KURUNGBUKA.com – Yang membuat sastra bergairah adalah majalah. Konon, sejarah sastra berbahasa Melayu dituliskan para peranakan Tionghoa bermula di lembaran-lembaran majalah. Kita telat mengetahuinya setelah pengajaran sastra selalu menyebut masa 1920-an atau Balai Poestaka. Dulu, ada yang khusus menerbitkan majalah memuat cerita-cerita. Di halaman yang belum penuh, biasanya ada puisi-puisi. Ikhtiar menerbitkan dan mengedarkan majalah oleh kaum peranakan Tionghoa itu dampak mesin cetak dan pemajuan sastra. Kita jarang menyimak sejarah mereka yang menggairahkan sastra dengan majalah, tak lupa rajin menerbitkan buku-buku.
Bagi yang membawa sisa-sisa pengajaran sastra mengingat kemunculan majalah Poedjangga Baroe. Yang mengajar bilang secara meyakinkan bahwa majalah itu berpengaruh dalam arus kemajuan sastra (berbahasa) Indonesia masa 1930-an. Padahal, ada banyak terbitan majalah yang ikut memakmurkan sastra. Apesnya, yang mendokumentasi sastra dan majalah masih terbatas.
Pada masa lalu, setelah proklamasi, terjadi pemajuan sastra bermajalah. Banyak pihak yang mendeklarasikan ingin menumbuhkan sastra melalui penerbitan majalah-majalah. Mereka sadar Indonesia belum makmur tapi sastra tidak boleh diremehkan. Majalah yang memuliakan sastra tidak mendapat kepastian memiliki pelanggan atau pembeli yang menghasilkan untung besar. Namun, ada yang nekat menerbitkan majalah-majalah sambil menyatakan keluhan dan pengharapan. Bagaimana mereka berhitung untung-rugi dan pemenuhan janji memuliakan sastra?
Yang pernah terbit adalah majalah Kisah, yang mengaku sebagai “bulan tjerita pendek”. Cara menggoda umat sastra: “mahal isinja, murah harganja.” Kita membuka majalah Kisah edisi Juli 1954. Majalah itu masih bertahan, memberikan santapan kepada para pembaca yang mementingkan sastra dalam hidup, yang tidak hanya dikoyak-koyak oleh politik atau gosip picisan yang mengiringi revolusi.
Maka, kita memberi perhatian untuk pengumuman yang dibuat oleh redaksi. Yang menulis adalah Sudjati SA. Nama yang jarang disebut-sebut dalam obrolan sastra. Ia memiliki peran besar dalam menggerakkan sastra. Ribuan orang yang dulunya membaca majalah Si Kuntjung wajib mendoakan dan menghormatinya, tidak usah mengusulkannya sebagai pahlawan nasional. Hal terpenting adalah mencatatnya dalam buku besar sastra Indonesia dan membuat perayaan sederhana untuk segala perannya di masa lalu.
Penjelasan: “Sedjak tanggal 1 Djuli 1953 itu, maka setiap bulan terbitlah Kisah jang setiap nomornja memuat antara 10-13 tjerita pendek pilihan, buah tangan aseli dari pengarang-pengarang Indonesia, dan di samping itu menghidangkan pula tjerita-tjerita terdjemah dari pengarang-pengarang dunia jang terkemuka.” Catatlah bahwa majalah itu sungguh-sungguh memikirkan nasib cerita pendek di Indonesia. Kemunculannya terduga terlambat dari kemonceran novel yang dulu dimanjakan oleh Balai Poestaka.
Pengakuan yang terbuka: “Dari sudut exploitasi madjalah belum dapat dikatakan bahwa banjaknja uang jang dikeluarkan telah dapat dihitung dengan uang jang masuk. Dengan perkataan lain, dalam arti uang, Kisah masih merupakan usaha jang rugi.” Selama setahun, Kisah memang mendapatkan pembeli dan pelanggan. Namun, uang yang masuk sedikit. Pendapatan dari iklan pun sedikit. Kisah menjadi majalah yang masih “berjuang” tapi sudah ada gejala-gejala membuat “kisah sedih” atau “kisah rugi”. Konklusi sembrono: yang berani masuk kancah sastra bersiap merugi. Kita dapat berkelakar: “bersastralah dan rugilah sepanjang masa.”
Adanya penerbitan majalah Kisah untuk kemajuan sastra memerlukan sokongan pihak-pihak yang berduit. Jadi, sastra butuh duit! Apakah anggapan itu benar? Selanjutnya, Sudjati SA mengungkapkan: “Sjukurlah usaha untuk menerbitkan batjaan jang baik tapi murah ini dapat simpati jang sebesar-besarnja dari kaum pemasan iklan jang memang jakin bahwa jang demikian sangat dibutuhkan oleh masjarakat Indonesia.” Pada masa 1950-an, usaha mengembangkan sastra terkesan “wajib” disokong iklan-iklan. Yang patut dimengerti bahwa mencari iklan itu sulit. Para pembaca tidak perlu sombong dengan mengaku terganggu iklan saat membaca cerpen-cerpen.
Majalah itu berhasil mewujudkan peran. Pada masa berbeda, umat sastra Indonesia mengetahui pengarag-pengarang yang turut dibesarkan oleh Kisah. Pada mulanya, cerita pendek gubahan mereka dimuat di Kisah, yang mendapat pujian pembaca dan kritikus sastra. Kisah dianggap majalah yang mengesahkan kepengarangan di Indonesia.
Namun, majalah itu selalu berharap untung atau tidak rugi besar. Sehingga, Sudjati menganjurkan: “…. Menambah sebanjak mungkin jumlah pembatja/pembeli dan pembatja/langganan.” Yang harus bekerja keras adalah kubu pemasaran. Dulu, yang berani membeli atau langganan adalah orang yang sudah kecukupan. Indonesia belum makmur. Jutaan orang dalam kemiskinan, yang menyulitkan mengadakan anggaran membeli majalah atau buku.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<