Namaku Maura dan aku pernah menyimpan laut dalam gelas plastik bening yang retaknya nyaris tak tampak. Gelas itu kubawa ke mana pun—bukan karena aku tak waras, tapi karena aku sedang mencoba menyelamatkan sesuatu yang terus-menerus ingin tenggelam; kenangan.
Aku tinggal di sebuah kampung kecil di pesisir. Rumah kami menghadap ke laut, tapi bukan laut yang biru dan manis seperti dalam brosur pariwisata. Laut kami keras, asin, dan penuh teka-teki. Laut yang sama yang telah membawa ayah pergi, dan tak pernah benar-benar mengembalikannya.
Ayahku seorang pelaut. Tapi bukan yang berlayar jauh-jauh membawa barang dari pelabuhan besar. Ia lebih sering menyusuri batas cakrawala, membawa hasil tangkapan malam, dan kadang pulang dengan kantong kosong. Tapi ia pulang. Selalu. Sampai satu hari, laut menutup dirinya.
Hari itu, angin mengandung firasat. Ibu tidak tidur, matanya memeluk bulan dari celah jendela. Aku ingat suara jangkrik yang terlalu hening, dan perasaan seperti seseorang sedang menutup pintu dari dalam dada.
Ayah tak kembali.
“Ayah selalu bilang laut itu adil,” kataku sambil duduk di tepi dermaga. Gelas plastik di tangan kananku menggigil pelan, entah karena angin atau ingatan.
“Ayahmu tidak dimakan laut, Mau. Ia disimpan,” kata Pak Anwar, nelayan tua yang dulunya sahabat seperahu ayah. “Laut menyimpan yang tak bisa dikembalikan, tapi tak pernah melupakan.”
Aku ingin percaya. Tapi malam-malam panjang hanya mengajari aku bahwa kehilangan tak selalu bisa dilunasi oleh keyakinan. Kadang, ia hanya menetap, seperti garam di kulit nelayan, atau bau amis ikan yang tak hilang meski dicuci berkali-kali.
Aku mulai menyendiri setelah pemakaman simbolis itu. Di beranda rumah, tempat ayah biasa duduk sambil minum teh dan memandangi horizon, aku duduk dengan gelas plastik kosong. Gelas itu dulunya milik ayah—biasa ia gunakan saat minum teh manis, hasil rebusan air sumur dan gula merah.
Entah apa yang mendorongku, aku menuangkan air mata ke dalam gelas itu. Awalnya satu tetes, lalu dua, lalu beberapa lagi. Setiap malam, sebelum tidur, aku akan menangis pelan, dan membiarkan gelas itu menerima serpihan laut dari tubuhku sendiri.
Aku menyebutnya laut kecilku.
Laut yang tak akan pasang. Laut yang tidak akan pernah membawa ayah pulang. Tapi setidaknya, laut itu tetap bersamaku.
Kata orang, duka akan pudar. Tapi di kampung pesisir, duka justru tumbuh bersama lumut di bawah perahu, menempel di jala yang jarang dipakai. Setiap tiupan angin asin mengingatkanku pada napas ayah saat ia berkata, “Laut menyimpan banyak hal, Maura. Bukan Cuma ikan, tapi juga doa, air mata, dan nama-nama yang tak sempat kembali.”
Dan kini, aku tahu, aku sedang menyimpan namanya dalam gelas plastik bening.
Suatu sore, aku berjalan ke pantai. Membawa gelas itu. Ombak menyambut kakiku seperti tangan-tangan yang dulu menggendongku saat kecil. Langit lembayung, dan camar terbang rendah.
Aku jongkok. Menatap gelas itu dalam-dalam. Airnya tak penuh. Tapi cukup untuk membuat hatiku sesak.
Kakiku terbenam sedikit di pasir.
Aku bertanya pelan, seolah pada angin, “Apa duka juga bisa menjadi ekosistem? Apa kenangan bisa bertelur di dasar laut dan tumbuh menjadi makhluk baru yang lebih sabar?”
Tak ada yang menjawab. Tapi ombak tak lagi mengamuk. Angin pun melembut.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk mengubur gelas itu di halaman belakang, dekat pohon kamboja yang dulu ayah tanam. Kubuat lubang kecil, dalamnya sejengkal dada. Lalu kuhapus sisa airnya di pipiku sendiri.
Sebelum kutanam, aku bisikkan sesuatu ke gelas itu.
“Aku tak ingin menyimpannya lagi. Biarlah laut kembali ke tanah. Tapi kenanganmu, Ayah—akan kupelihara dalam tubuhku. Karena sesungguhnya, tubuhku pun sudah menjadi laut.”
Setelah itu, hidup kembali berjalan.
