Bercahaya, wajahnya sungguh bercahaya. Semburat sinar yang menyembul dari layar ponsel menerangi seluruh permukaan wajahnya. Sekejap kukira aku tengah bermimpi, tapi tidak, aku melihatmu secara nyata.

Itu hal pertama yang terbersit di kepalaku sesaat setelah kamu duduk di seberang. Masih dengan ponsel jadul yang kemungkinan sudah terpakai di dua generasi sebelumnya, kamu terlalu hanyut dalam layar mungil itu.

Namun itulah sisi baiknya. Kamu tidak menyadari ada seseorang yang mengamatimu tepat dua meter di seberang, terheran-heran dengan anggukan kepalamu yang seru, besar dugaan karena kamu habis mengunduh lagu baru lewat layanan pulsa seluler.

Namanya Tony Han dan dia selalu punya tendensi untuk mengikuti tren terkini. Baru menghafalkan bait dan gerakan ‘Step by step, oh, Baby ‘, selang beberapa hari kemudian, dia berangkat ke sekolah dengan dandanan serupa Kurt Cobain. Padahal kala itu rambutnya belum cukup gondrong untuk gaya seperti itu dan dia pun tidak jago-jago amat bermain gitar akustik, alih-alih gitar listrik. Di lain waktu, dia akan terus berputar dengan stand mic khayalannya mengikuti gaya tarian ‘NSYNC, serupa dengan tren yang akan terus silih berganti di lembar kehidupan remajanya.

Aku tidak tahu apakah kamu menulis namaku di lembar remajamu.

Tapi, Tony, kamu jelas ada di lembaranku. Mampir satu bab penuh yang aku dedikasikan khusus untukmu. Lagi-lagi kutekankan bahwa itu terjadi ketika cahaya lampu murahan yang kelap-kelipnya membuat orang mau muntah, menyinari wajahmu di pojok ruangan kala itu.

Entah bajingan siapa yang sengaja meletakkan lampu itu. Intinya, begitu aku duduk di sana, dan tatapanku tak sengaja jatuh kepadamu, lampu itu seakan membuatmu menjadi karakter dalam film Wong Kar Wai—lengkap dengan efek kamera yang bikin kepalaku pusing bukan main. Tak peduli bagaimana kerasnya musik di pesta itu, kamu sangat asyik dengan ponsel dan earphone-mu. Aku tidak tahu kamu ke mana setelah itu karena aku harus berdiri untuk mengisi ulang cup dengan soda. Ketika aku kembali, sofamu telah kosong. Mungkin kamu ikut menyambut seseorang yang baru datang dan disambut berlebihan oleh seisi rumah, kamu mengenalnya dan dia pasti mengajakmu bermain lempar bola ping pong dengan cup plastik di meja bilyar. Mungkin saja.

Aku mengurungkan niat untuk menghampirimu. Berpikir kali saja saat itu kita bukanlah benang merah takdir.

Kita tidak sekelas, tapi cukup sering berpapasan. Hingga kemudian kita berada di titik saling mengenal sebab ternyata kita berteman dengan beberapa orang yang sama. Dari Si A yang berteman dengan Si B, dan B yang berpacaran dengan C, dan C yang ternyata teman kecil D. Lingkaran panjang itu mempertemukan kita, benang merah kita.

Pertemuan di koridor C menjadi rutinitas kita untuk saling menyapa “Selamat siang!” dan bertanya “Kenapa kamu bolos di jam keempat lagi?” Bahkan, “Boleh pinjam buku Bahasa Inggris? Aku lupa bawa.” Atau“Aku lagi ngumpet, kalau guru sains itu belok ke sini tolong bilang aku tidak lewat sini, ya?”

Namun kamu masih menyisakan bagian kosong dalam lembaranku. Ini mengenai perasaanmu menyangkut tipe gadis yang kamu suka. Di umur tujuh belas tahun yang sangat naif itu, aku memutuskan ‘menginterogasi’ manusia-manusia yang diundang ke sebuah pesta (lagi) di suatu malam Sabtu. Aku mengutarakan pertanyaan normal semacam; siapa cowok yang menurut kalian paling gaul di sekolah, siapa yang paling atraktif, siapa yang paling jago menari, siapa yang cocok jadi promking/queen tahun ini, siapa yang oke untuk dijadikan teman kencan, sebagai pertanyaan pengantar. Misiku cuma untuk mengetahui ‘siapa’ jawabanmu.

