(Refleksi atas Kuliah Filsafat Hukum Prof. Anthon F. Susanto)

KURUNGBUKA.com – Di ruang kuliah pada tanggal 19 Desember 2025, Prof. Anthon F. Susanto mengajarkan lebih dari sekadar mata kuliah filsafat hukum. Ia seolah-olah sedang memegang cermin besar, memaksa kami, para mahasiswa Magister Hukum di Universitas Pasundan, Bandung, untuk melihat hukum Indonesia dan global sebagaimana adanya: retak, lelah, dan penuh paradoks.

Kuliah Prof. Anthon terasa sangat relevan, bahkan mengejutkan, bagi saya, terutama bagi generasi yang lahir dan dibesarkan sebagai masyarakat digital native. Generasi yang, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, hidup dalam pelukan layar ponsel pintar dan algoritma media sosial. Generasi yang, meminjam istilah Chris Skinner, hidup di era percepatan digital, di mana hukum, keadilan, dan kekuasaan dipaksa untuk mengikuti perkembangan teknologi.

Sebagai contoh, dokumen hukum tidak lagi berdebu di rak arsip. Dokumen-dokumen tersebut tersimpan di server seperti cloud, dan big data digunakan. Sistem peradilan bertransformasi secara digital, dengan perkara perdata menggunakan situs web E-court dan perkara pidana menggunakan E-Berpadu. Faktanya, mesin kecerdasan buatan seperti ChatGPT dari Hukumonline atau AiLex dapat meringkas ribuan peraturan dan keputusan hanya dalam hitungan detik. Tetapi pertanyaannya adalah: apakah keadilan telah didigitalisasi, atau justru telah berkurang akibat perkembangan zaman?

Manusia Digital dan Realitas yang Bertambah

Profesor Anthon mengutip Ian Pearson tentang realitas tertambah—sebuah realitas yang sekaligus bertambah dan paradoks. Kita hidup di dunia yang berlimpah informasi tetapi kekurangan kebijaksanaan. Mesin semakin cerdas, sementara manusia berisiko kehilangan rasa krisis moralnya. Di satu sisi, ekonomi digital berkembang pesat. Pasar bebas mendorong konsumsi yang brutal.

Di sisi lain, alam dihancurkan tanpa ampun oleh keserakahan. Negara kita (NKRI) tampaknya mengalami kemajuan secara statistik, tetapi krisis lingkungan, krisis identitas, dan krisis keadilan semakin menganga dan sulit untuk diatasi. Sementara itu, uang dan perbankan telah menjadi pusat alam semesta (didewakan oleh manusia), seolah-olah mengkonfirmasi pepatah sinis: uang bukanlah segalanya, tetapi tanpanya, segalanya tampak mustahil. Inilah kelahiran manusia digital—makhluk yang secara teknologi sangat rasional tetapi secara etis rapuh.

Krisis Global dan Amnesia Moral

Krisis yang kita hadapi bukanlah krisis tunggal. Krisis ini berlapis-lapis dan saling tumpang tindih: konflik antarnegara, krisis sumber daya, krisis demokrasi, krisis kesehatan, dan bahkan krisis identitas. Matt Haig menyebutnya sebagai dunia yang cemas—tempat di mana manusia hidup di bawah tekanan permanen.

Simon Blackburn menyebut kondisi ini sebagai amnesia moral: orang tahu apa yang benar, tetapi memilih untuk mengabaikannya. Sementara itu, Ariel Heryanto memperingatkan bahaya lain: sempitnya wawasan sejarah. Kita membahas isu-isu terkini tanpa belajar dari masa lalu.

Dalam konteks hukum, krisis ini telah memunculkan sisi gelap: narkotika, kejahatan siber lintas batas, kejahatan sempurna, pelanggaran hak asasi manusia, korupsi sistemik, kerusakan lingkungan, dan birokrasi peradilan yang patologis. Hukum hadir, tetapi seringkali terlambat. Atau lebih buruk lagi: hukum ada sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.

Ketika Hukum Menjadi Mesin Kekuasaan

Salah satu kritik tajam Prof. Anthon berkaitan dengan paradoks hukum modern. Hukum, yang seharusnya membatasi kekuasaan, seringkali menjadi alat eksploitasi. Hukum tampak sebagai mesin yang tidak produktif, bahkan destruktif.

Kita melihat hakim semakin dekat dengan pengusaha dan oligarki. Partai politik menggunakan hukum sebagai alat tawar-menawar. Pendidikan hukum perlahan bergeser ke arah pendekatan kapitalis dan hedonistik, menghasilkan sarjana hukum yang terampil dalam argumentasi tetapi kurang empati.

Kearifan lokal—nilai-nilai masyarakat adat—sedang disingkirkan oleh teks hukum yang seragam dan kaku. Moralitas hukum berubah menjadi moralitas liberal-kapitalis: secara formal sah, tetapi secara etis kosong. Ilustrasi Prof. Anthon sederhana namun menyentuh: hukum digambarkan sebagai orang yang sedang tidur, atau tangan yang menggenggam uang. Pesannya jelas—hukum seringkali tertinggal ketika berhadapan dengan kekuasaan dan modal.

Hukum Tidak Pernah Netral

Kuliah Prof. Anthon menekankan sebuah tesis penting: hukum tidak pernah bebas nilai. Hukum tidak netral atau objektif, dan tidak ada dalam ruang hampa. Hukum adalah relasi kekuasaan. Hukum berkembang melalui interaksi nilai, moral, norma, simbol, teks, dan perilaku sosial.

Mengutip Charles Sampford, hukum adalah konstruksi dinamis—sebuah permainan bahasa. Norma mengalami transplantasi, mutasi, dan bahkan kloning dalam realitas hiperreal, terutama di dunia maya. Di sinilah konsep hukum robotik dan kecerdasan hukum buatan lahir. Namun, Prof. Anthon memperingatkan: kecerdasan hukum tidak boleh berhenti pada mesin. Kecerdasan hukum harus diintegrasikan dengan kepekaan etika manusia.

Membangun Hukum yang Berjiwa

Di tengah kecerdasan buatan, masyarakat super cerdas, dan negara digital 5.0, hukum harus kembali ke akarnya: melindungi umat manusia secara keseluruhan. Hukum yang baik lahir dari jiwa yang baik dan perilaku yang adil.
Masa depan hukum bukanlah tentang seberapa canggih algoritma, tetapi seberapa dalam empati. Bukan hanya kepastian hukum, tetapi keadilan yang hidup. Bukan hukum yang tunduk pada kekuasaan, tetapi hukum yang berani mengoreksinya.

Kuliah Prof. Anthon bukan hanya pelajaran filsafat. Itu adalah peringatan. Di tengah kecanggihan teknologi, hukum hanya akan bermakna jika tetap berada di pihak kemanusiaan yang adil dan beradab.