KURUNGBUKA.com – Sepuluh tahun saya menyimpan 29 puisi ihwal maut. Puisi-puisi pendek. Hanya tiga baris. Serupa terzina. Seperti haiku. Saya menyebutnya “serupa” dan “seperti” karena meskipun struktur tiga baris menjadi fitur yang konsisten, saya melonggarkannya dari aturan terzina dan haiku. Format 5-7-5 pada pola suku kata haiku, misalnya, tidak saya patuhi benar.

Puisi-puisi itu seluruhnya saya tulis menggunakan ponsel pada malam hari di rumah sakit saat menunggui Abah, baik di kamar rawat inap maupun saat bolak-balik ke ruang ICU. Mengapa malam hari? Karena pagi hingga sorenya saya di kantor. Istirahat sejenak di rumah bersama istri dan anak-anak. Selepas magrib hingga pagi di rumah sakit. Semacam jaga malam. Kerap berdua dengan Ibu.

Selama dua bulan sepuluh hari (1 Januari – 11 Maret 2015), berkali-kali saya menyaksikan proses kematian, baik di kamar rawat maupun, terutama, di ruang ICU. Kadang tepat di ranjang sebelah Abah. Pernah dalam satu malam, 3 ajal menjemput berurutan. Saya pun seperti dapat merasakan embus angin dan wangi kehadiran maut itu, bahkan merasa bertatapan dengan matanya.

Sepuluh tahun kemudian, 29 puisi itu saya hampiri (lagi). Itu terjadi karena berhari-hari saya tak berhasil menulis obituari meninggalnya Abdul Salam, Presiden Rumah Dunia dan kurator puisi kurungbuka.com pada 30 Desember 2024 lalu di RSUD Drajat Prawiranegara Kabupaten Serang, yang dikebumikan pada hari itu juga di Kampung Bojong Desa Sukadalem, Waringin Kurung, Serang. Meninggalkan seorang istri, Diofany, dan seorang anak lelaki dua tahun sembilan bulan, Abdi Ozora. Mungkin saya terlalu sedih dan merasa kehilangan sehingga sulit melenturkan pikiran dan menggerakkan tangan menulis obituari.

Pada Hari ke-7 tiba-tiba saya teringat pada puisi-puisi pendek itu. Saya cari filenya di netbook “Jeng Lenovo” (demikian saya panggil alat mengetik itu 😊). Saya baca satu per satu. Lalu segera saja saya tulis dan susun ulang. Saya tak ingin kehilangan momen (puitik) itu. Ada yang masih saya pertahankan struktur tiga barisnya, tapi ada pula yang “meminta” rancang bangun baru. Saya penuhi dengan pertimbangan: “kami adalah sahabat karib” 😊 . 29 puisi itu pun menjelma jadi 9 puisi. Saya beri judul baru, Lalu Maut-1 sampai Lalu Maut-9 (sebelumnya dijuduli Sajak Kesatu hingga Sajak Keduapuluhsembilan). Masing-masing saya bubuhi titimangsa: 2015-2025.

Melalui whatsapp saya kirimkan file naskah itu kepada Ade Ubaidil, Pimpinan Redaksi kurungbuka.com. Saya katakan padanya: “Saya nggak tahu, Titan meluluskan puisi-puisi itu atau tidak. Sila diobrolkan sama Titan, kan dia redakturnya”. Titan Sadewo, penyair (dari) Medan itu, waktu itu baru saja bergabung menjadi kurator puisi kurungbuka.com menggantikan Abdul Salam.

Pada Sabtu pagi 11 Januari 2025 saya menyimak rubrik puisi kurungbuka.com. Lihat di sini: Puisi-Puisi Toto ST Radik: Lalu Maut

Titan memilih (hanya) empat puisi dari sembilan. Lalu Maut-1, Lalu Maut-2, Lalu Maut-3, dan Lalu Maut-4. Pada titik itu, pembaca boleh jadi akan menunggu seraya bertanya apa yang terjadi setelah seru si aku-lirik kepada maut: “tunggu!”. Mungkin pula pembaca selesai sampai di situ atau menentukan atau menduga-duga sendiri jawabannya.

Meskipun sembilan puisi itu satu kesatuan dengan struktur dramatik Aristoteles (protasis-epitasis-katastrofe) di mana bagian 4 dan 5 merupakan puncak penggawatan sebelum peleraian), tapi masing-masingnya dapat dibaca terpisah sebagai “satu mahluk tersendiri”. Jadi, puisi Lalu Maut-5 sampai Lalu Maut-9 akan menjalani nasibnya sendiri entah di media apa yang kelak bakal memuatnya. Demikianlah, penyair bersiasat pembaca (yang) merebut makna.

Yang sungguh membuat saya terkejut ialah apa yang dilakukan Titan terasa sebagai deja vu. Saya ingat benar Abdul Salam pernah melakukannya dengan (hanya) memilih empat dari sembilan puisi seri bercatatan kaki The History of Bjorka pada kurungbuka.com edisi 13 Mei 2023. Lihat di sini: Puisi-Puisi Toto ST Radik: The History of Bjorka

Apakah ini suatu kebetulan belaka? Mengapa persis sama yakni memilih empat dari sembilan? Atau barangkali Titan mengetahui hal tersebut kemudian membuat semacam simulasi sakaratul maut (meminjam judul buku puisinya yang bakal terbit di Gramedia Pustaka Utama) 😁. Entahlah.

Yang jelas, esai ringkas ini bolehlah disebut sejenis endnote (bukan catatan kaki, ya 😊) bagi Abah H. Mohammad Suhud dan kawan penyair Abdul Salam HS. Innalillahi wa innailaihi raji’uun. Allaahummaghfir lahu warham hu wa’aafi hii wa’fu anhu … wa adkhil hul jannata wa’aidz hu min’adzaabil qobri wa fitnati hi wa min’adzaabin naar.

Apa pun, terima kasih ya, Bang Titan Sadewo. Carpe diem! ❤️

Serang, 11 Januari 2025

*) Image by Rudi Rustiadi (dalam foto: Rahmat Heldy, kakak dari mendiang Abdul Salam)