KURUNGBUKA.com – Inilah catatanku untuk buku cerita pendek Semua yang Bersifat Sementara Hanya Metafora karya Ibe S. Palogai yang diterbitkan Shira Media (2024). Berisi 10 cerita pendek, di sampulnya kita lihat ada objek-objek seperti kain tenun(?), kupu-kupu, ulat, lonceng, guci(?), daun, buku-buku, semut, topeng, pohon, kucing, mesin tik, bantal guling(?) serta kepala manusia dengan aliran sungai di atasnya & jam yang jarumnya lepas. Semua objek-objek itu adalah metafora yang ada di dalam cerpen-cerpen di buku ini. Tentang masa kecil, pergolakan batin & perang yang diceritakan ‘aku’ dalam buku ini.
Mengalir—sejak awal membaca buku ini sampai cerpen terakhir, kebanyakan sudut pandang menggunakan ‘aku’ sebagai narator. Karena itu pula saya seperti mendengar seorang kawan bercerita apa adanya: tentang kesehariannya, orang tuanya, masa kecilnya, harapannya, kesedihan-kebahagiaannya, pandangannya tentang hidup, relasinya dengan orang lain, tempat tinggalnya, teman-temannya … dengan begitu, narator berada di depan saya—langsung—bercerita kepada saya apa adanya. Saya menjadi pendengar budiman yang tak ingin menyela karena takut ceritanya berhenti, saking asiknya mendengar si ‘aku’ bercakap-cakap, saya sampai terlena dengan ungkapan-ungkapan yang digunakan: menyalin kenangan menjadi tulisan bukanlah tindakan sejarah tetapi tindakan ingatan, yang sepatuh runutannya rusak oleh rampaian mimpi, mantra, dan akar yang liar (hal. 1), namun, aku pertama kali mengalami puisi di pemakaman (hal. 2), ada kehangatan aneh terjalin di dalam diriku dan menciptakan retakan yang keras. dan perasaan-perasaan semacam itu kelak aku kenali sebagai puisi (hal. 2), aku merasa setiap orang yang menatapku menyimpan pertanyaan di dalam kepala mereka (hal. 3), semakin dewasa, aku menyadari, hubungan ayah dan anak dipenuhi kebisuan semacam ini. dan itu berkembang menjadi lebih rumit seiring waktu, terutama bagi dua orang yang berbeda seperti kita (hal. 5), aku menghabiskan separuh masa remajaku untuk mencoba tidak menjadi seperti dirimu (hal. 5), butuh beberapa kali pukulan keras dalam hidup untuk membuatku sadar bahwa satu-satunya hal yang kau usahakan sebagai ayah adalah memberiku kesempatan menjadi lebih baik dari dirimu (hal. 5), setiap anak tumbuh dengan berpikir bahwa ayah mereka adalah pahlawan atau penjahat sampai mereka cukup dewasa untuk menyadari bahwa ia hanya seorang manusia (hal. 5) & masih banyak lagi—btw, semua kutipan ini ada di cerpen pertama berjudul Aliran Kelahiran—ungkapan-ungkapan metaforis semacam itu banyak tersebar di buku ini. Selain cerdas, ini membuktikan bahwa ada semacam sikap berbahasa, misal ungkapan: namun, aku pertama kali mengalami puisi di pemakaman (hal. 2) … pemakaman jadi tempat pengalaman langsung untuk mengetahui sekaligus mengalami apa itu: kematian, kesedihan, kehilangan, rasa bersalah, penyesalan & seringkali puisi mewadahi (atau menuliskan) itu semua—emosi yang bergejolak. Kalimat itu membuktikan bahwa ‘tubuh’ mengalami bahasa, bukan hanya pikiran semata. Bahasa bukan hanya sekadar penyampai gagasan, namun juga jembatan langsung untuk menyikapi sekaligus mengalami keseharian.
Cerpen-cerpen Ibe menyihir … metafora dalam cerpen-cerpennya adalah sikap, pikiran & pandangan tokoh-tokohnya. Bahwa berbahasa punya banyak kemungkinan: metafora, yang akarnya adalah analogi itu, memungkinkan kita berpikir tentang yang di sini & yang di sana, yang telah terjadi & yang akan terjadi, yang kita cintai & yang kita benci…
Medan, 2025