KURUNGBUKA.com – Pada masa muda, ia sudah lahap makan buku-buku. Ia mengetahui sastra, filsafat, ilmu-ilmu sosial, dan lain-lain. Lelaki yang dulunya berambut gondrong itu menulis puisi-puisi, yang tidak enak dibaca bagi orang-orang yang terbiasa membaca puisi Indonesia. Aneh! Mengapa ia menulis puisi yang “menggondrongkan” imajinasi pembaca? Namun, kemunculannya tidak seheboh Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri.
Ia dicatat bernama Afrizal Malna. Puisi-puisi awalnya sudah melelahkan pembaca yang telanjur berharap dan terjerat arus lirik. Yang diberikan Afrizal Malna adalah puisi-puisi tidak merdu di telinga, menyulitkan mata yang berbahasa Indonesia, dan membingungkan yang ingin jalan lurus. Pokoknya, Afrizal Malna diutus ke Indonesia untuk mencipta kesibukan-kesibukan yang mencemaskan sekaligus menghibur.
Beberapa dekade, Afrizal Malna menjadi nama yang besar dalam puisi Indonesia. Ia terbaca melalui buku-buku yang berjudul Abad yang Berlari, Yang Berdiam dalam Mikrofon, Arsitektur Hujan, Museum Penghancur Dokumen, dan lain-lain. Pembaca puisi-puisinya mudah kenyang, setelah itu mencret atau ingin tidur selama 3 hari 3 malam. Konon, jangan mencari bahagia dan sorga dengan membaca puisi-puisi Afrizal Malna. Yang bernafsu membaca dan paham akibatnya gatal-gatal di kepala, rambut rontok dalam waktu cepat, dan terjadi penggundulan kepala secara mendadak.
Pada usia yang bertambah untuk tua, Afrizal Malna bukan lagi lelaki gondrong tetapi pemilik kepala yang tidak tampak rambutnya. Ia tetap kurus dan bergerak ke banyak arah. Ia yang tidak mau berdiam mirip puisinya yang bergerak ke banyak arah. Pembaca yang capek dan tersesat tidak usah menyalahkan Afrizal Malna. Apa yang membut puisi-puisi (lama atau baru) gubahan Afrizal Malna terus memikat sampai sekarang?
Yang ingin menghormatinya semestinya melakukan kerja pengarsipan. Pada suatu hari, Raudal Tanjung Banua berkunjung ke pelbagai komunitas. Ia menemukan buletin yang memuat puisi-puisi Afrizal Malna. Kita menduga masih banyak puisi Afrizal Malna yang tersebar tapi belum bisa dikumpulkan untuk terbit menjadi buku. Sejak dulu, Afrizal Malna senang-senang saja puisi dimuat di buletin tidak terkenal sampai dicetak di halaman Kompas.
Dulu, ia juga merepotkan dan memencretkan para pembaca majalah Citra Yogya edisi Maret-April 1990. Di halaman 25, dimuat puisinya yang berjudul Musik di Atas Meja Makan. Puisi yang mungkin dibuat dengan mesin tik. Penampilan di majalah bisa saja sama atau berbeda bila kita melihat larik-larik yang panjang dan kerapian.
Kita berperan menjadi pembaca puisi yang berlatar1990-an: Biarkan, biarkan musik itu menggenang di setiap benda yang mengelilingimu, atau/ pada setiap telinga yang tak mampu lagi memilih suara, lalu konser berlangsung/ di sepanjang hari. Keteraturan telah merisaukan dirinya sendiri di situ, di mana/ musik turun lebih deras mengantar riwayatmu. Dan lampu-lampu kota turut bernyanyi/ oleh beban penghuninya yang berteriak, hampir oleh setiap kebutuhan/ yang menggenang sampai leher.
Kita membaca sambil mengingat kehebohan konser Dewa 19, yang beberapa hari lalu diselenggarakan di Jakarta. Konser yang megah, yang tidak memerlukan puisi meski Ahmad Dhani termasuk kaum yang berkepala tak memperlihatkan rambut. Kita jangan membayangkan Afrizal Malna dan Ahmad Dhani duduk bareng untuk memberi puisi dan lagu. Kemustahilan bila Ahmad Dhani mau memilih puisi gubahan Afrizal Malna untuk digarap menjadi lagu.
Kini, Afrizal Malna sudah menjadi “mitos”. Ia adalah tokoh besar, tokoh yang membuat puisi Indonesia punya badai. Di penerbit Diva, buku-buku Afrizal Malna terbit, yang meyakinkan kita bahwa dirinya tidak memiliki kiamat. Dirinya yang pantas dipanggil kakek telah memberi anak dan cucu puisi yang lestari.
Kita yang kangeng omongan Afrizal Malna tapi susah menemuinya mendingan membaca bait terakhir puisinya yang muncul di Citra Yogya. Bait yang tidak usah dikutip untuk memberi selingan perdebatan para pencipta lagu dan penyanyi di Indonesia. Yang ditulis Afrizal Malna: Dan manakala musik turun dari hutan dan gunung-gunung yang ditabuh, orang-/ orang melihat riwayatmu mengucur deras dari atap-atap genteng, mengalir ke/ saluran-saluran air di bawah kota, kemudian menjelma menjadi orang-orang yang/ menabuhi laut, seperti memanggil anaknya yang tenggelam: “Kami, kami/ masih bisa mengenali dunia di sekitar meja makan kami, bukan?” Lalu musik/ bertambah deras, mengucur di laut. Puisi jangan tertinggal dan tersingkir jika ada proyek besar menerbitkan semua puisi gubahan Afrizal Malna, sejak berambut gondrong sampai kepalanya tanpa rambut.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<