Malam kian menanjak saat lelaki paruh baya itu datang dengan bunyi motor butut yang memekakkan telinga, tampangnya yang awut-awutan dan gigi kuning berkarat membuat hadirin yang hadir di rumah doyong itu bergidik. Dengan cepat, mata awasnya membasuh tiap inci ruangan, tangannya yang selalu gemetar menjangkau sebuah botol air, lelaki itu berkumur-kumur dan menyemburkannya ke anak tangga rumah sambil sesekali merapal mantra. Matanya melototi lantai rumah yang hanya berupa papan-papan sengon kasar yang dialasi tikar pandan, setelah tiga-empat semburan, barulah dia naik ke atas rumah.
Miun, si empu rumah, datang tergopoh-gopoh menyalami lelaki yang baru datang. Dengan sedikit membungkuk, lelaki berkain sarung itu menyilakan tamunya masuk. Ini sudah kali ketiga dia mengundang dukun untuk mengobati anaknya yang sedang sakit parah, perempuan satu-satunya itu terus meracau tentang lelaki yang tak jelas di mana batang hidungnya.
“Bawa dia ke sini, bawa ke sini atau kuhancurkan rumah ini,” rintih anak gadisnya penuh pilu. “Bapak… Aku ingin kawin, aku ingin dia menunggangiku bagai kuda, aku ingin dia menggagahiku semalam suntuk, atau sampai zuhur kalau perlu.”
Mula-mula sangkaan Miun pada anak gadisnya hanya sebatas kerasukan biasa, air mawar dan garam yang sudah dirapalkan beberapa ayat suci dibasuhkan ke badan Giyem, gadis itu menggelinjang seperti orang kepanasan, matanya melotot dan terbalik-balik, dia lekas bersembunyi di balik lemari kayu kamar sambil mendendangkan kidung dan sesekali tertawa cekikikan. Ayahnya tak tinggal diam, Miun mengejar ke sana, sementara ibunya yang mengoleskan air suci itu. Setelah sedikit kemelut tersebut Giyem sembuh tiga hari, malam keempat dia kembali kerasukan.
“Siapa sebenarnya lelaki yang dimaksud anak kita ini, Pak e?” tanya bojonya. “Apa jangan-jangan anak gadis kita sudah dibuatkan ke dukun oleh orang?”
Miun tak menanggapi, dia mengambil kretek dari balik saku celana dan membakar sebatang. Asap kretek tersebut mendulang ke udara, membuat otaknya dapat berpikir jernih. Sementara bojonya terus menunggu jawaban. Dengan siapa anaknya sedang berurusan kali ini? Padahal dia sudah banyak memberikan petuah jangan sekali-sekali menghina lelaki di mana saja bertemu, bisa jadi lelaki tersebut berisi dan dibuatlah anak gadisnya merana macam sekarang. Kejadian itu sudah berlangsung beberapa pekan dan belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik.
“Aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah sangat gatal!” Suatu malam Giyem kembali berteriak sambil menarik-narik kutang dan bajunya. “Aku ingin kawin, antarkan aku sekarang juga padanya, aku sudah tidak tahan lagi. Rumahnya ada di belakang gang sempit Sungai Duak, aku akan ke sana sendiri!” Giyem berdiri dan menggedor-gedor pintu kamar.
Miun menahan anak gadisnya, dia meminta bojonya tetap mengunci pintu kamar dan mencarikan dukun kampung, namun semuanya sia-sia belaka, sampai satu kali Dukun Juhari datang ke rumah dan melihat kondisi Giyem yang mengenaskan; rambut kusut masai, mata cekung, dan tatapan kosong macam mayat hidup.
“Coba kalian bawa ke Dukun Sunoto, dia tinggal di lereng Bukit Bangkol sana, mintalah dia datang, barangkali anakmu sudah dibuatkan oleh seseorang sampai dia jadi macam begini,” katanya.
