KURUNGBUKA.com – Di Indonesia, banyak hal yang sulit dijelaskan atau selalu menjadi misteri. Butuh waktu lama agar beberapa hal terungkap. Yang melakukan adalah orang-orang asing, yang memiliki perhatian besar terhadap Indonesia. Mereka datang dengan ilmu, yang menghasilkan tulisan-tulisan penting, yang sulit ditandingi.
Maka, sastra pun menjadi urusan orang-orang asing untuk menyingkapnya. Masa lalu terbaca lagi meski tidak utuh. Mengapa kita menantikan hasil riset orang asing untuk mengetahui banyak hal? Beberapa orang yang tekun dan tangguh memilih lacakan sastra, yang membuktikan masa lalu di Nusantara. Jadi, riset-riset yang bertema sastra akhirnya membuka pintu-pintu masa lalu.
Yang melakukan riset selama puluhan tahun adalah Zoetmulder. Ia tidak lahir dan besar di Indonesia. Namun, ia mendapat panggilan dan ikatan yang kuat untuk mengisahkan dan menerangkan arus sejarah sastra di Indonesia, terutama yang berkembang di Jawa dan Bali.
Konon, sastra masa lalu itu ikut menentukan kemunculan sastra Jawa bercorak modern sekaligus sastra berbahasa Indonesia. Jadi, yang dilakukan oleh Zoetmulder itu sangat “mencerahkan” bagi studi-studi bahasa dan sastra di Indonesia abad XX dan XXI. Akhirnya, ia memilih untuk membaktikan hidup demi sastra (Jawa).
Persembahannya yang berjudul Kalangwan mula-mula dibaca orang asing, berlanjut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Adanya buku tebal dan penting itu mendapat komentar dari Th Koendjono, yang dimuat dalam majalah Basis edisi Maret 1976.
Yang dinyatakan: “Dalam hati kecil, kita harus mengakui, meskipun mungkin tidak berani mengakui di muka umum, bahwa karya-karya orang asing itu, akan lebih dipercayai bukan hanya oleh orang asing, melainkan oleh orang Indonesia sendiri. Mungkin tidak karena cara menafsirkannya, melainkan karena ketertibannya. Ketertiban ilmiah dalam memberikan data-data, dalam kutipan-kutipan dan dalam terjemahan naskah-naskah asli.”
Kalangwan memang buku yang pantas mendapat pujian. Buku yang tidak sekadar bukti riset ilmiah tapi kegandrungannya terhadap bahasa dan sastra Jawa. Di pasar buku bekas, Kalangwan termasuk buku yang mahal. Anehnya, buku itu tidak ada kabar sering cetak ulang. Artinya, jumlahnya terbatas. Padahal, yang ingin membacanya terus bertambah.
Koendjono menerangkan: “Kalangwan masih mempunyai arti untuk seniman Indonesia modern, untuk masyarakat modern, asal orang melihat hubungan dan persamaannya.” Jadi, yang membaca Kalangwan tidak hanya mengetahui yang silam.
Buku itu menyatakan bahwa masa lalu sastra kita itu agung dengan segala yang otentik dan mendapat pengaruh dari pelbagai peradaban. Kalangwan menghindupkan hal-hal yang telah lama tidur atau mati. Kerja dan ketekunan Zoetmulder selama puluhan tahun memberikan hasil yang sangat bermakna untuk Indonesia.
Yang menggembirakan dalam terbitaya Kalangwan untuk publik: “Kini, tanpa belajar bahasa Jawa Kuno dulu, kita sudah dapat tahu tentang nilai-nilai dari sastra Jawa Kuno.” Zoetmulder menjadikan kajiannya bukan untuk pembaca yang sangat terbatas. Buku itu “memudahkan” ketimbang pamer keintelektualan.
Yang menyedihkan, sulit menemukan orang-orang tangguh setelah Zoetmulder. Ia telah menjadi panutan agar orang-orang Indonesia berani dalam pengabdian yang panjang untuk mengurusi pelbagai bahasa dan sastra yang ada di Nusantara. Kerja yang melelahkan. Kerja yang mungkin membutuh mukjizat. Apakah cukup hanya dengan metodologi ilmiah?
Harapan yang disampaikan Koendjono: “Semoga ada seorang ahli pendidik yang berkesempatan dengan menimba dari sumber Kalangwan ini, membuat buku tentang kesusastraan Jawa Kuno ini dalam bahasa Indonesia yang cocok untuk para pelajar sekolah lanjutan atas.” Maksudnya, buku yang sebenarnya berat dapat dibaca kaum remaja. Yang bisa melakukan hanya orang sakti pilihan Tuhan. Harapan itu belum terwujud sampai sekarang. Kalangwan tetap berwujud buku yang besar dan tebal.