KURUNGBUKA.com – Juni telah datang. Ada yang mengingat Soekarno. Di kubu yang berbeda, ingatan bereferensi Soeharto. Di Jakarta, penerbit koran sedang sibuk menyelenggarakan peringatan ulang tahun. Kompas mau berusia 60 tahun.
Ada pula yang mengenang Juni dengan hujan. Nama telah melekat dengan puisi dan hujan: SDD. Juni banyak ingatan dan peringatan.
Yang masih percaya dan membaca puisi melulu ingat Sapardi Djoko Damono. Di Indonesia, ia terlalu berkuasa dalam menggubah puisi-puisi mengenai hujan. Padahal, ada nama-nama lain yang tidak kalah “deras” dalam menulis puisi-puisi berhujan. Akhirnya, ribuan puisi tentang hujan menyesaki Indonesia. Kita membacanya untuk bosan. Kita kadang tetap memberi perhatian meski selusin menit saja. Puisi di Indonesia terlalu hujan!
Nama yang mungkin tertumpuk dalam pesta puisi berhujan: Joko Pinurbo. Para penggemar telanjur mengetahui dan mengakrabinya dengan celana. Yang ditulis memang celana tapi puisi-puisi Joko Pinurbo juga hujan. Ia memihak hujan ketimbang kemarau. Apakah hujan yang ditulisnya sama dengan hujan-hujan ditulis ratusan penyair di Indonesia?
Sebelum puisi-puisi itu tenar, kita terbiasa bersenandung: “tik, tik, bunyi hujan…” Lagu yang belum membongkar asmara bergelimang kecengengan. Lagu itu tidak menyatakan hujan harus banjir. Hujan menjadi pengetahuan bagi anak-anak. Selanjutnya, anak-anak kepikiran untuk hujan-hujanan di jalan atau lapangan. Mereka bisa balbalan atau berlarian. Hujan yang tidak puisi tapi terkenang seumur hidup.
Kapan puisi berhujan dibuat Joko Pinurbo? Pastinya puisi itu berumur lebih tua ketimbang celana, ranjang, dan kamar mandi. Kita membuka majalah Hai, 11-15 Agustus 1987. Majalah yang ikut mengesahkan Joko Pinurbo sebagai penggubah puisi bermasa depan. Dulu, yang diharapkan orang-orang adalah puisi-puisinya dimuat dalam majalah Horison atau Budaya Jaya. Pemuatan dalam majalah Hai, Gadis, dan Zaman kadang terbedakan gengsi sastranya.
Di lembaran majalah lama, kita membaca sebiji puisi gubahan Joko Pinurbo yang berjudul Malam Sehabis Hujan. Siapa masih ingat puisi ditulis pada 1985? Pada masa yang berbeda, Joko Pinurbo mungkin tidak mau mengingatnya atau memilih sebagai puisi penting untuk terbitan buku-buku.
Kini, Joko Pinurbo sudah berada di surga yang ada sungai-sungai dipenuhi huruf-huruf. Kita yang masih di dunia mengenangnya dengan membaca puisi teringat bersama majalah Hai. Ingatlah, Joko Pinurbo boleh disebut sebagai pengarang dibesarkan Hai.
Puisi yang tidak lucu: jalanan becek berlumpur/ langkah kita tambah panjang terulur// dan pada daun-daun gugur/ kita titipkan cinta di kuncup melur// sehabis berdoa, sebelum tidur/ kenangkanlah tatapan mata di ujung jalan itu/ (di jauh mimpi sudah lama kutunggu). Puisi yang masih terpengaruh oleh gaya-gaya para pendahulu: Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Pastinya ia pun mempelajari puisi-puisi berbahasa Indonesia, sejak masa kolonial sampai masa 1980-an. Jadi, kehadiran puisi berjudul “Malam Sehabis Hujan” ikut berada di arus penentuan gaya yang masih bimbang oleh Joko Pinurbo.
Juni. Siapa mau mengingat puisi dan hujan adalah Joko Pinurbo? Bila ada orang yang mau membuat indeks, hujan termasuk sering ditulis oleh Joko Pinurbo. Apakah ada kemauuan Gramedia Pustaka Utama menerbitkan buku yang banyak hujan agar Juni tidak selalu milik Sapardi Djoko Damono? Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama turut membesarkan dua nama yang tenar dan mengabadi di Indonesia: Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo.
Yang harus diperhatikan serius: jumlah puisi gubahan Joko Pinurbo dimuat dalam majalah Hai? Apakah selama bertahun-tahun cuma satu? Ia mengirimkan puisi untuk beberapa majalah. Hai pernah menjadi incaran. Hai bukan majalah yang paling menentukan untuk Joko Pinurbo yakin tabah dalam sastra atau mencari kehormatan di jamaah sastra Indonesia.
Kita bisa kabarkan bahwa pemuatan puisi gubahan Joko Pinurbo itu berbarengan dengan puisi buatan Acep Zamzam Noor berjudul Untuk Catatan Harian Estuning. Sekarang, Joko Pinurbo tidak lagi mempersembahkan puisi-puisi kecuali kita mencari puisi-puisi lama yang beredar di pelbagai majalah. Acep Zamzam Noor masih keranjingan menulis puisi. Dua nama yang tercatat pernah terbaca kaum remaja masa 1980-an.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<
 
						 
							 
								 
			 
			 
			 
			
 
			 
			 
			 
			 
			