Besok paginya, Miun menggebah motor Astrea hijaunya ke alamat yang diberikan dukun Juhari, dalam benaknya komplotan dukun mungkin sama saja dengan komplotan dokter, ada yang spesialis dan ada yang hanya sekadar mengobati perkara biasa saja. Biasanya makin acak-acakan bentuk dukun tersebut makin sakti ilmunya, makin necis dan rapi penampilannya, makin tipis pula ilmunya. Kedatangan Miun disambut baik, dukun Sunoto meminta menyebutkan ciri-ciri kelakuan anaknya, berapa lama sudah demikian, lalu dia menatap dalam ke bejana air di hadapannya sambil memejamkan mata. Tiba-tiba air tersebut mendidih, uap panas membubung ke atas, seiring bibir dukun Sunoto yang komat-kamit merapal mantra.
“Berat…” Desau dukun Sunoto setelah cukup lama menahan napas, kemudian membuka mata perlahan, menatap Miun dengan air muka kasihan. “Anakmu itu sudah melakukan yang tidak seharusnya dia lakukan, dia sudah menghina seorang berilmu tinggi, dan orang itu kini menginginkannya sebagai balasan.”
“Apakah tidak bisa disembuhkan, Ki?”
“Bisa, tapi sangat beresiko bagiku dan juga anakmu, bisa jadi kalau kita memaksakannya, anakmu akan berubah jadi gila betulan.” Dia hening sejenak, berpikir, lalu berujar, “Begini saja, siapkan degan, tiga sisir pisang batu, delapan butir kemiri yang sudah dijemur, dan bajana berisi kembang mawar, lalu siapkan juga bara tempurung di dalam sebuah mangkuk dan beberapa butir kemenyan, lusa malam aku akan datang menjenguk anakmu.”
Begitulah sebenarnya yang terjadi, malam itu dukun Sunoto menepati janjinya menyambangi rumah Miun. Lelaki itu demikian berharap anak gadisnya akan sembuh seperti sedia kala, seluruh keperluan yang disyaratkan sudah dia penuhi. Degan diambilnya sendiri siang tadi, demikian pula dengan pisang batu, untuk kemenyan dan kemiri memang sudah tersedia di dapur bojonya, hanya tinggal membawa saja ke ruang depan.
“Bawa anakmu keluar, suruh dia duduk di depanku.” Dukun Sunoto bersila tepat di depan piring loyang berisi tempurung kelapa yang mengepulkan asap, dia mencubit beberapa cubitan kemenyan dan menaburkannya ke atas perapian, wanginya segera memenuhi seisi ruangan. Miun menyeret anaknya keluar, mendudukkannya di hadapan dukun Sunoto. Gadis itu sudah seperti kehilangan tenaga, dia sayu macam bayam direbus.
Proses pengobatan dimulai; seluruh tingkap ditutup, seluruh pintu dikunci, hanya boleh satu lampu yang menyala dan itu yang berada di ruang pengobatan. Dukun Sunoto memejamkan mata, tangannya terkembang menyilangi asap yang kian menanjak membawa wangi kemenyan, seluruh persyaratan berada dihadapannya. Mula-mula dia merapal sangat pelan, kemudian mulai cepat dan mendesis-desis macam ular sanca kawin, lalu berteriak dan tangannya seketika menegang. Di detik berikutnya, Dukun Sunoto terjengkang ke belakang, punggungnya menghantam pintu keluar hingga terbuka, lelaki itu terguling ke anak tangga dan nyaris menyentuh motornya yang sedang terparkir. Dia lantas bangkit dengan susah-payah, napasnya menderu, sementara dari dalam rumah terdengar gelak melengking-lengking dari Giyem, seolah mengejek dukun tua yang sudah kocar-kacir itu.
“Tidak akan kubiarkan,” teriaknya di sela cekikan. “Aku akan kawin dengan Mas Suryo, jangan coba-coba ganggu!”
Dukun Sunoto tertegun, bulu remangnya tegak mendengar nama itu disebut. Dia lantas naik ke motor tanpa mengucap sepatah katapun, lalu hilang ditelan persimpangan gang kebun kesemek yang berkelok dan beku. Sementara di dalam rumah, Miun dan bininya menatap kejadian itu dengan terpaku. Apa yang sudah terjadi? Bukankah Dukun Sunoto adalah dukun kondang? Mengapa lelaki itu tiba-tiba saja pergi tanpa mengatakan apapun? Karena merasa semuanya perlu penjelasan, Miun buru-buru mengeluarkan motor dan mengejar Dukun Sunoto yang tiba-tiba pergi, dia masih ingat di mana rumah lelaki tua itu.
