannya aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki kaya yang beristri. Rizkia anaknya. Saat mengetahui aku hamil, aku memutuskan hubungan dengannya. Mas Bram sangat bahagia dengan kehamilanku. Itulah sebabnya dia sangat menyayangi Rizkia. Untungnya wajah Rizkia mirip aku bukan ayahnya. Sebulan setelah kehamilan Rizkia, aku selingkuh dengan seniman, kemudian pegawai swasta, tukang becak dan banyak lagi. Beristri maupun lajang.

“Maafkan aku, Mas,” bisikku pelan dengan airmata berlinang, mengenang semuanya.

Terbayang kemudian saat aku memberikan obat terakhir untuk Mas Bram. Cuma itu jalan satu-satunya agar aku secepatnya menikah dengan Vicky. Mas Bram seolah berdiri di depanku, menatapku tajam. Aku menggigil ketakutan.

Bergegas aku membuka lemari, membongkarnya, mencari sesuatu. Ke mana kain putih itu? Terakhir kali aku mengenakannya saat menyolatkan Mas Bram. Lemari berantakan hingga akhirnya kutemukan benda putih itu. Aku kembali menangis. Dapatkah Tuhan mengampuniku? Aku ingin Allah membebaskanku dari kesusahan ini, aku ingin anak-anakku menjadi anak yang baik, aku ingin Vicky bertanggung jawab sebagai suami, aku merindukan keluarga yang harmonis seperti bersama Mas Bram. Yang paling terpenting, aku-ingin-menjadi-perempuan-baik-baik-sesungguhnya.

***

image by istockphoto.com