KURUNGBUKA.com – Industri buku di Indonesia pernah ramai oleh cerita silat. Ribuan atau jutaan orang ketagian membaca cerita silat, yang disajikan secara bersambung atau serial. Yang membaca merasa sakti setelah membaca banyak cerita silat. Mereka punya pengarang-pengarang unggulan di Indonesia. Artinya, ada penghormatan yang besar ketimbang selalu berselera asing, yang dikira paling bermutu. Apa yang terjadi? Pengarang-pengarang Indonesia terbukti berhasil memberi candu cerita silat yang berkepanjangan.

Yang seru lagi terciptanya “nafsu” membaca cerita berlatar sejarah atau berbumbu sejarah. Para pengarang Indonesia tampil lagi dengan pesona yang besar. Buku-buku yang terbit cepat habis. Kebiasaan menyewa buku cerita pun terjadi di pelbagai kota. Apa yang terjadi? Orang-orang ingin melek sejarah. Pokoknya, Indonesia suatu masa adalah negeri yang berisi jamaah ketagihan cerita silat dan cerita berlatar sejarah.

Masa lalu itu memiliki sambungannya pada masa sekarang. Yang masih menimbulkan ketagihan dan perdebatan adalah cerita mengandung sejarah, cerita berselera sejarah, atau cerita berlatar sejarah. Banyak cerita pendek dan novel yang bermunculan memiliki ribuan pembaca. Buku-buku dari masa lalu tetap mendapat pembaca, yang biasanya digunakan untuk perbandingan. Yang terhormat dari masa lalu bernama SH Mintardja.

Warisan terbesarnya berjudul Api di Bukit Menoreh. Kita mengetahui pengarang dan pengabdiannya dalam wawancara yang dimuat dalam majalah Optimis edisi April-Mei 1985. Yang disampaikan SH Mintardja: “Pada mulanya, saya hanya menulis cerpen dan naskah sandiwara radio saja. cerpen yang saya tulis pun bukan cerpen yang berlatar belakang kesejarahan.” Ia masih murid SMA, yang bias menulis cerita tentang pergolakan perasaan. “Memang agak cengeng, tapi bagi suatu permulaan itu hal yang wajar.”

Jadi, ia tidak tiba-tiba mahir menulis cerita berlatar sejarah. Ia menempuh babak-babak yang memberi dasar dan gairah untuk sanggup menulis cerita-cerita yang memukau. Tahun-tahun dilalui dengan ketekunan. Ia pun berani dalam meningkatkan mutu dan menentukan kekuatan cerita agar dapat menyihir pembaca.

Pengakuan yang penting: “Kalau dulu untuk mengungkapkan perasaan romantis dengan cara menulis cerita pendek yang bertema gairah pemuda, kini perasaan itu sudah agak keterlaluan…. “ Ia memberi contoh dalam Api Bukit Menoreh: “Dalam cerita itu unsur keromantisan sekadar benang sutera yang membalut tubuh.” Yang terpenting dalam cerita adalah ajakan-ajakan menilik sejarah.

Pada akhirnya, SH Mintardja menyadari kekuatannya dalam menulis cerita merujuk sejarah. Beberapa ceritanya mulai mendapat perhatian besar, yang berlanjut dalam kajian-kajian di universitas, dari skripsi sampai disertasi. Jumlah penggemarnya terus bertambah, dari tahun ke tahun. Pada abad XXI, usaha untuk menghormatinya dilakukan dengan membuat meseum, yang kelak bisa disusul dengan rutinitas festival atau penghargaan.

Yang dikatakan SH Mintardja: “Bagi saya, menulis cerita yang berlatar belakang kesejarahan berarti paling sedikit adalah pengenalan diri sendiri akan masa lampau. Masa lampau tidak hanya untuk dikagumi atau dikenang saja tapi dicari kekuatan-kekuatannya yang dapat mendorong kita pada kehidupan masa kini dan yang akan datang.”

Maka, yang membaca cerita berarti berusaha mengerti sejarah. Yang ketagihan cerita-cerita gubaha SH Mintardja dapat menyempurnakan gairah dengan membaca buku-buku sejarah. Pilihan itu menjadikan sastra dan sejarah memberi petunjuk dalam memuliakan Nusantara. Konon, murid-murid yang tidak suka pelajaran sejarah dapat terjerat cerita. Artinya, ia tetap bisa menuju masa lalu.

Umurnya terus bertambah. Namun, ceritanya yang bertambah umur malah menimbulkan pengaruh yang “bersambung”, dari generasi ke generasi. Sosok yang menua biasanya mendapat hak memberi petuah. Yang disampaikannya kepada pengarang muda: “… masa lampau yang ada di buku tidak hanya memperkenalkan kepada kita akan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi yang perlu diketahui, namun juga memperkenalkan kepada kita jalan pikiran orang pada masa itu dan kebudayaan yang telah tercipta pada zamannya.”

Pada masa lalu, orang-orang berebutan membeli dan meminjam buku SH Mintardja. Mereka menjadi pembaca yang kecanduan, yang saling berbagi pendapat untuk membuka sejarah melalui cerita. Kini, warisan itu masih bisa terbaca. Kita bisa membandingkan dengan munculnya buku-buku baru, yang pengarangnya mengaku telah melakukan riset sejarah.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<