KURUNGBUKA.com, PURWOKERTO – Banyak orang masih memaknai pendidikan sebatas ruang kelas dan jadwal akademik yang kaku. Padahal, seperti yang pernah dikatakan Ki Hadjar Dewantara, “jadikan semua tempat sebagai sekolah, jadikan semua orang sebagai guru.” Kutipan itu menjadi pengingat bahwa pendidikan sejatinya bisa hadir di mana saja, tidak terpaku pada ruang dan waktu tertentu.

Hal inilah yang menjadi semangat Dimas Indianto S. atau lebih dikenal sebagai Dimas Indiana Senja, dosen UIN Saizu Purwokerto sekaligus instruktur literasi nasional. Ia konsisten menghadirkan pendekatan berbeda dalam proses pembelajaran.

“Saya tidak ingin mahasiswa hanya belajar dari bangku kuliah. Pendidikan harus dieksplorasi dari berbagai ruang,” ujarnya.

Salah satu cara unik yang ia terapkan adalah mengajak mahasiswa belajar di bioskop. Kegiatan ini bukan sekadar “nonton bareng”, melainkan bagian dari agenda pembelajaran setiap semester.

“Film bukan sekadar tontonan, tapi juga tuntunan. Saya ingin mahasiswa belajar menikmati proses pendidikan yang menyenangkan,” jelas Dimas.

Film yang dipilih pun tak sembarangan. Ia mengaitkannya dengan konteks mata kuliah yang dia ampu. Dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan, misalnya, ia memilih film Pengepungan di Bukit Duri.

“Film ini menyimpan banyak nilai penting soal pendidikan. Bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga soal nilai,” katanya.

Di luar kegiatan menonton film, Dimas juga memiliki kebijakan unik lainnya: mewajibkan mahasiswa membawa dan membaca buku setiap kali perkuliahan. Ia mengakui kebiasaan membaca mahasiswa masih sangat rendah. Karena itu, 15 menit sebelum kelas dimulai, mahasiswa diminta membaca buku, baik fiksi maupun nonfiksi.

“Kalau setiap dosen menyediakan waktu 15 menit untuk membaca, dan mahasiswa punya empat kelas dalam sehari, itu artinya mereka membaca selama satu jam. Itu langkah kecil untuk mimpi besar,” kata Dimas.

Sebagai bentuk komitmen terhadap literasi, Dimas bahkan rutin membagikan buku secara cuma-cuma kepada mahasiswa yang aktif menjawab pertanyaan. Tak hanya itu, di akhir semester, ia juga mentraktir buku untuk seluruh mahasiswa yang ia ajar. Ia mengajak mereka ke bazar buku dan membebaskan pilihan mereka.

“Beli buku itu bukan soal mampu atau tidak, tapi soal mau atau tidak. Buku yang dibeli hari ini, mungkin belum dibaca sekarang, tapi suatu hari pasti berguna,” tegasnya.

Menurut Dimas, pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang membahagiakan. “Saya ingin mahasiswa merasakan bahwa belajar itu menyenangkan. Kalau sudah bahagia, maka tujuan pendidikan akan lebih mudah tercapai,” tutupnya. (rls/dhe)