KURUNGBUKA.com – Berbeda dengan film Ali & Ratu Ratu Queens (2021) yang lebih menyoroti perjalanan hidup Ali, versi mini series ini justru mengalihkan sorotannya kepada para Ratu itu sendiri: Party, Ance, Biyah, dan Chinta. Keempat karakter ini diperankan oleh para aktris dengan jam terbang tinggi—Nirina Zubir, Tika Panggabean, Asri Welas, dan Happy Salma—yang masing-masing mampu menghidupkan karakternya dengan kuat di Ratu-Ratu Queens garapan Lucky Kuswandi ini.

Nirina Zubir memerankan Party, seorang cleaning lady yang keibuan, namun harus berjuang mempertahankan apartemen sembari bekerja secara ilegal. Lalu ada Ance (Tika Panggabean), seorang single mom galak yang sibuk menghadapi tingkah putrinya, Eva (Luna Allegra) yang mulai beranjak remaja. Suka banget sama aktingnya Luna yang terasa jujur dan tulus. Chinta (Happy Salma) digambarkan harus menerima kenyataan pahit ketika tiba-tiba dihadapkan pada perceraian. Sementara itu, Biyah (Asri Welas) hadir sebagai sosok cuek yang tampak tak punya arah hidup, tetapi rela melakukan pekerjaan apa saja demi bertahan hidup—dari menjadi maskot Patung Liberty hingga berkostum hot dog.

Mini series ini mengambil latar waktu sebelum timeline versi film, tepatnya di tahun 2013. Hal itu terlihat dari usia Eva yang masih berusia 13 tahun. Cerita dituturkan melalui sudut pandang Party dengan segala problematika hidupnya. Saya masih ingat saat menonton filmnya pada 2021 lalu, sempat berpikir bahwa plot-plotnya terlalu menumpuk dan mungkin lebih pas jika dijadikan serial. Dan ternyata benar, tahun ini hadir versi mini series yang berhasil menjawab banyak pertanyaan dari filmnya. Backstory masing-masing Ratu di Queens tergambar lebih jelas, meski memang alasan bagaimana mereka bisa dengan mudah memperoleh visa AS masih tidak terjelaskan sepenuhnya.

BACA JUGA: Ali dan Ratu Ratu Queens, Premis Tumpang Tindih dan Misi Tokoh Utama yang Hilang Arah

Kekuatan utama serial ini adalah fokus pada dinamika tiap karakter dan penyelesaian masalah mereka secara bertahap. Alurnya rapi, pertemuan mereka di episode awal tidak terasa dipaksakan, dan dinamika emosinya berhasil membuat saya ikut terbawa. Sosok Biyah, misalnya, dengan segala cara yang ditempuhnya untuk bertahan hidup, memberi warna tersendiri pada cerita. Serial ini pun menghadirkan potret yang realistis tentang kerasnya kehidupan di Queens, Amerika Serikat—kontras antara gemerlap lanskap indah dengan sisi getir kehidupan sehari-hari.

Memang ada kekurangan minor, misalnya detail teknis seperti pelat nomor kendaraan yang tidak sesuai tahun latarnya. Namun hal ini tak sampai merusak pengalaman menonton. Beberapa adegan flashback di Indonesia juga masih terasa singkat, tapi saya paham alasannya: agar fokus tetap bertahan di Queens.

Dari semua episode, menurut saya yang paling menonjol adalah episode bertajuk Pengkhianatan. Di sana, begitu banyak hal penting terungkap dan tensi emosinya terasa sangat lengkap. Penonton benar-benar diajak untuk merasakan campur aduk perasaan—antara marah, sedih, dan tersentuh. Serial ini pada akhirnya menunjukkan bahwa tidak ada persahabatan yang sempurna. Justru di sanalah letak kekuatannya: bagaimana kita belajar menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Secara keseluruhan, mini series ini layak ditonton. Ia bukan hanya pelengkap filmnya, tetapi berdiri dengan kekuatan sendiri dalam menghadirkan cerita yang emosional, manusiawi, dan hangat.

Skor: 8,5/10

*) Image by imdb.com