“Para pedagang di pasar meneriakkan penawaran terakhir. Bayangan panjang meniru gerak-gerik mereka yang bergegas membereskan barang dagangan. Aku berjalan melewati tanah rusak, jalan, lalu melewati kios mi dan toko roti yang pernah menggodaku untuk jajan sehabis sekolah. Satu kehidupan yang lalu! Pasar itu terlihat kumal dan kecil, jalur singkat menuju rumah. Aku mendaki bukit dan melihat lekukan bahagia atap gerbang rumahku. Dengan air mata menyengat, aku mulai berlari… Lalu, akhirnya aku menjatuhkan diri dalam pelukan ibu yang terbuka lebar.”

(Eugenia Kim, The Calligrapher’s Daughter, Gagas Media, 2012)

KURUNGBUKA.com – Yang bertambah usia memiliki masa lalu. Album masa lalu sebagai teringat. Sebagian yang lain tercecer atau sirna. Yang menguatkan ingatan adalah sosok, tempat, dan peristiwa. Namun, masa lalu yang “berdatangan” sering penggalan-penggalan, yang meminta agar menjadi cerita utuh. Usaha untuk menghidupkan masa lalu membutuhkan rangsangan, yang sengaja atau tidak sengaja.

Pergi meninggalkan rumah berarti meninggalkan dunia yang rutin dan “baku”. Jauh dari rumah dalam waktu yang lama mencipta rindu. Orang membawa rumah tapi ingatan-ingatan, yang bisa diperantarai surat, foto, atau benda. Pergi yang tidak selamanya. Artinya, rindu dan kenangan yang dimiliki bakal dapat dituntaskan meski jadwalnya belum jelas. Yang pergi berharap pulang. Rumah adalah awal dan akhir.

Pulang menjadi peristiwa yang bermakna. Di perjalanan, diri yang pulang tidak sabaran. Ia ingin lekas sampai di rumah. Selama berjalan, ia membuka memori-memori, yang menguatkan rindu dan mengukuhkan segala yang tercipta di rumah. Yang pulang melewati tempat-tempat. Ia memang menuju rumah tapi tempat-tempat yang dilalui ikut membentuk dunia yang berwaktu. Dunia itu terhimpun pada masa lalu tapi masih memberikan tanda-tanda untuk pengisahan.

Pasar, dunia yang ramai. Pasar itu kerumunan yang terjadi dengan kepentingan jual-beli. Di pertemuan dan percakapan, ada hal-hal lain yang ikut menghidupkan pasar saat hari masih terang. Namun, matahari mau tenggelam. Artinya, pasar segera ditinggalkan para pedagang, yang bergerak pulang ke rumah. Semula ramai, pasar itu perlahan sepi. Yang pulang ke rumah sempat melihat babak akhir pasar yang selaras dengan pamitnya matahari. Tanda akhir adalah bayangan.

Pasar yang membuka kenangan masa kecil. Ia membayangkan dirinya masa lalu yang terpesona pasar, menginginkan beragam makanan dan minuman. Pasar yang membuat anak ingin memasukinya dengan sukacita. Maka, sebelum sampai rumah, pasar adalah dunia yang dimiliknya, belum ingin terlepas. Pasar, dunia yang berbeda dengan rumah. Ia menganggap pasar itu mengirinya bertumbuh meski sempat ditinggalkan lama. Kenangan mendekam di pasar saat ramai dan sepi.

Pasar dan rumah terhubung dalam biografi yang belum selesai. Kita yang membaca The Calligraphers Daughter ikut merasakan bahagia dan haru. Perjalanan pulang di peralihan waktu. Senja yang terperoleh, malam yang bakal datang. Dunia tidak gelap. Ia justru menginginkan terang. Pasar telah memberinya tanda. Jalan yang pernah dilaluinya belum terlalu berubah Bukit yang dimilikinya pada masa lalu menyimpan cerita-cerita berjejak kaki dan nafas.
Sebelum sampai di rumah, kebahagiaannya berair mata. Kita melihat sosok yang diberati rindu. Ia ingin melunaskannya dengan sampai di rumah. Yang dicari adalah ibu. Apakah rumah itu ibu? Ia mungkin mengartikan ibu adalah rumah.

Yang pulang membawa hal-hal yang berbeda. Ia menemukan lagi hal-hal di rumah yang ditinggalkan. Semuanya bertemu dengan pemaknaan yang terpisah atau menyatu. Tiba di rumah, kenangan yang tersusun bakal bertambah untuk masa depan yang belum terdefinisikan. Rumah tetap menjadi referensi, sebelum semua dialbumkan.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<