KURUNGBUKA.com – (26/04/2024) Sejak masa 1980-an, orang-orang berdebat mutu perkembangan puisi di Indonesia. Nama-nama disebutkan dengan puisi-puisi yang dianggap terbaik. Yang teringat adalah usaha-usaha besar tanpa tepuk tangan dalam memberi kemuliaan puisi. Konon, puisi tetap kalah bersaing dari novel.

Bukti paling tampak dalam penerbitan buku. Namun, yang menggerakkan puisi pantang putus asa dan minder. Ketekunan menggubah puisi terjadi tanpa harus menuntut pujian dan harga. Masa 1980-an, masa penuh gejolak dan kemunculan beragam pernyataan tentang puisi. Di situ, ada nama yang berpengaruh: Afrizal Malna.

Pada abad XXI, ia masih menulis puisi dan belum habis napas untuk memerkarakan puisi dengan pernyataan dan argumentasi. Pengakuan pun diajukan dalam menghubungkan babak-babak berpuisi, sejak dulu sampai sekarang.

Afrizal Malna (2021) mengungkapkan: “Cara belajar puisi dengan kalimat-kalimat pendek. Memilih kata, menempatkan, menghapus atau menggergaji kata. Menandai. Mencari kemungkinan komposisi kata sebagai gerak maupun kesibukan sehari-hari.” Kita belum mengutipnya utuh tapi kepala sudah dibuat porak poranda. Sejak lama, ia terbiasa memberi bahasa-bahasa yang memukul, menampar, dan membelok.

Ia yang termasuk beriman dalam puisi (berbahasa) Indonesia. Ia menggunakan bahasa Indonesia tidak biasa-biasa saja. Maka, kepentingan sejak awal adalah berpuisi tak berhenti dengan bahasa. Afrizal Malna berkata: “Membayangkan pencapaian puisi dengan membenturkannya ke dalam industri budaya, berhadapan dengan perkembangan teknologi, produk-produk desain maupun permasalahan sosial.”

Kita sedikit mengerti, ia tidak membiarkan puisi hanya urusan seni atau estetika. Afrizal Malna menggerakkan puisi di segala jalan.

(Afrizal Malna, 2021. Kandang Ayam: Korpus Dapur Teks, Diva)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<