Di rumah, Dukun Sunoto memarkir motornya sembarang tempat, lantas masuk rumah setelah menendang pintu. Dia muntab, otot-otot yang semula kendor tiba-tiba menegang seketika, segera dicarinya lelaki bajingan itu sambil berteriak-teriak, namun teriakan itu tercekat karena beberapa saat kemudian dia terbatuk keras, dadanya seperti dihantam palu, dan dari mulutnya yang berbau tembakau memercak darah segar.
“Bajul buntung!” teriaknya. “Di mana kau, Suryo, anak jahannam, kau apakan anak orang, heh?”
Seorang pria muda bersinglet melongo dari dalam kamar, dia berjalan menghampiri lelaki tua yang kini sudah sangat kepayahan, ajiannya berbalik pada dirinya sendiri karena dia tidak tahu ilmu yang diberikan pada Giyem adalah ilmunya juga yang dia turunkan pada anaknya.
“Setan alas!” rutuknya lagi. “Kau berani macam-macam dengan anak orang tanpa memberitahuku, kini bapakmu ini yang menanggung akibatnya.” Kemudian lelaki itu kembali terbatuk, darah segar mengucur bagai keluar dari sebilah pancuran bambu talang yang besar. Dia mulai kehilangan kesadaran, pandangannya buram dan bergoyang.
“Kau juga akan mati sepertiku, Suryo, kau juga akan mati dalam waktu dekat!” Dukun Sunoto kembali terbatuk, dia terduduk di depan sebuah meja, sikunya bertelekan ke sana. “Seharusnya kau katakan padaku siapa yang kau bumbui, aku baru pulang mengobatinya dan kini ajian itu akan mulai menggerogotiku. Dasar anak asu, anak setan!”
Sehabis mengatakan kalimat tersebut, lelaki tua itu terkulai tak berdaya, tubuhnya jatuh ke lantai dan seketika menghitam bagai baru saja dipanggang. Suryo mengejar namun sudah tidak sempat lagi, karena di depan sana pintu juga berdebam terbuka, Miun menatap pria bersinglet itu dengan tatapan benci berkali-kali lipat. Dia lantas merengsek maju, semuanya sudah gelap dalam pandangan matanya, yang ada dalam benaknya kini hanya bagaimana cara membunuh Suryo dengan cepat, dia sudah menemukan orang yang mencelakai anak semata wayangnya dan kini dia tidak akan melepaskan orang itu begitu saja.
“Kemari kau, bajingan!”
Miun mengejar, namun pria itu pandai mengelak, keduanya bergumul di ruang depan rumah Dukun Sunoto beberapa lamanya, sampai pada satu kali Miun punya kesempatan meraih leher lawannya dan langsung mencekiknya sekuat tenaga. Suryo menggelinjang macam ayam habis disembelih, dia meraung macam kambing kehausan, namun Miun tak memberinya kesempatan, batang leher pria itu ditekannya keras-keras.
“Aku… Aku akan balas, atau anakmu… Atau anakmu…” Rintih Suryo di sisa tenaganya, namun itu sudah bagai gonggongan terakhir yang tidak berarti, sebelum kemudian dia terkulai tak bernyawa.
Setelah sadar apa yang terjadi, Miun buru-buru pulang, kemarahannya masih memuncak dan dia sama sekali tak peduli telah menjadi seorang pembunuh. Dia menikmati itu dan rasa puas membanjiri sekujur tubuhnya, kini putrinya akan benar-benar sembuh karena biang keladi dari sakit putrinya sudah dia pangkas, dia menggebah motor Astrea sekencang yang dia bisa.
Baru saja masuk ke pekarangan rumah, anak samata wayangnya sudah berlari menghampirinya sambil berteriak macam lutung kesurupan, “Mas Suryoo… Aku juga akan bunuh diri karena kau sudah pergi dari dunia ini…. Aku akan ikut.”
Catatan:
Jaran Goyang merupakan mantra untuk menyatukan, biasanya dipakai untuk menyatukan laki-laki dan perempuan, namun yang lebih banyak menjadi korban adalah perempuan. Mantra tua ini bahkan sudah dipakai jauh sebelum kerajaan Blambangan.
*) Image by istockphoto.com