KURUNGBUKA.com – Beberapa tahun yang lalu, polemik terjadi bersumber dari DKJ. Yang memicu adalah pernyataan dewan juri. Ada yang ikut menjadi juri dikenal sebagai penulis cerita dan esai yang mumpuni. Ia memberi pendapat dan kritik mengenai cerita anak yang ditulis para peserta sayembara di DKJ mengandung kelemahan dan “kesalahan”. Naskah-naskah yang jelek membuat juri hampir “putus asa”. Yang teringat adalah sayembara penulisan cerita anak diadakan oleh DKJ. Dewan juri tidak guyonan tapi serius memberi pernyataan-pernyataan yang bikin “sakit hati” dan “marah”. Para pengarang cerita anak lumrah merasa diremehkan.

Yang ikut menjadi juri bernama AS Laksana. Yakinlah nama itu masih penting sampai sekarang. Yang rajin menyimak media sosial mengetahui AS Laksana membuat tulisan-tulisan mengomentari tulisan-tulisan yang menang dalam sayembara DKJ. Maksudnya, sayembara untuk kritik sastra. AS Laksana mengungkap kelemahan-kelemahan dalam tulisan para pemenang. Bablas memberi kritik kepada para juri.

Kehebatannya belum selesai, pendapat dan kritik dimunculkan lagi dalam masalah larisnya novel-novel gubahan Tere Liye. Yang “panas” adalah keberaniannya memberi omelan mengenai jurusan sastra Indonesia. Tulisan-tulisannya di media sosial masih mendapat perhatian dan komentar. Ia memang terbukti pengarang yang tangguh dan berani.

Yang kita pikirkan lagi adalah pernyataan-pernyataan tentang sastra anak. Sayembara yang diadakan DKJ (2019) sempat memberi gairah agar pengarang-pengarang menghasilkan cerita bermutu dan memikat. Namun, sayembara itu memunculkan beragam sikap, yang mungkin menjadi pertimbangan untuk tidak melanjutkan adanya sayembara penulis cerita atau novel anak.

Kita mengingat sepenggal pertanggungjawaban dewan juri: “Dari 198 naskah yang lolos seleksi administrasi oleh panitia, dewan juri mencatat bahwa secara umum kualitas naskah tidak menggembirakan. Dan, ada catatan khusus: Delapan puluh persen dari jumlah itu bercerita tentang masa liburan ke rumah nenek atau kakek. Ini mengejutkan. Mereka seperti tidak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang pelajaran bahasa Indonesia di kelas 3 atau 4 SD.”

Pernyataan yang membuat kita ikut membayangkan situasi kesusastraan anak di Indonesia abad XXI. Kita tidak mau berlanjut pusing atau memanjangkan keluhan-keluhan yang bermunculan gara-gara sayembara yang diadakan DKJ. Yang agak penting diingat adalah masa sebelumnya, tetap berurusan sastra anak.

Siapa mengetahui majalah Bobo? Di Indonesia, majalah itu laris. Ribuan anak-anak menjadi pembaca majalah Bobo. Mereka menikmati ragam cerita yang rutin disuguhkan Bobo. Pada masa 1980-an, pengaruh Bobo makin membesar sekaligus menentukan arus kesusastraan anak di Indonesia.

Di majalah Intisari edisi Juni 1985, ada selembar pengumuman yang wajib tercatat dalam sejarah. Yang terbaca: “Sayembara Mengarang Novel Anak-Anak Majalah Bobo 1985.” Misi yang mulia: “Sayembara ini bertujuan mencari penulis-penulis baru cerita anak-anak Indonesia serta merangsang kreativitas penulis cerita anak-anak Indonesia yang sudah ada.” Kita diminta mengingat nama-nama pengarang yang tenar. Ada yang ingat tiga nama saja?

Syarat yang dibuat oleh panitia: “Tema bebas. Bisa merupakan cerita petualangan dengan ketegangan-ketegangan serta kepahlawanan yang mengagumkan. Bisa merupakan cerita misteri. Atau cerita detektif yang membongkar rahasia-rahasia, pencurian, harta terpendam di mana para penjahatnya terbuka kedoknya oleh anak-anak.” Dibaca berkali-kali, syarat itu tidak gamblang menganjurkan atau melarang para peserta menulis novel tentang liburan ke rumah nenek atau kakek. Yang terduga: ada cerita seperti itu tetap dikirimkan meski tidak dijamin menang.

Para peserta sayembara adalah anak-anak. Ajakan untuk membedakan dengan sejarah dan perkembangan sastra anak yang ditulis kaum dewasa, sejak kemonceran Balai Pustaka, masa 1920-an. Yang boleh mengikuti sayembara adalah anak-anak berusia 8-10 tahun.

Akhirnya, berapa naskah yang masuk ke panitia? Kita belum mendapatkan berita lama yang memuat masalah sayembara yang diadakan Bobo dan dampaknya dalam kesusastraan anak di Indonesia masa 1980-an dan 1990-an. Yang terpenting, pengumuman itu wajib dikliping untuk mengetahui usaha-usaha memajukan sastra anak di Indonesia. Bobo memiliki peran yang besar.

Namun, sedih pun datang. Kini, kita menyadari gairah anak-anak membaca majalah Bobo tak sebesar masa lalu. Bobo masih terbit saat anak-anak telah memberikan matanya untuk gawai. Majalah yang bertambah umur itu tetap mendatangi pembaca dalam edisi cetak, yang suatu hari nanti terkenang secara raga. Pada suatu masa, Bobo adalah referensi untuk anak-anak. yang berebutan dan khusyuk menikmati halaman-halaman menyajikan cerita.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<