KURUNGBUKA.com – Kurikulum berganti, tapi guru tidak. Gita Wirjawan bilang: peran seorang guru penting sekali, saya lebih memprioritaskan kualitas guru daripada kualitas kurikulum, bukan berarti kurikulum tidak perlu diperbaiki … tapi kalau gurunya tidak berkualitas, itu dampaknya sangat struktural & sangat jangka panjang. Pernyataan ini menekankan bahwa kita butuh guru-guru yang bukan sekadar mengajar, namun lebih dari itu: guru yang memiliki kebiasaan positif; yang memiliki growth mindset; yang memiliki sikap terhadap situasi hari ini.
Setiap membaca berita perihal literasi, saya selalu menemukan kalimat-kalimat seperti ini: anak-anak Indonesia memiliki minat membaca rendah, membaca belum menjadi aktivitas menyenangkan para murid atau siswa-siswi Indonesia malas membaca. Yang pasti dari berita itu adalah subjek ‘yang mengalami’ ialah anak atau siswa. Jarang sekali kalimatnya begini: guru-guru Indonesia memiliki minat membaca rendah, membaca belum menjadi aktivitas menyenangkan para guru atau guru-guru Indonesia malas membaca. Saya percaya bahwa minat membaca tumbuh (serta dapat dipertahankan) dari 2 faktor: pendidikan rumah & pendidikan sekolah. Rumah menentukan kebiasaan seorang anak. Orang tua mesti ‘membacakan’ cerita pada anak, bukan sekadar untuk pengantar tidur, namun juga untuk menambah kosa kata, menstimulus imajinasi & melatih daya ingat. Seperti yang dipercaya Albert Einstein: if you want your children to be intelligent, read them fairy tales … if you want them to be more intelligent, read them more fairy tales … sedangkan sekolah memfasilitasi seorang anak untuk memaparkan pendapat, berdiskusi & saling bertukar bahan bacaan. Dengan ekosistem seperti ini, anak-anak kita memiliki gaya hidup ‘membaca’ karena didukung lingkungannya. Untuk membangun lingkungan sekolah seperti yang saya paparkan di atas: pastinya guru harus baca (& nulis), kan? Kalau tak, bagaimana ia memaparkan pendapat, berdiskusi & saling bertukar bahan bacaan?
Saya membayangkan: jika seorang mahasiswa pendidikan (apa pun jurusannya) yang telah lulus sedang melamar pekerjaan di sebuah sekolah diberikan pernyataan & pertanyaan seperti ini oleh kepala sekolah tempatnya melamar: oke, silakan kamu mengajar (sesi micro teaching) … baik, terima kasih, sesi selesai. selanjutnya silakan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya … berapa banyak buku yang kamu baca selama satu tahun? jika kamu membaca, apakah kamu juga mempunyai ketertarikan dalam menulis? jika kamu menulis, kamu menulis apa & di mana kami bisa mengakses tulisan tersebut? Jikalau pertanyaan perihal membaca & menulis itu diajukan & sebagai syarat untuk menjadi seorang ‘guru’—kira-kira bagaimana kualitas pendidikan kita? Lagi & lagi, saya sekadar membayangkan.
Pramoedya Ananta Toer bilang: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah … maka lewat pernyataan Pram ini, izinkan saya memberikan alternatif solusi untuk membangun ‘ekosistem’ yang sempat saya singgung di atas tadi. Saya bersemayam dalam Divisi Kurikulum & Riset bagian Literasi Sekolah Azzakiyah Islamic Leadership (selanjutnya saya sebut SAIL), saya membuat program ‘Seguru-Seesai’. Program yang ‘mewajibkan’ semua guru menulis 1 esai untuk sebulan. Mengapa bentuk tulisannya esai? [1] Esai adalah bentuk yang, saya pikir, paling mendekati & mampu mewadahi berbagai pikiran sekaligus sikap serta memaparkan jalan keluar dari sebuah studi kasus dengan bahasa yang ‘langsung’. Dalam esai, kita sama tahu, bahwa aku-penulis tampil di depan mimbar & berhadapan langsung dengan pembaca. Sedangkan fiksi, puisi atau cerpen, menggunakan aku-lirik yang mampu menjelma apa saja: orang lain, binatang, benda & lainnya.
[2] Bagi saya, esai dibagi menjadi 2 lapisan: pertama, sebuah studi kasus yang dialami guru & kedua, pikiran sekaligus sikap apa yang ditawarkan guru untuk mencari jalan keluar terhadap studi kasus yang muncul.
[3] Esai juga merupa tulisan personal yang dituturkan dengan sangat dekat: guru dapat bercerita keadaan kelasnya ‘namun tak menutup kemungkinan untuk mengutip buku, peristiwa & nama’ yang dianggapnya bisa membantunya untuk memiliki sikap terhadap studi kasus yang dialami.
[4] Esai yang ditulis guru dapat menjadi portofolio pribadi. Sikap saya tak berubah: guru adalah manusia yang terus bertumbuh. Guru adalah murid yang terus belajar. Guru, mau tidak mau, harus memiliki growth mindset.
