*) Disampaikan pada acara Bedah Buku dan Proses Kreatif Menulis Buku Piknikita Karya Jauza Imani dan Kurnia Effendi di Auditorium Rumah Dunia, Serang, Banten, pada Minggu, 26 Juni 2022.

Dunia, beserta pernik kehidupan manusia, terus berubah. Seakan tak ingin berhenti pada satu titik atau corak tertentu. Demikian pula pada denyut kehidupan kesusastraan, khususnya puisi.

Dulu sekali, puisi berada pada suatu ketinggian dengan seluruh sakralitasnya dan hanya dijangkau orang-orang tertentu. Puisi tampil (hanya) pada acara tertentu dan senantiasa berkait dengan upacara-upacara keagamaan. Begitu pula ihwal pemaknaannya; hanya orang-orang tertentu dengan pengetahuan dan kebijaksanaan mendalam yang dapat meraihnya. Orang biasa atau awam berada jauh dari lingkaran itu.

Bahkan pada era modern, dimana kesetaraan adalah hal utama, seorang Chairil Anwar, penyair bohemian yang menyebut dirinya “Binatang Jalang”, mengatakan pada satu wawancara dengan Radio Belanda: “yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Bagi Chairil, hanya penyairlah yang punya hak membuat syair atau puisi. Penyair ditempatkan pada posisi luhur, karena hanya penyair yang boleh (ambil bagian) dan melahirkan puisi, sesuatu yang luhur pula, sebab ia buah karya seorang penyair.

Pernyataan Chairil Anwar itu kemudian mendapatkan semacam perlawanan pada tahun 1970-an dengan gerakan puisi mbeling yang dimotori Jeihan dan Remy Silado. Saat itu Jeihan berkata: “Dengan tegas saya katakan, yang bukan penyair boleh ikut ambil bagian. Ini artinya setiap orang boleh menulis puisi, boleh main-main dengan puisi. Gembira ria dengan puisi.” (Jeihan, Mata mBeling, Grasindo, 2000).

Sementara itu, Sutardji Calzoum Bachri menyampaikan kredo puisinya yang dimuat dalam majalah Horison No.12 Th.IX, Desember 1974 dan kemudian dimuat sebagai pengantar kumpulan O (dalam O Amuk Kapak, Sinar Harapan, 1981):

“Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam. Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri…. Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya – adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”

Tentu saja, pergulatan antara “puisi yang serius” dan “puisi yang main-main” atau antara “yang penyair” dan “yang bukan penyair” terus bergulir dengan sengit. Tetapi justru di situlah menariknya dunia perpuisian atau kepenyairan kita.

Kini, di tahun 2020-an, pada sebuah jaman yang dibayang-bayangi ketakutan atau kecemasan akibat pandemi covid-19, dua orang, sebutlah penyair, bernama Kurnia Effendi di Jakarta dan Jauza Imani di Bandarlampung, menuliskan sejumlah puisi, baik yang dibuat sendiri-sendiri maupun yang ditulis bersama, kemudian menerbitkannya menjadi satu buku puisi berjudul Piknikita dengan embel-embel Himpunan Puisi dari Mantra (Basabasi, Yogyakarta, 2021).

Melacak dari pengakuan mereka yang terdapat pada pengantar buku Piknikita, puisi-puisi yang mereka tulis merujuk pada mantra yang disiarkan setiap malam sejak April hingga Desember 2020 melalui akun Facebook Jauza Imani. Yang mereka sebut mantra itu sesungguhnya adalah quote yang disusun mirip doa dan harapan sederhana serta memberikan sugesti untuk selalu bersemangat mencipta dari hari ke hari.

“Setiap kali kami hendak menulis, kami menyebutnya akan berangkat piknik. Melalui ‘gerbang’ berwujud gawai pintar dan laptop, kami memasuki dunia wisata pikir dan batin,” tutur  Za dan Kef—sapaan akrab keduanya.

Tapi pada pengantar buku ini kita tak mendapatkan (sejenis) kredo yang menegaskan dan menjelaskan posisi ideologis puisi atau kepenyairan. Jauza Imani dan Kurnia Effendi hanya sekadar menerangkan proses kreatif dan latar belakang mereka bertemu dan kemudian bersepakat menulis puisi bersama.

Harapan mereka juga sungguh sederhana: “Berharap antologi ini pantas dan menyenangkan dibaca oleh teman-teman sebab berupaya jauh dari kehilangan harapan atau kemurungan selain untuk kembali bangkit dan—seperti halnya piknik sejati—meraih penghiburan.”

Hal tersebut barangkali tidak terlepas dari situasi saat itu yang sedang dicekam oleh Pandemi Covid-19, di mana kita “terkurung di dalam rumah”. Tidak lagi bebas melakukan aktivitas sehari-hari di luar rumah. Sehingga membutuhkan semacam piknik, apa dan bagaimanapun bentuknya. Di sinilah kemudian puisi atau aktivitas menulis puisi menjadi semacam jalan keluar dari kecemasan-kecemasan yang menghantui dan dijadikan semacam piknik bersama, meski jarak di antara mereka berjauhan dan hanya “berjumpa” melalui gawai atau laptop.

Lantas bagaimanakah puisi-puisi di dalamnya?

Ada empat bagian pada antologi Piknikita ini. Bagian pertama dijuduli Puisi dari Mantra (61 puisi, disertai keterangan sumber), bagian kedua Puisi Jauza Imani, untuk dan tentang Kef (15 puisi), bagian ketiga Puisi Kurnia Effendi, untuk dan tentang Za (8 puisi), dan bagian keempat Puisi Za & Kef (6 puisi). 90 puisi di dalam Piknikita ini ternyata tidaklah sederhana atau bicara perihal remeh-temeh yang bersifat penghiburan. Begitu pula teknik penulisan puisinya jauh dari sifat “bermain-main” atau “main-main”.

Perhatikan kutipan puisi Enam Lagu yang menjadi puisi pertama dalam antologi ini:

Enam Lagu

1.

Sebuah rute –mungkin melingkar

Sirkuit dalam rimba atau peta yang tak terbaca

Hanya pada mulanya, hanya pada mulanya

Dua hulu sungai, dua serpih awan, dua mata angin

Dua yang terpisah oleh jarak kemudian menemu saat

Dua mata yang memandang lurus dan sakti

Tak akan seperti ayah dan ibu kita yang saling mencari

Sebab mereka pernah berbagi kisah di sebuah taman

Namun tak satu di antara kita lahir dari batu

Masing-masing memiliki rajah tangan

Nama yang terukir di daun kehidupan

Cinta kan membawamu kembali di sini!*

Hanya cinta, hanya cinta

Sungguh, Piknikita adalah piknik yang serius. ***

Larik Lirik Lagu Dewa 19 “Cinta kan Membawamu” yang kemudian juga dinyanyikan Reza Artamevia