KURUNGBUKA.com – Pengarang itu sudah tua. Namun, Indonesia tetap membacanya. Apa maksudnya Indonesia yang membaca buku-buku dari pengarang yang sudah tua? Buku-buku lamanya masih bisa dicari. Yang ingin buku-bukunya yang cetak ulang tapi dengan garapan sampul yang “jelek” bisa mendapat di toko buku. Gampang gara-gara yang menerbitkan Gramedia Pustaka Utama.
Siapa nama pengarang yang sudah tua? Kita sedang tebak-tebakan tanpa hadiah dan tawa. Pengarang yang betah tinggal di Jogjakarta meskipun ia berasal dari pulau berbeda. Yang mengenalnya mula-mula dalam novel tapi sosok itu serius dalam jurnalistik dan penelitian. Petunjuk sudah diberikan agar terjawab nama. Akhirnya, kita berakraban dengan pengarang yang bernama Ashadi Siregar.
Yang sudah tua berarti pernah muda. Kita mengingat Ashadi Siregar saat berumur 30-an tahun. “Ashadi Siregar (32 tahun) tinggi kurus, berjenggot dengan rambut yang hampir sepundak,” gambaran yang ditulis dalam majalah Femina, 29 Maret 1977.
Bayangkanlah ia masih muda dan tenar-tenarnya. Yang membuatnya merebut perhatian jutaan orang di Indonesia adalah novel berjudul Cintaku di Kampus Biru. Novel itu digarap menjadi film. Indonesia yang membaca dan menonton menempatkannya sebagai pengarang yang mumpuni, tidak kebablasan menjadi artis.
Ashadi Siregar bilang kepada pihak Femina: “Saya tidak ingin orang lain mempedulikan saya. Lagipula perjalanan hidup maupun kehidupan saya tidak ada yang patut dijadikan contoh,” Omongan yang tidak boleh dipercaya. Ia adalah pengarang kondang dan pengajar di kampus yang mendapat pujian para mahasiswanya.
Kita wajib ingat novelnya yang berjudul Terminal Cinta Terakhir. Novel yang tidak pernah dapat lanjutan sebagai serial dengan terbitnya Stasiun Cinta Terakhir, Bandara Cinta Terakhir, atau Pelabuhan Cinta Terakhir. Ashadi Siregar tidak mumpun terkenal atau keranjingan membuat cerita. Jadi, yang diberikannya kepada Indonesia cuma “terminal”. Ia tidak ada niat menjadi pengarang sekaligus pakar alat transportasi di Indonesia. Yang ingin membaca lagi Terminal Cinta Terakhir jangan lupa sambil mendengarkan lagu yang dibawakan Franky Sahilatua dan Iwan Fals: Hangatnya matahari membakar tapak kaki/ Siang itu di sebuah terminal yang tak rapi/ Wajah pejalan kaki kusut mengutuk hari/ Jari-jari kekar kondektur genit goda kaki. Di lembarang sejarah, novel dan lagu itu bernasib berbeda.
Kita kembali membaca halaman-halaman di majalah Femina saja. Ada penjelasan yang membuktikan Ashadi Siregar bukan pengarang sombong: “Motif dia menulis, katanya, bukan untuk mengungkapkan yang indah-indah. Ceritanya membawa pesan buat orang yang ingin dicapainya, yaitu anak-anak muda yang hidupnya menghadapi tantangan-tantangan. Konon, baginya, menulis adalah kebutuhan untuk berkomunikasi.” Pada akhirnya, kita berpikir sastra dan komunikasi. Dulu, ada pengamat sastra yang juga membahas komunikasi. Ia mengajar di Malaysia, namanya Umar Junus.
Orang yang suka membaca novel boleh bilang hikmahnya adalah memudahkan berkomunikasi dengan orang lain. Namun, jurusan komunikasi yang ada di universitas tidak ada mata kuliah sastra atau novel. Padahal jika mengikuti pengakuan Ashadi Siregar seharusnya para mahasiswa yang belajar di jurusan komunikasi suka membaca novel. Mereka boleh membaca novel dari para pengarang dunia atau Indonesia.
Di majalah Femina, ada keterangan jangan terlewat: “Kelihatannya novel inilah (Terminal Cinta Terakhir) yang paling berkesan pada diri Ashadi Siregar. Setelah penulisan selesai, ia membacanya kembali. Ashadi Siregar menjadi terharu dan menangis. mengapa? Katanya, kisah ini hampir mirip dengan perjalanan hidupnya.” Pengarang boleh menangis. Anehnya, yang paling banyak menangis adalah pembacanya. Kebenaran tak terbantah. Yang menulis satu orang, yang membaca ribuan orang.
Pada abad XXI, pengarang-pengarang baru bermunculan. Novel-novel gubahan Ashadi Siregar tetap mendapat pembaca. Yang berkunjung ke toko buku mungkin paham: jumlah novel Tere Liye lebih banyak yang dipajang dan penjualannya laris. Di situ, ada pula beberapa novel Ashadi Siregar yang menunggu pembaca. Kita menduga pembaca tua yang mau bernostalgia atau pembaca baru yang ingin mengetahui kemeriahan novel pop masa lalu.
Kita menanti terjadi perayaan besar demi Ashadi Siregar. Maksudnya, ada seri seminar di pelbagai tempat mengenai novel-novel Ashadi Siregar. Ada usulan menyelenggarakan sayembara kritik sastra yang bersumber novel-novel gubahan Ashadi Siregar. Yang mungkin dilakukan lagi adalah pementasan teater berdasarkan novel. Ashadi Siregar pantas dihormati dengan acara besar dan bergelimang makna.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<