Luna tidak langsung percaya begitu saja sebab kabar tersebut dibawa oleh burung. Kolibri sebagai seekor burung meyakinkan Luna jika kabar tersebut memang benar adanya, bahkan sudah diberitakan oleh koran-koran, Kolibri sendiri membawa serta koran tersebut dicengkraman kakinya.
Langit Tugu Nasional atau biasa dipanggil Luna, kemudian membaca koran yang disodorkan oleh Kolibri. Dalam sekejap wajah yang semula penuh keraguan berubah menjadi penuh klangenan.
Di penghujung tahun 2099 manusia yang berada di bawah kaki Luna akan menghaturkan doa serta puji-puja kehadirat-Nya. Bukan lagi menyelesaikan malam dengan tiupan terompet beserta letupan kembang api yang penuh hura dan sangat membahayakan keselamatan Luna.
***
Jangkah demi jangkah, sang Surya meninggalkan Luna. Memberi jejak spektrum cahaya jingga di setiap telapaknya. Pelan perlahan cakrawala cengkal demi cengkal memberikan tinta gelapnya.
Malam datang. Luna berbinar-binar hatinya, menanti kedatangan manusia seperti yang diberitakan oleh Kolibri.
Satu per satu manusia datang. Masing-masing dari mereka membawa tenor, tampah, bakul, baskom, rantang berisi makanan dengan cara disunggi, dipanggul dan dicangking. Dari kejauhan, Luna, menyaksikan mereka berjalan seperti koloni semut, yang akan menempelkan antenanya setiap kali bertemu semut lainnya. Dalam hal ini, mereka, manusia saling uluk salam dan bersalaman setiap kali bertemu manusia lainnya.
Luna sangat terharu menyaksikan pemandangan yang sudah beratus tahun tidak ia saksikan. Inilah malam pergantian yang sesungguhnya. Penuh spirit religius. Seperti ritus Sekaten, Tawur Agung Kesanga, Puja Bhakti. Bukan malam yang terlalu banyak gairah tetapi kurang perenungan. Malam yang juga malam sebagai malam refleksi, instropeksi, pengakuan dan harapan, tidak hanya sekedar simbol-simbol warna dan suara yang hanya berselimut hura-hura.
Pada malam itu, kawasan Tugu Nasional berubah menjadi tempat yang sakral. Pakaian kebesaran beraneka warna yang dipakai masing-masing mereka tidak berarti lagi kecuali sebagai hamba yang bersimpuh tiada daya dihadapan-Nya.
Aneka ubarampe sudah ditata, beragam sesaji tampak memenuhi atas meja, kitab-kitab tersusun siap dibaca, aroma dupa mengawur kemana-mana. Tua muda, gadis perjaka, semuanya duduk sila berjejer rapi, menundukkan kepala dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Dalam ketakjubannya pada manusia di kaki langitnya, tiba-tiba Luna didatangi oleh Langitsana. Langitsana datang tergopoh membawa berkubik-kubik air dalam wadah raksasa yang ditariknya.
“Hai Luna…”
“Ohh Langitsana… mengapa kau begitu payah, apa telah terjadi?”
Langitsana lantas menceritakan maksud kedatangannya. Langitsana sebenarnya telah disekutui oleh seorang pintar dari kaki langitnya sana. Namun, dalam kesepakatannya tersebut, Langitsana tidak menyangka apabila air yang menjadi kesepakatan yang turun di malam itu akan sebanyak itu. Langitsana kewalahan untuk menahan air supaya tidak turun. Apabila turun, dirinya tidak hanya batal mendapat bayaran tetapi juga mendapat hukuman yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya oleh seorang pintar tersebut.
Luna bersikap tegak lurus sesuai hatinya. Luna tidak tega untuk menurunkan air di bawah kaki langitnya sedang jelas-jelas manusia di bawahnya sudah membuatnya bahagia. Akhirnya Luna menolak titipan air dari Langitsana. Dan Langitsana pun pergi.
Tidak lama berselang datanglah sepoi angin berbondong lumayan kencang tapi tetap lembut. Dan dari kejauhan terlihat kerlap-kerlip juga sesekali terdengar dentuman yang menggelegar, hanya saja posisinya terlampau jauh sehingga terdengar samar. Luna paham betul dengan tanda-tanda semesta itu. Sebuah awan pemberian semesta datang mendekat.
Ia tolah-toleh berharap cemas agar apa yang ia pikirkan tidak terjadi. Luna begitu gamam. Luna sangat sangat tidak tega jika harus mengguyur ribuan manusia yang sedang bersimpuh kepada-Nya.
Luna lantas memanggil burung-burung nokturnal salah satu di antaranya burung Kowak Malam Abu. Luna meminta bantuan para burung untuk menggeret awan itu menjauh dari wilayah kaki langit Luna.
Kowaak waakkk kowaakk
Waak koowwakk wwakkk
Tidak membutuhkan waktu lama, para burung terbang menjemput awan untuk diantar menjauh dari kaki langit Luna.
Di samping itu, Luna memanjatkan doa kepada Tuhan supaya menunda kehendak-Nya menurunkan air hujan di bawah kaki langitnya.
“Di tempat ini, Tuhan. Masih ada orang yang refleksi dan mengagungkan nama-Mu. Di malam ini, saya bersaksi atas penghambaan manusia, Tuhan. Mohonlah saya Luna merasa tidak tega apabila harus menjatuhkan air kepada mereka. Dan kiranya segelintir manusia ini bisa menjadi penawar atau penolak bala atas kesombongan manusia di seluruh dunia, sebab ternyata masih ada yang mengagungkan-Mu, Tuhan. Aku yakin Kau pasti juga tidak akan tega kan? Benarkan Tuhan? Ayo benarkan Tuhan? Maka kabulkanlah ya, Tuhan.”
Para burung bahu-membahu sekuat tenaga menggeser awan. Awan warna abu-abu yang begitu besar dicengkeram di setiap sisinya oleh cakar-cakar burung nokturnal. Para burung terlihat payah, megap-megap, bahkan sayapnya satu-persatu tanggal. Hingga akhirnya para burung melepas cengkreman awan, sebab sudah tidak kuasa lagi membawa bebannya.
“Maafkan kami, Lun. Awannya terlampau berat.”
“Maafkan kami ya, Luna…”
Luna akhirnya bersiap-siap sekuat tenaga menahan awan supaya terlambat jatuh menjadi hujan. Setidaknya sampai manusia selesai bersimpuh di Tugu Nasional. Luna melonggarkan kain yang dipakainya, lalu memasang kuda-kuda sembari menarik napas panjang-panjang dengan memejamkan mata. Luna mengumpulkan tenaga sedemikian rupa untuk menahan awan.
Seketika, terdengar kepakan sayap begitu gagah nan lembut. Luna membuka mata, Luna melihat sosok bersayap penuh cahaya. Wujudnya tidak terlampau kentara, sebab Luna tak sanggup menatapnya lama-lama. Sesekali Luna melihat dengan menyipitkan mata. Dalam penglihatannya yang klepbyar-klepbyar Luna melihat awan diseret menjauh dari kaki langitnya.
“Oh… Tuhan…” Ucap Luna dengan mata berkaca-kaca.
*) Image by istockphoto.com