Pagi. Jam sembilan kurang delapan belas. Matahari bersinar. Gerimis turun. Aku mengintip dari jendela kaca. Seharusnya pelangi muncul di satu tempat, kemudian tujuh bidadari akan meluncur melewatinya. Mencari sebuah sendang untuk mandi. Namun, tak ada pelangi. Aku menghela napas panjang. Pikiran yang bodoh. Aku bukan anak-anak lagi. Umurku tiga puluh satu seminggu lagi. Aku mengetatkan jaket. Hawa dingin yang disemburkan AC ini kurang ajar betul. Seharusnya aku mematikan AC itu. Aku tak tahu kenapa aku tidak melakukan hal kecil yang bakal membebaskanku dari gigil ini. Aku kembali melihat melalui jendela kaca. Ia muncul dari seberang jalan. Tanpa payung. Rambutnya yang sedikit keabu-abuan tampak lepek terguyur gerimis. Ia mengenakan kemeja putih polos lengan panjang yang digulung hingga siku. Ia menengok ke kanan dan ke kiri sebelum menyeberang. Ia menuju ke sini, batinku.
Ia membuka pintu dengan satu dorongan tangan kanan. Menepuk-nepuk celana jin belel yang robek di kedua lutut. Menggeraikan rambut. Lantas menuju ke arahku. Ia menyebut merk cokelat. Aku menatapnya. Terpukau oleh gerak bibirnya. Ia tersenyum. Tangan kananku meraba. Aku hapal di mana cokelat diletakkan. Tujuh tahun aku bekerja di sini dan rak cokelat tak pernah berubah. Aku meraih kantong plastik hitam dan memasukkan cokelat itu ke dalamnya. Aku mengulurkan kepadanya. Aku masih menatapnya. Ia juga menatapku. Ia masih tersenyum. Ia memberikan uang. Lantas keluar. Aku masih menatapnya melalui jendela kaca dan membiarkan uang darinya teronggok di atas meja—aku bahkan tak memeriksa untuk mengetahui apakah uangnya pas atau tidak. Ia mendongak. Gerimis masih turun. Matahari masih bersinar. Di suatu tempat, seharusnya pelangi muncul. Ia memegang kantong plastik dengan tangan kirinya. Ia menggunakan telapak tangan kanannya untuk melindungi kepala. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia menyeberangi jalan. Aku masih menatapnya.
Ini hari yang indah. Matahari bersinar. Gerimis turun. Seharusnya pelangi muncul di satu tempat, kemudian tujuh bidadari meluncur dari langit. Memang tak ada pelangi. Memang tak ada tujuh bidadari yang turun dari langit. Namun, ini hari yang indah. Ia berjalan ke kanan. Tubuhnya lenyap tertutup sebuah truk yang parkir. Aku masih menatap ke arah kepergiannya. Lalu ia muncul lagi dari pantat truk. Berjalan lurus dan tergesa. Kemudian berbelok ke kiri. Aku melongokkan kepalaku. Namun, aku sudah tidak bisa lagi melihatnya. Tubuhnya ditelan tikungan.
Toko ini mendadak lengang. Dingin mendesak. Aku mengetatkan jaket, lebih rapat ketimbang sebelumnya. Seseorang mendorong pintu. Tersenyum kepadaku. Aku memasang senyum mekanis untuk menanggapinya. Ia mengucapkan sesuatu kepadaku. Namun, aku tidak mendengarnya. Aku tahu ia berbicara kepadaku karena mulutnya bergerak-gerak dan tak ada orang lain di dalam toko selain kami berdua. Namun, aku benar-benar tidak mendengar suara—sedikit pun suara—merembes dari bibirnya. Aku seperti melihat film bisu. Ia mendekatkan mulutnya yang bau. Mulutnya terbuka semakin lebar. Gigi-giginya kuning. Sepertinya ia kembali bersuara. Namun, sekali lagi, aku tidak mendengarnya. Ia menggerakkan tangan kanannya yang terkepal. Menghantam meja di depanku. Aku mendengar suara gebrakan itu. Aku memindai dirinya dengan pandangan tak mengerti. Wajahnya merah. Lantas dengan cepat ia berbalik, melangkah keluar dan mendorong pintu dengan kasar.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ada yang terasa menyumbat. Entah di otakku, entah di lubang kupingku. Keheningan memanjang. Segalanya seperti berjalan dalam sebuah gerakan lambat. Gerimis masih turun. Aku menoleh. Memandang ke luar melalui jendela kaca. Aku melihat butir-butir gerimis meluncur perlahan-lahan. Aku menghitung butir-butirnya. Lima menit yang seakan selamanya. Aku jenuh. Aku mengalihkan pandanganku. Menyapu seantero toko. Barang-barang malih warna menjadi sepia. Warna yang sentimentil. Aku mengucek-ngucek mataku. Namun, tak ada perubahan. Dingin menusuk. Mungkin AC ini rusak.