Anak-anak memberikan jawaban beragam. Mulai dari jawaban simpel sampai menginterogasi balik — yang ini mungkin karena risih dengan pertanyaanku. Malam itu dipenuhi musik berisik, disjoki abal-abal, jawaban nyaring orang-orang dan seruan keras ‘Apa?’ dari mulutku. Aku rela gendang telingaku pecah demi mencari jawaban. Hingga aku bertemu sekumpulan perempuan yang asyik bermain panahan mini dekat sepen.

“Jules, pertanyaanmu mengerucut banget, deh. Okay, we get it. You two are cute together.”

“Gimana maksudmu?”

Nicole menutup mulutnya, terkejut yang dibuat-buat.

Please don’t say it, girl. Jangan bilang lu pura-pura bego buat bikin wawancara ini allowed by us.

Aku masih terdiam. Rasanya Nicole malah kelihatan menjelek-jelekkanku di depan kawan-kawannya.

“Jules, serius, kita kira kamu sudah tahu kalau Tony itu suka sama kamu.”

Tubuhku seperti disambar petir, Tony. Kalau kamu sungguh penasaran bagaimana rasanya.

Rupanya semua—ralat—SEMUA ORANG tahu kalau kamu menyukaiku kecuali kita sendiri. Kudengar kamu kabur lewat jendela belakang dapur ketika Nicole bertanya (secara paksa) padamu tentang hubungan kita berdua. Lalu terang-terangan mengataimu ‘cowok culun’. Semoga kamu tidak menangis di perjalanan pulang.

Kadang aku sungguh ingin mencongkel kepalamu, sekadar untuk mengetahui apa yang sedang kamu pikirkan.

Apa yang kamu bayangkan kala mendengarkan lagu hits lewat Sony Walkman WM-FX407 milikmu itu? Siapa yang kamu maksud ketika bernyanyi keras-keras seolah berusaha membuat langit mendengar lirik ‘As Long As You Love Me‘? Kenapa kamu menghindari pertanyaan seorang Nicolette Oh sampai rela kabur lewat jendela pada malam Sabtu itu? Is that a big deal?

Aku sangat ingin mengetahui jawabanmu. Setelah beberapa pesta, undangan pasangan prom (meskipun akhirnya terlambat karena aku terlanjur diajak orang lain dan kita hanya berdansa di akhir acara), berbagi earphone untuk mendengarkan Utada Hikaru di dalam bus, pemberian kancing seragam, bahkan coretan nekatku di album foto angkatan. Aku yakin kamu pasti membacanya dan semoga itu membuatmu sadar.

Hanya kamu yang kupikirkan ketika bus jarak dekat penuh hingga kacanya berembun. Seorang remaja laki-laki langsung mengenakan headphone begitu mendapat tempat duduk yang kosong. Ia menoleh dan mendapatiku tengah mengamatinya diam-diam, kemudian kami berdua langsung saling mengalihkan pandangan. Aku sungguh tidak bermaksud mengamatinya, tetapi begitu celana berwarna abu-abu dan jas biru tua terlihat familiar, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.

Dia membuka majalah yang dibawanya. Membacanya dengan serius lembar demi lembar. Aku tersenyum ketika melihat sampul majalah itu. Lagi-lagi segala hal tentang tren dan musik membuatku mengingatmu. Entah sampai berapa siklus kultur populer yang berputar, dari remaja kaukasia hingga wajah-wajah oriental yang menghiasi sampul majalah gaul abad ini, aku tetap tidak akan berhenti menyukaimu.

Oh, dan kuharap kamu sadar di balik tulisanku di foto angkatanmu, aku juga menuliskan nomor teleponku yang masih kupakai sampai sekarang.

*) Image by istockphoto.com