KURUNGBUKA.com – Pesugihan Sate Gagak mengisahkan tiga sahabat, Anto (Ardit Erwandha), Dimas (Yono Bakrie), dan Indra (Benidictus Siregar), yang sama-sama terjebak dalam persoalan finansial yang menyesakkan. Anto membutuhkan uang untuk mahar pernikahannya, Dimas tengah menghadapi kebangkrutan usahanya, sementara Indra hidup dalam tekanan utang pinjaman online. Dalam posisi yang serba terhimpit itu, mereka menemukan sebuah buku mantra kuno yang menawarkan ritual pesugihan “sate gagak,” jalan pintas yang terdengar terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Ritual itu menjanjikan kekayaan instans melalui cara tidak biasa: menjual sate gagak kepada makhluk gaib. Awalnya terlihat mudah, bahkan menjanjikan, tetapi lambat laun jalan pintas ini membuka pintu konsekuensi yang tidak pernah mereka bayangkan akan meneror bukan hanya dirinya tetapi orang-orang terdekatnya.

Sebelum menonton, saya sama sekali tidak membawa ekspektasi. Banyak teman justru bilang film ini biasa saja. Namun setelah menontonnya sendiri, saya cukup kaget karena ternyata saya menikmati film ini. Premisnya sudah terlihat segar sejak awal, dan eksekusinya terasa konsisten dengan energi yang dijanjikan. Kekuatan utama film ini jelas berada pada trio komikanya: Ardit Erwandha, Yono Bakrie, dan Benidictus Siregar. Mereka berhasil menghadirkan dinamika persahabatan yang meyakinkan, kocak, dan hidup. Cara mereka saling menimpali, berargumen, dan panik bersama membuat hubungan bertiga ini menjadi pusat gravitasi film.

Humor yang digunakan sangat dekat dengan gaya stand-up comedy: ritme cepat, punchline yang efektif, dan dialog yang penuh spontanitas. Hampir semua jokes berhasil bikin saya tertawa ngakak. Ada humor yang agak kelewatan—slapstick yang sedikit berlebihan atau adegan absurd yang sengaja dibuat terlalu konyol—tapi semuanya masih dalam dosis yang membuat saya tertawa, bukan merasa dipaksa. Pacing-nya juga lincah sejak awal. Dono Pradana dan Etienne Caesar memanfaatkan ritme “tak-tak-ger” ala stand-up secara efektif sehingga film terasa bergerak tanpa jeda yang mengganggu.

Beberapa adegan bugil yang muncul pun tidak terasa problematis, justru menjadi bagian dari komedi fisik yang semakin memperkuat kekonyolan tiap karakternya. Alih-alih dimaksudkan untuk sensasi, adegan-adegan itu malah menambah absurditas cerita dengan cara yang pas.

Secara teknis visual, film ini memang tidak tampil maksimal. Penggunaan cahaya kadang terlihat berlebih dan kurang mendukung atmosfer. Sinematografi juga cenderung fungsional, sederhana, dan tidak menawarkan sesuatu yang menonjol. Tetapi beruntung, kekuatan film terletak pada ceritanya yang solid dan pada hubungan antarkarakter yang berhasil dibangun dengan baik. Energinya terasa konsisten, dan setiap interaksi antara Anto, Dimas, dan Indra membawa film tetap menghibur dari awal hingga akhir.

Yang sedikit saya sayangkan adalah penyampaian pesan moral di bagian akhir yang terasa terlalu verbal. Alih-alih menunjukkan melalui tindakan dan konsekuensi, film memilih menjelaskan secara langsung, seolah tidak memberi ruang bagi penonton untuk menangkap maknanya sendiri. Selain itu, pasca-credit, film kembali menggunakan formula hint untuk sekuel. Sebenarnya ini langkah yang lumrah, tetapi karena semakin banyak film Indonesia menggunakan pola serupa, momen ini terasa agak dipaksakan—seolah film ingin memanjangkan napas lebih dari yang diperlukan.

Meski begitu, sebagai debut Dono Pradana sebagai sutradara, Pesugihan Sate Gagak adalah langkah awal yang cukup menjanjikan. Ia mampu menjaga ritme, memaksimalkan kemampuan komedi para pemainnya, dan tetap mempertahankan energi sepanjang film. Pada akhirnya, Pesugihan Sate Gagak memberikan tontonan yang ringan, menghibur, dan cukup solid sebagai perpaduan horor dan komedi. Tidak sempurna, tetapi premis yang dijanjikan di awal terbayar lunas tanpa meninggalkan perasaan mengganggu karena ceritanya dijaga dengan baik.

Skor: 8/10