KURUNGBUKA.com – Pertanyaan besar muncul di saat banyak orang sibuk dengan gawai yang hanya mengunyah hiburan semata. Apa penting puisi dicetak-bukukan hari ini di tengah banalitas tindakan orang yang punya kuasa terhadap kaum yang lemah. Dengan senarai repetisi pertanyaan dan rigiditas pergaulan modern puisi selalu ada menyelinap menapaki waktu.
Puisi tetap relevan ditulis hingga hari ini karena merupakan salah satu bentuk ekspresi seni yang dalam dan universal. Meskipun bentuk penyampaiannya bisa berbeda dibandingkan masa lalu, puisi masih mampu menyuarakan perasaan, pengalaman, dan pandangan terhadap dunia. Di era digital ini, puisi menemukan tempatnya di berbagai platform seperti media sosial, blog, dan situs sastra, sehingga semakin banyak orang dapat mengakses dan menulis puisi. Puisi hari ini memiliki tempat di berbagai ruang, baik fisik maupun virtual. Selain di media sosial, puisi juga hadir dalam ragam acara baca puisi, festival sastra, antologi, hingga karya musik dan film. Bahkan, puisi sering kali menjadi bagian dari kampanye sosial atau iklan, yang menunjukkan bahwa puisi dapat beradaptasi dengan kebutuhan zaman.
Para pembaca puisi hari ini bukan hanya kalangan akademisi atau sastrawan, tetapi juga masyarakat umum. Banyak yang menemukan makna dan hiburan dalam puisi, terutama ketika puisi tersebut berbicara tentang isu-isu yang relevan, seperti cinta, kehidupan, lingkungan, atau politik. Platform online juga memungkinkan pembaca puisi berasal dari berbagai usia dan latar belakang, menjadikan puisi lebih inklusif dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Di tengah komunikasi digital yang serba terbatas pada teks singkat dan instan, puisi menawarkan apresiasi terhadap keindahan bahasa, permainan kata, ritme, dan imaji. Ini membantu menjaga seni bahasa tetap hidup dan relevan. Sebagai contoh, kita banyak menemukan sepotong atau sepenggal puisi dari para sastrawan nasional yang dilekatkan dengan peristiwa yang sedang berlangsung atau terjadi; Hanya ada satu kata: Lawan (Peringatan, Wiji Thukul). puisi-puisi Wiji Thukul hingga kini masih berkumandang di berbagai kesempatan, terutama dalam aksi demonstrasi. Dengan kata lain, banyak cara untuk menuangkan perasaannya yang mana salah satunya melalui puisi.
Dalam buku Antologi Puisi Aksara-Aksara Lugu, beragam tema terpampang meliputi sekian capaian perenungan yang dihadirkan oleh sang penyair yang tentu saja bersangkutan dengan apa yang telah dilalui. Ada tema cinta, eksistensial, ketuhanan, sosial, dan seterusnya dan sebagainya. Misalnya, puisi seperti “Baitullah,” di mana penyair menggambarkan perjalanan spiritual melalui simbol-simbol keagamaan seperti doa, sajadah, dan pengampunan. Puisi ini menyoroti hubungan penyair dengan Tuhan dan pencarian akan makna hidup dalam keheningan spiritual. Lalu, Cinta sering menjadi tema yang dominan dalam banyak puisi. Misalnya, “Aku Mau Kita Bicara Cinta” dan “Beginikah Kuhabiskan Sisa Hidupku” mengekspresikan kerinduan akan cinta yang dalam, serta perjuangan dalam mempertahankan hubungan di tengah perpisahan.
Ada pula puisi yang juga mengeksplorasi tema waktu, ingatan, dan perubahan hidup, seperti dalam “Merawat Ingatan” dan “Sajak Rumah“. Penyair merenungkan masa lalu dan berusaha memahami dampak waktu terhadap ingatan dan pengalaman . Tema-tema ini menunjukkan refleksi mendalam terhadap kehidupan, hubungan manusia, spiritualitas, dan masyarakat modern.[]
*disampaikan pada acara Bedah Buku “Aksara-Aksara Lugu” dan Pembacaan Puisi di Halaman Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten pada Jumat, 04 Oktober 2024.