Aku kembali memandang ke luar. Gerimis masih turun. Matahari masih bersinar. Dan, tak ada pelangi. Ini hari yang indah, seharusnya. Aku bayangkan pelangi muncul, melengkungkan tujuh warna yang bakal menjadi pusat dari semesta sepia ini. Salah satu kakinya menancap di seberang jalan sana. Kemudian tujuh bidadari meluncur. Salah satu dari mereka, yang mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang digulung hingga siku dan bercelana jin biru belel yang robek di bagian lutut menoleh ke arahku. Lalu berjalan menyeberang jalan. Sebelumnya, ia menengok ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tak ada pengemudi ugal-ugalan yang berpotensi meremukkan tubuh surgawinya, tubuh yang indah sekaligus rapuh. Ia kemudian mendorong pintu dengan sebuah dorongan tangan kanan. Ia menepuk-nepuk celana jinnya. Menggerai rambut yang keabu-abuan. Ia mendekat kepadaku. Aku menyambutnya dari balik meja kasir. Aku tersenyum. Senyum paling manis yang pernah kubuat. Ia juga tersenyum. Senyum paling manis yang pernah kulihat. Ia meminta cokelat dan aku memberinya cokelat dalam kantong plastik hitam. Ia masih tersenyum dan aku juga masih tersenyum. Sepanjang itu, kami terus bertatapan, mengekalkan momen yang teramat fana, menghikmati detik-detik yang berlompatan di kedalaman dada. Lalu ia berbalik. Ia menundukkan kepala, seolah menyembunyikan kemurungan. Ia berjalan keluar. Mendorong pintu dengan satu dorongan tangan kanan. Ia memegang kantong plastik berwarna hitam berisi cokelat dengan tangan kiri. Ia menggunakan tangan kanannya untuk melindungi kepala dari gerimis yang beranjak tajam. Ia menengok ke kiri dan ke kanan. Lantas menyeberang. Ia bertemu dengan keenam temannya yang menunggu di kaki pelangi. Ia kembali menoleh kepadaku. Tersenyum. Sebuah senyuman yang mengandung kemurungan—tak peduli bagaimana ia ingin menyamarkannya, kemurungan itu merembes juga ke air mukanya. Ia melambaikan tangan. Lantas menaiki pelangi. Pelangi ternyata terdiri dari anak-anak tangga kecil berbahan semacam serbuk, alih-alih biasan cahaya. Tubuhnya lenyap sewaktu pelangi itu memudar.
Ini hari yang indah. Aku mengingat bagaimana ia tersenyum. Aku mengingat bagaimana ia melambai. Aku yakin, bibirnya bergerak-gerak sebelum pelangi memudar. Ia seperti mengatakan sesuatu kepadaku. “Tunggulah, aku pasti akan kembali.”
Maka aku menunggu. Lalu keheningan memanjang. Dunia yang telah malih warna jadi sepia ini kian kusam. Seperti selembar potret berumur puluhan tahun. Aku menatap ke luar melalui jendela kaca. Aku bisa melihat butir-butir gerimis yang jatuh dalam gerakan yang terlampau lambat, bahkan untuk ukuran adegan gerak lambat dalam sebuah film sekalipun. Seseorang mendorong pintu. Aku tidak peduli kepadanya. Ia mendekat dan berbicara sesuatu. Yang jelas itu bukan hal yang penting. Ia berteriak dan aku mengabaikannya. Aku tetap melihat ke luar melalui kaca jendela, menghitung butiran gerimis. Ia memaki. Lantas keluar dan mendorong pintu dengan sebal. Ia berdiri di depan jendela kaca, lalu mengacungkan jari tengah ke arahku. Aku mengibaskan tangan, menyuruhnya menyingkir. Ini hari yang indah. Aku tak mau seorang pecundang sepertinya merusak hari ini.
