“Ini serius?”
Aku menatap selembar kertas berwarna merah muda yang baru saja diberikan oleh Santo, teman satu tim di bagian marketing, dengan tatapan bingung.
“Serius lah, Gun, masa gue bohong.”
“Ya tapi…., kok bisa, sih?”
Santo memandangku dengan pandangan aneh, keningnya sampai berkerut.
“Bisa lah, gue rasa semua orang juga pernah ngalamin, kok.”
“Gue nggak To, dan kayaknya gue juga nggak bakal datang ke sini, deh,” kataku sambil memandang kertas merah muda yang masih tergenggam dengan erat di tanganku itu.
“Terserah elu, Gun, gue juga nggak maksa elu harus dateng. Acaranya juga masih seminggu lagi, jadi elu nggak harus ambil keputusan sekarang.”
“Gue balikin aja ya kertas ini ke elu, nanti elu ‘kan bisa kasih ke yang lain.”
Santo menggeleng, “Nggak usah, undangan ini emang khusus buat elu. Kalau elu akhirnya nggak mau dateng, nggak apa-apa tapi gue berharap elu pikir lagi aja.”
“Tapi To….” Aku masih akan menyela untuk memberikan alasan yang lain lagi tapi Santo segera melambaikan tangan lalu pergi.
Aku menatap kembali kertas berwarna merah muda itu. Di bagian atasnya tertulis dengan huruf kapital berwarna hitam UNDANGAN. Di bagian ini aku masih bisa menerima kalau kertas ini merupakan sebuah undangan tapi di bagian bawahnya aku masih belum paham apa gunanya acara yang tertera di kertas undangan itu dilakukan.
Untuk apa sih sakit hati dibuatkan pesta? Aku bergumam dalam hati.
Hampir saja kertas itu aku buang ke tong sampah yang terletak tidak jauh dari parkiran motor gedung tempatku bekerja, namun, entah dorongan dari mana, akhirnya aku putuskan untuk menyimpan kertas itu di dalam tas ransel yang sedang aku bawa.
Bergegas, aku berjalan ke arah motorku dan membawanya melaju ke tempat kost di kawasan pemukiman penduduk yang berada tepat di belakang komplek gedung perkantoran ini.
Hari semakin gelap, suara guruh terdengar silih berganti. Beberapa tetes air hujan mulai turun.
Aku semakin mempercepat laju motorku.
***
Jumat, tanggal 8 Februari.
Akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke acara Pesta Sakit Hati ini.
Aku melangkahkan kakiku ke dalam lobi sebuah hotel berbintang empat di kawasan Setiabudi sambil melihat ke kiri dan kanan. Beharap menemukan Santo, satu-satunya orang yang aku kenal di sini.
Baru saja aku hendak duduk di sofa, sebuah suara terdengar memanggil namaku.
“Gun! Gunawan!”
Aku menoleh mencari sumber suara, terlihat Santo berlari-lari kecil menghampiriku.
“Gue pikir elu nggak dateng,” suara Santo terdengar ceria.
Aku tersenyum, “Penasaran gue kayak gimana sih acaranya, makanya gue dateng, deh.”
“Acaranya di conference room di lantai dua, yuk, gue temenin ke sana.”
Aku mengangguk kecil.
Aku dan Santo berjalan beriringan menuju ke arah lift. Ditekannya tombol yang bergambar tanda panah ke atas. Tidak berapa lama, pintu lift terbuka.
“Gue sengaja nggak nanya-nanya elu beberapa hari ini biar nggak terkesan gue maksa-maksa.”
Aku kembali mengangguk kecil.
Pintu lift terbuka. Aku mengikuti Santo yang berjalan duluan menuju ke arah conference room di sisi bagian kiri dari lift tadi.
Sesampainya di sana, aku melihat beberapa orang sudah hadir. Mungkin sekitar dua sampai tiga puluh. Tidak terlalu banyak untuk ruangan sebesar ini, pikirku.
“Acara ini emang sengaja gak ngundang banyak orang Gun, supaya bisa lebih private aja,” kata Santo tiba-tiba, seakan bisa membaca pikiranku.
“Kok elu bisa sih ngundang gue? Apa alasannya?”
Baru saja Santo hendak menjawab, seseorang memanggil namanya.
“Duduk di sana yuk Gun, acaranya udah mau mulai.”
Aku menurut.
Aku duduk di sebelah Santo di barisan kedua dari depan. Tidak berapa lama, semua bangku di ruangan itu sudah terisi penuh.
