KURUNGBUKA.com – (19/03/2024) Pengarang itu jauh dari tanah asal. Dulu, ia sibuk bersastra di Indonesia saat terjadi kisruh ideologi dan politik-sastra. Yang terjadi: ia berada di negeri asing akibat malapetaka 1965. Namun, orang-orang terus mengenang dan mengaguminya, merujuk buku-buku dan ulasan-ulasan di pelbagai media.
Pengarang itu bernama Utuy T Sontani. Kita mengingat keampuhannya dalam menggubah cerita pendek, novel, dan drama. Pada masa Orde Baru, buku-bukunya “menghilang” tapi orang-orang terus penasaran meski rezim sedang memberlakukan “pelarangan”. Pengarang besar itu sulit pulang. Sejarah terlalu membebani.
Kita mengingat masa awal ia menjadi pengarang. Yang dilakukan setelah rajin membuka halaman-halaman koran: menulis cerita. Ia ingin mendapat nama samaran. Bersumber buku berjudul Pelarian dari Digul, ia memilih nama samaran: Sontani. Cerita dikirim ke Sinar Pasundan. Bahagia mengetahui ceritanya dimuat.
Ia mengisahkan: “… sejak itu aku pun terus menulis dan terus menulis. Dan sejak itu nama Sontani terus menghiasi koran Sinar Pasundan. Ada kalanya membawakan cerita pendek, ada kalanya pula membawakan sajak-sajak.”
Sontani, nama yang lekas besar dalam sastra Indonesia. Nama samaran saat masih remaja dan pemula. Utuy T Sontani (1978) menganggap nama samaran penting meski niat awal berkaitan asmara dengan gadis tetangga. Nama yang telanjur penting dalam kesusastraan Indonesia.
Pada saat bertumbuh menjadi pengarang, ia menyadari: “Aku mengarang dan lalu dinamakan pengarang karena aku merasakan adanya sesuatu yang mengharukan sebagai tantangan yang mesti dijawab.” Ia membuktikan dan menerima akibatnya.
(Pamusuk Eneste (editor), 2009, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang 3, Gramedia Pustaka Utama)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