Ia akan kembali. Bidadari dengan kemeja putih berlengan panjang yang digulung hingga siku. Bidadari dengan rambut abu-abu yang lepek tersiram gerimis. Bidadari dengan celana jin biru belel yang robek di bagian lutut dan suka cokelat. Ia akan kembali sebab ia mengatakan ia akan kembali. Bidadari, berbeda dengan manusia karena ia makhluk suci, tak pernah berbohong. Ia pasti akan kembali dan aku menunggu, dan waktu terasa begitu lama. Aku menoleh ke jam dinding, memastikan apakah detik tetap bergerak seperti seharusnya. Kesunyian mendesak. Gerimis turun satu-satu. Aku melemparkan pandangan ke luar melalui jendela kaca. Menit-menit yang macet meski detik terus bergerak sebagaimana mestinya. Lanskap tetap sepia. Matahari masih bersinar. Gerimis masih turun. Awan sepia tipis membentang di langit tinggi. Pelangi seharusnya muncul di satu tempat, kemudian tujuh bidadari meluncur melewatinya. Salah satu dari mereka akan berjalan menyusuri trotoar di seberang jalan. Lalu berhenti dan menatapku. Ia lantas menengok ke kanan dan ke kiri sebelum menyeberang. Ia masuk ke dalam toko dengan satu dorongan tangan kanan untuk membuka pintu. Rambutnya yang keabu-abuan tampak lepek. Ia mendekat kepadaku. Tanpa menepuk-nepuk celana jinnya. Tanpa menggeraikan rambutnya. Mukanya merah. Matanya sembab.
“Kenapa kau memberiku cokelat mete?”
Aku menatapnya dengan penuh ketakjuban. Ia tidak tersenyum.
“Kenapa kau memberiku cokelat mete?” suaranya tajam.
Aku masih menatapnya. Lidahku kelu. Mulutku membuka. Bibirku bergerak samar. Tak ada suara yang meluncur dari tenggorokanku.
“Kenapa kau memberiku cokelat mete?” nada suaranya semakin meninggi. “Ia memakiku. Kau tahu, ia memakiku dan itu membuatku terluka. Ia alergi kacang mete dan aku memberinya cokelat mete karena kau memberiku cokelat mete. Apa maksudmu? Aku minta cokelat hitam. Kau tak mendengar apa yang aku katakan tadi, hah?”
Ini seharusnya hari yang indah. Aku masih tak mampu bersuara. Aku bisu secara tiba-tiba. Ia merogoh kantong plastik hitam yang ia genggam dengan tangan kirinya. Mengeluarkan isinya. Lantas melemparkannya ke mukaku. Mataku refleks terpejam. Ketika aku membuka kelopak mataku, ia berbalik dan melangkah pergi. Ia mendorong pintu dengan sebal. Cokelat yang ia lemparkan teronggok di meja—masih dalam kemasan yang rapi. Aku melihat cokelat itu. Seharusnya ini hari yang indah, meski tak ada pelangi. Seharusnya ia menukar cokelat itu, dengan kata-kata yang baik, dan tak perlu marah-marah. Untuknya, aku bahkan rela memberikan seluruh isi toko ini.
Aku memungut cokelat itu. Aku membuangnya ke tempat sampah yang berwarna sepia dengan perasaan nelangsa meski aku—mengingat kondisi cokelat yang masih utuh—bisa saja menaruhnya kembali ke rak. Aku ingat, pada menit-menit awal ketika aku membuka toko dan mengosongkan keranjang sampah itu, warnanya biru. Aku keluar dari toko. Aku mengunci pintu. Aku berjalan pulang. Gerimis masih turun. Aku mendongak. Gerimis menghunjami mukaku seperti ribuan jarum dari neraka. Aku menunduk. Perjalanan ini terasa panjang, padahal rumahku hanya berjarak tiga ratus meter dari toko.
Istriku membuka pintu rumah. Ia menatapku.
“Ada apa?” tanyanya. “Kenapa kau sudah pulang?”
Aku tak menjawab. Aku memeluknya. Aku ingin menangis.
“Ini hari yang indah,” bisikku. Ia balik memelukku. Lantas menuntunku ke kamar.
“Apa semua baik-baik saja?” tanyanya. Aku mengangguk. Lantas memejamkan mata. Aku hanya ingin tidur dan memeluk istriku. Ingin selamanya tidur sambil memeluk istriku.[]
Suka dengan cerpennya.
Cerpen yang indah
Di hari yang tidak begitu indah 😊😊
Cerpen yang indah
Di hari yang tidak begitu indah 😉