[5] Ketika guru menulis esai, itu artinya ia sedang berhadapan dengan bahasa indonesia yang baik & benar, namun teks yang dihasilkan ‘tetap enak dibaca’ oleh siapa pun. Ketika guru tahu pedoman berbahasa, sang guru sedang memberi sikap sekaligus contoh pada anak-anaknya di kelas, bahwa: beginilah seharusnya kita berhadapan dengan bahasa—benar, baik & kontekstual.
[6] Esai-esai yang telah ditulis bisa tentang peristiwa penting di dalam kelas, metode pembelajaran yang digunakan, trik-tips menghadapi psikis anak-anak, menjalin komunikasi dengan orang tua anak-anak, sikap terhadap lanskap pendidikan di Indonesia atau di dunia & efek before-after menjadi guru—masih banyak lagi.
6 alasan di atas yang menjadi pondasi program saya, esai-esai yang telah ditulis juga harus disebarluaskan, sebagaimana sebuah sikap yang dapat memengaruhi, memberikan alternatif solusi & dapat dielaborasi orang lain. Kabar baiknya adalah esai-esai para guru itu telah dimuat di berbagai media nasional. Sebutlah esai ‘Waspadai Zat Aditif dalam Makananmu’ (dimuat Kurungbuka, sebuah website sastra-budaya di Serang, Banten) karya Miftahur Rahmah Pulungan yang menegur & menjadi refleksi manusia; ketika budaya konsumtif semakin menjadi, ketika makanan bukan jadi kebutuhan, tapi sudah jadi ‘berlebihan’.
Sebagaimana juga kita berlebihan bermain gawai. Esai ‘Smartphone With a Smart People’ (dimuat Koran Rakyat Sumbar, sebuah media cetak di Sumatra Barat) karya Rosliana Hasibuan menjabarkan tips penggunaan gawai di rumah bersama keluarga & apa kaitan gawai dengan penggunaanya.
Gawai menjadi jembatan untuk mengetahui segala hal, layaknya sebuah film yang memberikan pengalaman audio & visual memukau. Esai ‘Ini Film untuk Anak-anak?!’ (dimuat Kurungbuka, sebuah website sastra-budaya di Serang, Banten) karya Anggreini Ayu Lestari Br Sembiring mengulas film Jumbo, bagaimana film memengaruhi anak-anak & ingin mengatakan pada kita: manusia tidak hitam, tidak juga putih; manusia itu kompleks.
Ya, sebagaimana siswa yang kompleks, metode mengajar guru pun harus variatif & terus diperbaharui. Esai ‘Bebas Pilih Soal Bukan Asesmen Biasa’ karya Syaprilliani (dimuat eXpos Sumbar, sebuah website sastra-budaya di Sumatra Barat) mengajak kita berpikir ulang: bagaimana cara memberikan asesmen pada siswa? Esai yang praktikal, menyenangkan, namun tak kehilangan esensinya.
Sebagaimana esensi didapatkan dari kerja serius & fokus. Lawan dari fokus adalah distraksi. Esai ‘Distraksi Perkembangan Literasi pada Anak Era Kiwari’ karya Zafira Aulia Putri (dimuat Omong-omong, sebuah website sastra-budaya di Jakarta) memperlihatkan bagaimana dampak gawai & buku; bagaimana kita dihadapkan oleh keduanya.
Bagaimana keduanya membentuk perspektif kita terhadap budaya, pendidikan bahkan agama. Esai ‘Belajar Fisika dalam Perspektif Islami’ karya Miftahur Rahmah Pulungan (dimuat Janang, sebuah website sastra-budaya di Sumatra Barat) membuktikan bahwa ilmu pengetahuan & kepercayaan memiliki tujuan yang sama.
Di zaman yang rapuh & rentan seperti ini, sikap guru begitu penting. Sebab seperti yang dikatakan Arne Tiselius: we live in a world where unfortunately the distinction between true and false appears to become increasingly blurred by manipulation of facts, by exploitation of uncritical minds, and by the pollution of the language. Siapa lagi yang menjadi pedoman siswa-siwi selain gurunya. Guru bisa saja mengatakan: ayo kita membaca atau ayo kita menulis. Tapi murid pun dengan mudah dapat mengatakan: memangnya ibu/bapak membaca? … memangnya ibu/bapak menulis? Dengan menulis esai, para guru memberi tindakan, bukan kata-kata, apalagi jargon yang di dalam kalimatnya selalu ada kata ‘literasi’.
Medan, 2025
*) Image by Titan Sadewo – cara mencintai seseorang
Kepala sekolah punya kuasa anggaran dan kuasa supervisi. Guru dan murid di era ini harus dipaksa membaca, membaca, membaca, lalu menulis. Terutama guru, satu bulan atau tiap tiga bulan wajibkan menulis satu esai.
Mari kita budayakan guru kencing menulis, agar murid kencing membaca.