KURUNGBUKA.com – Indonesia dibentuk oleh novel-novel. Pernyataan yang sembarangan tapi kita jangan lekas menyalahkan. Pada masa-masa awal pemunculan dan pembesasan ide-imajinasi Indonesia, novel-novel turut memberi asupa kepada para pembaca, yang berbahasa Melayu (Indonesia). Bagaimana novel bisa diakui berpengaruh dalam ikhtiar melawan kolonialisme? Yang menjawab adalah kritikus sastra dan pengamat sastra. Kita belum mau ikut-ikutan menjawab.
Sejak awal abad XX, terbit artikel dan buku yang membuat orang-orang di Hindia Belanda mengerti penderitaan, perlawanan, dilema, dan lain-lain. Para pembaca pun berpikir identitas yang membuat mereka sama atau beda. Yang membaca novel pastinya orang terpelajar atau didikan sekolah. Di tanah jajahan, jumlah orang yang melek baca sedikit tapi mampu ikut membuat perubahan-perubahan.
Yang kita buka adalah Tempo, 19-25 Mei 2008. Judul yang cukup menggoda: Indonesia yang Kuimpikan: 100 Catatan yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri. Pihak redaksi Tempo dan beberapa ahli membuat daftar 100 teks, dari masa ke masa. Apakah ada novel? Kita menemukan beberapa novel. Mengapa novel menjadi pilihan dan “membuktikan” perannya dalam membentuk Indonesia?
Novel yang masuk daftar adalah Belenggu gubahan Armijn Pane. Novel tang terkenal, yang sering dijadikan tugas meresensi di sekolah atau universitas. Padahal, murid-murid yang membaca belum tentu menyukainya atau paham mutu bahasa Indonesia masa lalu.
Judul novel yang mudah teringat dan keren. Radhar Panca Dahan mengomentari novel garapan Armijn Pane: “… memancing bukan hanya decak kagum, melainkan juga caci maki.” Novel yang ramai mendapat pembahasan, yang biasanya dibaca serius oleh sesama pengarang, kaum terpelajar, atau pengamat sastra.
Puluhan tahun, novel itu terus terbaca. Namun, siapa yang masih membaca Belenggu di abad XXI? Jawablah masih ada! Yang membaca mungkin ingin menengok sejarah atau mengurutkan babak-babak penentuan sastra “modern” di Indonesia. Bagi yang bersemangat bisa membacanya dalam edisi bahasa Inggris. Pilihan bahasa mungkin ikut menentukan hasrat pemaknaannya.
Yang diungkapkan Radhar Panca Dahana: “Tapi, lebih dari itu, ide Armijn Pane tentang manusia yang mengalami krisis – karena dunia baru menyangsikan keberadaannya dan dunia lama tidak sepadan lagi dengan kebutuhannya – bukan hanya menjadi tema yang sejajar dengan apa yang diungkap oleh banyak pengarang negeri lain (mulai dari Samuel Beckett sampai Albert Camus, dari George Orwell hingga Graham Grenn), tapi juga mendahului Chairil Anwar yang memposisikan dirinya sebagai ‘ahli waris kebudayaan dunia’, maupun kaum Manifes Kebudayaan yang melihat dirinya sebagai organ dari ‘humanisme universal’.”
Sebaiknya yang membaca satu kalimat itu merokok sejenak atau minum teh dulu. Maksudnya, kalimat yang penuh pujian itu tidak salah terbaca. Setelah membaca kalimat Radhar Panca Dahana yang tidak usah diedit, kita mencoba ikut menilai kebenarannya sambil membuka halaman-halaman novel berjudul Belenggu.
Yang teringat, novel itu diterbitkan oleh penerbit yang didirikan dan dikelola oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Apakah mereka bersekongkol dalam pemajuan sastra di Indonesia? Novel yang tidak diterbitkan Balai Pustaka dapat diakui ikut membentuk ide-imajinasi Indonesia. Sutan Takdir Alisjahaban tidak salah pilih untuk mengenalkan dan membesarkan Belenggu dalam kancah sastra Indonesia?
Radhar Panca Dahana membaca Belenggu berulang kali, sebelum memberi penilaian-penilaian. Ia tidak terbelenggu saat membaca Belenggu. Yang ditulisnya dalam majalah Tempo setidaknya bisa menjadi rujukan bagi mahasiswa atau guru yang “dipaksa” mempelajari Belenggu dalam kepentingan sejarah dan perkembangan sastra Indonesia.
Penilaian yang dikaitkan dengan episode perubahan pada masa berbeda: “Sebagaimana roman Armijn Pane dituntaskan, keadaan begini pun perlu diselesaikan. Dunia baru mesti dikonstitusikan, dunia lama jangan dilalaikan, dan manusia baru ditegakkan.” Kserisusan membaca dan memberi makna menjadikan Belenggu tetap bacaan yang penting meski abad XX sudah berlalu. Namun, kita kadang bersedih bahwa novel itu dipelajari di sekolah dan universitas dengan penjelasan-penjelasan yang sering sama. Klise yang tidak berkesudahan.
Apakah ada rencana mengeluarkan edisi Belenggu sebagai bacaan remaja? Maksudnya, novel mengalamai pengurangan jumlah halaman dan “pembenahan” bahasa agar para remaja masa sekarang dapat agak “berdekatan” dengan novel yang terbit pada masa kolonial. Para remaja yang membaca Belenggu berarti ikut menilik sastra dan Indonesia masa yang silam.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<