KURUNGBUKA.com – Beberapa hari yang lalu, Jakob Sumardjo bertambah umur. Siapa yang membuat acara peringatan kecil-kecilan atau menyuguhkan tulisan agar umat sastra di Indonesia menghormati dan mendoakannya? Ia dalam kondisi sakit. Sosok tua yang telah menghasilkan banyak buku, tidak hanya bertema sastra. Sejak dulu, ia adalah penulis yang gandrung dengan mesin tik. Jari-jari yang kuat dan lincah telah “memukul” huruf-huruf, yang membuat orang-orang mengetahui bergam hal dari tulisan-tulisan dimuat di koran, majalah, jurnal, dan buku.

Konon, Jakob Sumardjo adalah pengamat, pengulas, dan dokumentator penting dalam perkembangan sastra populer di Indonesia. Ia memang biasa dianggap kalah wibawa dari HB Jassin. Namun, orang-orang yang rajin membaca buku-bukunya bakal mengangguk tanda sepakat bahwa Jakob Sumardjo adalah tokoh tangguh tanpa harus dicap mutlak sebagai kritikus sastra atau mendapat gelar bercitarasa kesusastraan.

Di Bandung, ia menulis dan menulis, selain memiliki rutinitas sebagai pengajar. Jakob Sumardjo berasal dari Klaten tapi betah di Bandung. Di sana, ia berteman dengan Jeihan, yang lahir di Boyolali. Dua tokoh pernah “diasuh” dalam peradaban Jawa cap Solo memilih hidup di Bandung. Mereka dalam jalinan mesra sastra dan seni rupa.

Pada bulan Agustus yang amburadul, banyak yang melupakan Jakob Sumardjo. Beruntunglah masih ada para sahabat dan murid mengadakan acara di Bandung, yang menyampaikan pesan kepada kita tentang pengabdian Jakon Sumardjo dalam sastra. Mesin tik menjadi simbol.

Pada saat gegeran politik dan arus sastra sulit dimengerti, kita mengenang Jakob Sumardjo yang terbukti keranjingan membuat tulisan, dari masa ke masa. Yang kita buka dan baca adalah pembicaraan buku untuk novel berjudul Raumanen. Tulisan cuma satu halaman dimuat dalam majalah Femina, 27 September 1977. Sebelum dicetak di majalah, tulisan yang dikirim mungkin berupa tulisan hasil mesin tik atau tulisan tangan.

Raumanen (1977) yang digubah Marianne Katoppo berulang mendapat penghargaan, yang membuat penulisnya moncer di Indonesia. Ada yang kebingungan untuk meyakini novel itu berada dalam “kubu” sastra serius atau pop. Yang jelas polemik bermunculan tapi menjadikan sastra Indonesia justru bergairah saat munculnya para pengarang yang sulit diperangkap dalam kategori klise.

Jakon Sumardjo menerangkan: “Seperti lagu-lagu pop begitu pula novel-novel pop menyanyikan cinta-asmara sepasang muda-mudi remaja. Novel serius jauh lebih jauh jangkauan temanya. Begitu pula cara penyajiannya. Orisinalitas dan kebaruan adalah ciri karya sastra. Sedang pada novel populer, kaidah demikian justru ditinggalkan. Novel harus mudah dipahami dan dinikmati pembaca umumnya. Ia harus bersifat populer, menjangkau pembaca yang massa. Inilah sebabnya novel-novel demikian lantas bersifat sederhana dalam penuturan, struktur, dan tema.”

Apakah novel berjudul Raumanen termasuk novel populer? Jakob Sumardjo tidak memberikan jawaban yang gamblang dan panjang. Ia menulis beberapa kalimat: “… novel Raumanen berhasil memberikan sesuatu yang patut untuk dipikirkan para pembacanya, di samping ia sendiri memberikan nikmat cerita pada kita. Saya kiran di sinilah letak kelebihan itu. Meskipun persoalan yang dilontarkannya pada kita tidak terlalu lengkap. Ibaratnya ia hanya menunjukkan adanya suatu gejala masalah.” Kita yang mau membacanya dengan sunggu-sungguh boleh membuat konklusi atas novel Marianne Katoppo, yang dulu diterbitkan oleh GFP tapi pada masa berbeda dimunculkan lagi oleh Metafor dan Grasindo.

Kita membayangkan Jakob Sumardjo membaca novel itu secara cepat. Ia pun membuat catatan-catatan di buku tulis atas kertas putih. Selanjutnya, ia menghadapi mesin tik. Huruf-huruf mengalir dalam kepentingan meresensi atau mengulas buku. Jakon Sumardjo sudah membuat ratusan resensi (pendek atau panjang) yang membuat teks sastra di Indonesia masih mendapatkan pembaca yang mau memberi penilaian.

Kini, orang-orang makin jarang menulis resensi. Yang sering muncul di media sosial, adalah “apresiasi” pendek dan menjemukan mengenai terbitnya buku baru. Pujian kadang diberikan cukup dengan satu atau tiga kata. Resensi sudah tersingkir dari koran dan majalah. Resensi sastra lumrah makin lesu dan terpinggirkan.

Di akhir tulisan yang berjudul “Masalah Kawin Antarsuku dalam Raumanen”, Jakob Sumardjo membuat kalimat sopan: “Novel ini telah memberikan lebih daripada yang kita harapkan dari jenisnya. Dikerjakan dengan ketrampilan teknis bercerita dan perasaan halus seorang wanita.” Kita setuju saja.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<