Pelan-pelan, aku mulai menulis lagi. Kali ini tentang laut. Tentang ayah. Tentang semua yang hilang tapi tak pernah benar-benar pergi.
Di dalam tulisan-tulisanku, laut tak selalu garang. Ia juga penyayang. Ia mencintai dengan cara yang tidak bisa dijelaskan kadang menenggelamkan, kadang memeluk diam-diam lewat angin dan buih.
Dan entah mengapa, aku merasa ayah membaca tulisanku dari kejauhan.
Suatu malam, ia datang dalam mimpiku.
Ia duduk di beranda, memakai kemeja putih yang sedikit kusut, seperti biasa. Tangannya menggenggam gelas plastik itu—utuh, tanpa retakan. Wajahnya teduh, matanya seperti laut tenang setelah badai.
“Ayah,” aku memanggil.
Ia tak menjawab. Tapi tersenyum. Lalu menunjuk ke arah horizon. Di sana, cahaya jingga membentang, seperti puisi tak selesai yang ditulis matahari.
Lalu ia berkata, “Maura, kau tak perlu menyimpan laut itu lagi. Karena sebenarnya, kaulah lautnya.Kau menyimpan lebih banyak dari yang bisa kutinggalkan.”
Saat aku terbangun, langit masih gelap. Tapi hatiku tidak lagi pekat.
Aku membuka jendela, membiarkan angin laut masuk dan membawa serta suara-suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang pernah kehilangan.
Dan saat kudengar suara ombak di kejauhan, aku tahu.
Aku tidak sendiri.
Laut itu… selalu bersama mereka yang tahu cara mendengarkan.
Kini, bila kau berkunjung ke rumahku, kau akan melihat pohon kamboja yang tinggi di halaman. Di bawahnya, tersembunyi sebuah gelas plastik bening, tempat aku pernah menyimpan laut.
Tapi bila kau bertanya padaku di mana laut itu kini, aku akan menjawab, “Laut itu kini kutulis di dalam kata-kata.Dan setiap kalimat adalah ombak.Setiap jeda adalah napas ayah. Dan setiap tanda titik adalah perahu yang pulang.”
Kini aku tahu kehilangan tidak selalu harus dilawan.
Ada luka-luka yang tidak ditakdirkan untuk sembuh, hanya diminta untuk dikenali dan dipeluk.
Seperti laut, yang tak pernah benar-benar tenang, tapi terus belajar menerima segala yang hilang, tenggelam, dan tak pernah ditemukan kembali.
Aku tidak lagi menyimpan laut dalam gelas plastik.Tapi laut itu telah menyimpan aku dalam dirinya.
Setiap kali aku berdiri di tepi pantai, angin menampar pelan wajahku, seolah mengingatkan bahwa ayah tidak benar-benar pergi. Ia ada di dalam riak air, dalam suara ombak yang menyentuh pasir, dalam aroma garam yang menusuk kenangan. Ia bukan lagi tubuh yang bisa kupeluk, tapi menjadi bagian dari semesta yang memelukku setiap hari.
“Laut tak pernah benar-benar kehilangan,” begitu katanya dalam mimpi.“ Ia hanya pandai menyembunyikan cinta dalam kedalaman yang tak semua orang mampu selami.”
Dan memang benar, laut menyembunyikan cinta, luka, dan cerita dengan cara yang tak biasa—dalam arus, dalam buih, dalam sunyi yang memekakkan. Tapi kini aku tahu cara mendengarkannya. Aku tahu caranya tidak tenggelam. Karena menulis telah menjadi perahuku. Setiap kata adalah kayu yang kuikat satu per satu, agar aku tetap mengapung. Agar laut dalam diriku tidak menjadikanku karam. Maka kini, setiap puisi yang kutulis, setiap catatan yang kubuat, adalah upayaku menyalin laut ke dalam bahasa. Dan setiap pembaca yang menyelaminya—mereka pun, tanpa sadar, sedang berenang di laut kecilku.
Mereka akan menemukan gelas plastik itu di antara metafora. Dan mungkin, melihat air mata yang telah berubah menjadi cahaya. Dan bila suatu hari aku tua, dan tubuhku tak sanggup lagi berdiri di tepi pantai, aku ingin ada seseorang—siapa pun itu—yang duduk di beranda, meminum teh dalam gelas plastik bening, dan bertanya, kenapa kamu menyukai laut? Maka aku akan menjawab, “Karena laut mengajarkanku cara mencintai yang tak menuntut kembali dan cara kehilangan tanpa harus berhenti hidup.Karena pada akhirnya, kita semua menyimpan laut di dalam diri masing-masing.Dan sesekali, kita hanya perlu duduk diam,Menuangnya perlahan…Ke dalam gelas sederhana bernama cerita.”
*) Image by istockphoto.com