image by istockphoto.com

Di zaman SMA, saya membaca buku kumpulan esai “Slilit Sang Kiai” karya Emha Ainun Nadjib di perpustakaan sekolah. Esai tersebut berkisah mengenai nasib kiai yang dimasygulkan dan hampir mengancam suksesnya sang kiai masuk surga. Gara-garanya sewaktu di dunia ketika pulang acara kenduri yang ditutup dengan makan-makan sang kiai memetik kayu kecil di pagar orang tanpa izin untuk membersihkan slilit.

Esai “Slilit Sang Kiai” sudah lama sekali saya baca, tapi tiba-tiba saya kembali teringat kisah kiai tersebut ketika mendapati baliho partai politik terpasang di area tanah Rumah Dunia. Saya yakin, baliho itu dipasang malam hari tanpa ada izin terlebih dahulu dari pemilik tanah. Baliho berukuran 2×1.5 m terpasang rapi menghadap jalan. Tentu dengan pose yang keren, ganteng, berwibawa, dan alim. Di bawah foto terdapat tulisan “Mohon Maaf Lahir dan Batin.”

Jika mengacu ke aturan hukum Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu bahwa pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Eantahlah, apakah aturan itu tegas dan mengikat, atau hanya sekadar imbauan? Karena pada praktiknya banyak sekali yang menggunakan fasilitas pendidikan menjadi wadah kegiatan politik. Contohnya seperti baliho yang berdiri di tanah Rumah Dunia ini.

Dengan sangat hati-hati, relawan Rumah Dunia meminta izin memindahkan baliho ke orang yang bersangkutan. Orang yang wajahnya terpampang di baliho. Respons yang diterima sangat mencengangkan. Via WAG orang tersebut justru mengancam akan mempidanakan jika dari pihak Rumah Dunia ada yang berani memindahkan, atau mencabutnya. Kata-katanya saya kutip seperti ini, “jika itu yang memasang atas perintah saya, tentu yang mencabut akan saya pidanakan. Tapi, itu bukan dari tim saya,” katanya.

Saya dan teman-teman Rumah Dunia bingung sekaligus juga kecewa atas respons tersebut. Kecewa, karena mereka yang selama ini menjadi panutan dan berkewajiban melindungi rakyat, sebaliknya melontarkan ancaman dan membawa-bawa urusan hukum untuk menyelesaikan perkara kecil ini. Padahal, saya dan teman-teman Rumah Dunia hanya mengingatkan dan hanya bicara hak. Tak lebih.

Kata Sukadri Rinakit dalam bukunya Tuhan Tidak Tidur, ia menulis, jika politik dimaknai sebagai cara, tentu cara apa pun akan dilakukan. Terlepas apakah cara itu menyakiti orang lain (menindas). Apakah cara itu melanggar etika. Karena, tujuan dari politik yang berpegang teguh pada cara jelas hanya demi meraih kepentingan dan kekuasaan. Tapi, jika politik dimaknai sebagai ilmu, tentu yang namanya ilmu akan ada erat kaitannya dengan etika. Yang terjadi, para politikus hari ini justru memaknai politik sebagai cara. Wajar pada akhirnya yang muncul sifat arogansi. Sifat-sifat kepemimpinan malah jauh panggang dari pada api.

Menurut saya, sifat arogansi ini tentu bisa di latar belakangi karena mereka merasa dirinya adalah sosok yang terhormat. Memiliki banyak uang. Memiliki kedekatan hukum mengingat berada di wilayah kekuasaan. Atau, bisa jadi atas rendahnya etika dan dan minimnya analisa. Persis seperti kata Luthefi Assyaukanie dalam pengantarnya di buku Nusantara, Sejarah Indonesia. Dia mengatakan, para politikus cenderung menggunakan ingatan pendek dalam menganalisa sebuah peristiwa sosial budaya.

Pada akhirnya, kisah Sang Kiai dan dan peristiwa baliho dua hal yang hampir sama. Dua-duanya mengambil hak orang lain. Sang Kiai menyadari kelalaian itu ketika dirinya sudah meninggal. Sudah di dalam kubur. Sedangkan, politikus tidak mau menyadari memasang baliho di tanah Rumah Dunia itu sebuah kesalahan. Justru sebaliknya, ia memakai tubuh politiknya sebagai ruang kekuasaan.(*)