KURUNGBUKA.com – Yang tekun membaca sastra berbahasa Jawa, wajib ingat satu nama penting: Suparto Brata. Ia telah mewariskan banyak cerita, yang dimuat di pelbagai majalah dan terbit sebagai buku. Namanya menjadi jaminan mutu cerita. Buktinya, Suparto Brata sering menang dalam sayembara penulisan cerita di majalah-majalah.
Dulu, para pembaca mengetahui cerita-cerita menang dalam sayembara di majalah-majalah berbahasa Jawa. Namun, pengarang itu memiliki kemahiran juga bercerita dalam bahasa Jawa. Maka, para pembaca mulai mengetahui cerita-cerita dimuat dalam majalah-majalah keluarga atau wanita. Ia pun biasa menang dalam sayembara penulisan cerita. Pokoknya, Suparto Brata itu pengarang andalan, pengarang yang bisa bolak-balik dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Apakah ia mampu menulis dalam bahasa Inggris? Berharap saja da cerita-ceritanya yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan lain-lain.
Suparto Brata apik dalam bercerita. Ia pun pintar omong dalam acara seminar atau temu pengarang. Segala omongannya mudah memikat bagi yang ingin mengetahui sastra, sejarah, pendidikan, dan lain-lain. Sosok yang mau bepergian ke beberapa kota demi mengembangkan sastra (berbahasa) Jawa. Ia memang jarang tercatat dan mendapat perhatian besar dalam sastra (berbahasa) Indonesia. Mengapa it hanya milik sastra (berbahasa) Jawa? Kita menjawab gara-gara jumlah gubahan sastra dan pengabdian.
Di penulisan cerita, Suparto Brata kadang menggunakan nama samaran. Yang biasa membaca tulisan-tulisannya cepat mengetahui nama samaran yang khas. Di majalah Kartini, 24 November 1980, kita membaca nama pengarang yang pendek saja: Peni. Bagi orang Jawa, nama itu mengesankan milik perempuan. Apakah yang punya nama itu memang perempuan?
Peni disebut sebagai pengarang yang memenangkan sayembara novel diadakan majalah Kartini. Ia melalui cerita berjudul Generasi yang Hilang menjadi pemenang kedua. Kaum lawas mengetahui bahwa Peni itu nama samaran Suparto Brata. Nama yang sengaja “menjebak” agar membaca mengira itu perempuan.
Cerita itu dimuat beberapa kali di majalah Kartini. Yang tidak berhasil mendapat edisi lengkap bisa membaca dalam edisi terbitan buku. Novel itu cukup mencengankan bagi para pembaca berlatar sosial-kultural Jawa. Peni menguak skandal dan aib di keraton (Solo). Ia memberi cerita yang membuat para pembaca seolah ikut masuk dalam keraton: merasakan suasana dan melihat ulah para tokoh. Apakah yang ditulisnya sekadar khayalan? Pembaca yang penasaran mencari keterangan-keterangan tambahan dan tandingan. Novel itu dianggap tidak sepenuhnya fiksi.
Kita mendapat kutipan pengisahan terjadinya banjir di Solo dan munculnya para tokoh yang dicap bangsawan: “Mereka melanjutkan perjalanan ke Janingratan dengan andhong yang sama. Jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi bagi perawan bangsawan seperti Mariwanti punya keangkuhan tersendiri untuk berjalan tanpa pengiring lewat jalan umum. Apalagi jalan becek karena itu ditempuh dengan andhong. Andhong berhenti di gapura dan gadis-gadis penumpangnya turun. Ini terhitung sopan santun. Bukan tamu sang pangeran tidak boleh berkendaraan seenaknya masuk halaman rumah besar. Apalagi kendaraan umum, bukan milik pribadi. Bukan milik para bangsawan yang biasanya terpelihara indah, ditarik oleh kuda teji yang gagah dan perkasa.”
Yang membaca menuju Solo masa lalu. Pengarang pernah tinggal di Solo. Artinya, yang diceritakan tidak asal-asalan. Ia memiliki pengalaman dan pengamatan yang menjadikan latar cerita bisa membuat pembaca turut hadir di Solo. Sebenarnya, novel itu bisa dijadikan “petunjuk pariwisata” bagi para pelancong yang mengunjungi Solo. Namun, buku petunjung itu mengandung hal-hal yang mengingatkan berahi dan politik-feodalisme.
Pembaca cerita yang masih menyempatkan melihat ilustrasi yang dipasang di majalah Kartini mudah berimajinasi manusia-manusia Jawa. Yang tampil adalah sosok dengan pakaian khas Jawa. Namun, pembaca jangan terlalu percaya dengan gambar. Imajinasi yang diperoleh mengenai tokoh dan busana saat membaca cerita bisa berbeda jauh dari ilustrasi yang tersaji di majalah Kartini. Dianjurkan memihak ke cerita saja. Adanya ilustrasi mungkin ingin menambahi pesona cerita bagi para pembaca yang belum mengenali Solo atau memiliki pengetahuan yang memadai tentang Jawa.
Suparto Brata yang menggunakan nama samaran Peni berhasil menjadi pemenang. Keberhasilan yang mengesankan tentu mengisahkan Solo, terutama kehidupan di keraton. Ia menyuguhkan cerita, bukan disertasi yang wajib ditulis dengan kaidah ilmiah. Kita kepikiran mengusulkan agar novel cetak ulang mumpun Solo masih menjadi “momok” dalam lakon kekuasaan di Indonesia. Baca novel saja ketimbang meributkan Solo dalam urusan politik bergeliang dusta.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<