“Kok elu bisa sih ngundang gue ke sini?” Aku bertanya kembali dengan berbisik.
“Karena gue lihat elu tuh sebenernya lagi depresi,” Santo menjawab juga dengan berbisik.
Aku tertegun. Memang terlihat jelas? Dari mana?
Seorang pria bertubuh sedikit gemuk maju ke depan podium. Pakaiannya santai. Kemeja biru berlengan pendek, dipadankan dengan celana jeans berwarna senada.
Dengan tatapan hangat, pria itu menatap seluruh isi ruangan sambil tersenyum.
“Selamat malam, sahabat-sahabat semua. Saya senang sekali bisa bertemu sahabat-sahabat semua di malam ini.”
Aku tidak kenal siapa pria yang baru saja berbicara itu tetapi suaranya begitu teduh sehingga aku seperti terhanyut ke dalamnya.
“Bagi yang belum tahu, nama saya Airlangga. Saya adalah praktisi di bidang kesehatan mental. Malam ini, sahabat-sahabat semua diundang oleh teman-teman yang peduli dengan kesehatan mental supaya bisa saling berbagi dan menguatkan.”
“Kenapa acara hari ini dinamakan Pesta Sakit Hati? Nanti kita akan bikin kelompok, satu kelompok lima orang, dan di situ nanti sahabat-sahabat semua akan berbicara tentang semua hal yang sudah bikin sakit hati, setelah itu, kita rayakan kebebasan perasaan saudara-saudara. Kita bikin pesta.”
“Dengan mengakui semua rasa sakit hati, kita buka semua topeng jiwa kita maka saya berharap, akan dapat menyelesaikan semua beban-beban yang sebenarnya nggak perlu tapi kita bawa dalam hidup.”
“Ingat, perasaan sakit hati itu harus diselesaikan, bukan dilupakan.”
Aku termenung mendengar penjelasan pria itu. Apakah salah kalau aku hanya mau melupakan dan bukan menyelesaikan?
Terdengar suara kursi-kursi bergeser. Pembagian kelompok dimulai. Aku, tentu saja, sekelompok dengan Santo, dan tiga orang lainnya.
“Elu harus mulai belajar percaya sama orang lain, Gun, terutama soal perasaan elu, nggak bisa semua elu tanggung sendiri.” Santo berbicara pelan sambil mengatur kursinya agar membentuk lingkaran kecil.
Aku hanya terdiam.
Setelah kursi tersusun rapi, Santo lalu berdiri dan mulai berbicara.
“Sebelum kita saling terbuka, saya akan bercerita lebih dulu mengenai diri saya, apa yang saya alami,” Santo berhenti sejenak, mengambil napas,” Waktu kecil, saya pernah dilecehkan secara seksual oleh om saya sendiri, dan itu sangat membekas hingga saat ini, sampai….”
Aku terkejut mendengar perkataan itu. Ternyata, Santo yang selama ini aku kenal baik, ramah dan suka bergurau, menyimpan luka yang begitu parah. Saat Santo melanjutkan ceritanya, kepala aku mulai terasa berdenyut-denyut.
Berikutnya, orang lain di dalam kelompokku mulai becerita bahwa ia pernah dikhianati oleh sahabat yang ia percayai, mengakibatkan ia mempunyai utang yang banyak. Kemudian, ada kisah mengenai perlakuan yang tidak enak yang harus diterima hanya karena status sosial dan ekonomi. Demikian seterusnya sampai tiba saatnya, giliran aku yang berbicara.
Perlahan, aku berdiri. Awalnya, aku tidak tahu apa yang mau aku ceritakan sampai tiba-tiba, sebuah kenangan muncul di kepalaku. Kenangan yang sudah beberapa tahun ini setengah mati aku coba lupakan.
“Beberapa tahun yang lalu, saat kedua orang tua saya memutuskan untuk bercerai, saya merasa sangat bingung dan kehilangan arah, akhirnya, saya kabur dari rumah, dan….”
Aku terdiam, napasku terasa sesak dan lututku lemas. Seketika, seperti air bah, air mataku tumpah. Aku menangis dengan hebatnya. Jebol sudah semua pertahanan yang selama ini aku bangun dengan susah payah.
Ternyata, rasa sakit itu tidak pernah hilang. Akulah yang sebenarnya sedang bersembunyi dan takut untuk menghadapinya.
*) Image by istockphoto.com