Matematika
kita semua anak-anak muda yang pintar matematika
terkadang berjalan terlalu jauh atau terlalu dekat
atau terlalu terkungkung atau terlalu berani
atau terlalu takut atau terlalu angkuh
di atas dunia
kita terlalu sibuk menghitung-hitung
menerka-nerka hari-hari
mencipta-cipta teori
meninggi-ninggikan angan
memilah-milah induk paragraf
memasuk-masukkan fenomena pada retorika
mengata-ngatakan sewenang yang kita benar
sampai akhirnya kita lupa
terkadang hal-hal terkecil dari dunia
mendorong kita jatuh
membuat kita luluh
membawa kita kembali jauh
pada tempat pulang paling asyik
yang menerima dan memeluk kita
apa adanya
tanpa kerumitan
matematika
***
Teknik Pengumpulan Data
Pria muda itu turun dari angkot
di perempatan jalan
ketika panas matahari menyengat
ke jiwa—pedalaman.
Dilihatnya langit yang tertawa kepadanya,
menggurui ia tentang pekerjaan
seorang suaka yang luntang-lantung
kebingungan kepalang hampa.
Pria muda itu mendatangi alamat
yang tertulis di atas brosur yang ia jumpa.
Di sana tertulis jelas: Lowongan kerja.
Dicari seorang penyair durjana.
Sesampai di sana, pria muda itu segera
membuka tasnya yang penuh kertas dan pena,
kemudian memberikan puisi-puisinya
kepada sang empunya acara.
Sang empunya acara meringis tertawa.
Pikir si pria muda, Kok terik bibirnya sama
seperti matahari di langit tadi?
Bajingan betul!
Dan sang empunya acara membuka tirai panggung.
Di sana berdiri balerina dan pujangga
yang didandani sedemikian rupa.
Mereka saling bergandeng tangan ketika api
membakar kaki-kaki mereka. Dan tangis,
bahkan tangis tak terdengar. Bahkan air mata,
sialnya air mata tak jatuh bersama mereka.
Kata sang empunya acara, “Mereka penampil.
Artis panggung. Kau yakin puisi-puisi awam
dan cara tampilmu bisa menggeser mereka?”
Si pria muda menjawab, “Saya yakin, Pak.
Saya pasti bisa berpuisi dengan anggun
di atas panggung itu dan mengalahkan mereka.
Puisi saya ini betul-betul betulan. Panas
dari panggangan. Edan. Gila. Epik.”
Sang empunya acara mengembalikan puisi-puisi
yang dirawat si pria muda dengan sewenang-wenang.
Katanya, “Pulanglah engkau, penyair muda.
Kami sedang mencari seorang penyair durjana.
Kau, kulihat wajahmu, belum gila-gila amat.
Kancing bajumu rapi, di sana belum terlihat
ladang petani desa yang kehilangan harapan
akibat tergerus kerasnya urban, atau rambutmu
yang cepak itu seakan meminta diacak-acak
karena sejatinya dari setiap ujungnya ada cincangan
ide paling gila yang harus digoreng sampai matang.”
Maka si pria muda berpulang dengan tenang
dari rumah ibadah dambaannya, merelakan segala
mimpinya yang ia bangun teguh, penuh pengharapan
ketika ia percaya betul pada dirinya.
Dari trotoar jalanan, dilihatnya iklan-iklan pagelaran.
Sang empunya acara, beserta anak-anak buahnya.
Si pria muda murung. Si pria muda bertanya:
“Apa betul aku bukan seorang penyair durjana?”
Ia pulang dengan gontai; kaki-kakinya mendaki
dan menjejaki setiap bait jalan, yang darinya
tak ia temukan makna. Ia berusaha menerka,
meraih sekelilingnya, dan hanya printilan kecil saja
yang masuk ke dalam buku catatannya.
Begitu terus si pria muda mengarungi samudra dunia.
Ia menangkap kaleng, koran, nasi sisa, pengemis,
para pemalu, sampah di sudut kota, cat jalan yang hilang,
dan hal-hal nirguna lain di sepanjang perjalanan.
Setahun kemudian, pria muda itu mendatangi alamat
yang tertulis di atas brosur yang ia jumpa waktu itu.
Setelannya gaul betul kali ini, lebih mamprang
dan edan tidak keru-keruan.
Sang empunya acara yang khatam dengan kata-kata
kemudian mengetes si pria muda dengan pertanyaan:
”Mau melamar jadi apa?”
“Seorang durjana.”
***
Merantau
Mulai hari ini aku tinggal di kota orang.
Malang, malang betul nasibnya.
Kata Ayah, cari jalan mumpung masih bujang.
Kata Ibu, jangan lupa salat malam.
Kata adik, ah aku peduli setan.
Kata kakek, berondong satu ini tambah ganteng saja.
Kata nenek, ingat nenek kalau habis uang.
Kataku, ah satu-satu!
Jangan keburu-buru!
Aku baru sampai stasiun dan ini masih menunggu!
***
Mu
Ah, malam datang kembali.
Sejak tadi aku mencari masa
agar aku bisa menghabiskannya,
tetapi akhirnya semua sirna:
sendiri lagi; sia-sia.
Ah, hatiku yang kepalang buntu
terbangun dari tidurnya nan syahdu
dengan sigap dan terburu-buru
untuk berjalan mencari rumahnya:
napak tilas di hatiMu.
***
Latar Belakang
Latar belakangku biru muda,
dihidu Ayah Bunda. Merekahlah
latar belakangku menjadi
singgasana raja dan rontoklah ia
ketika awan bergerak
menambah usia
menjadi abu-abu
dan cokelat tua.
*) Image by istockphoto.com