“Sang penyelamat telah lahir! Sang penyelamat telah lahir!” begitu kabar yang diteriakkan orang-orang. Telah begitu lama mereka mengharapkan datangnya sang penyelamat. Dan telah begitu lama pula harapan itu hanya menjadi harap. Doa-doa yang mereka sanjungkan kepada tuhan-tuhan mereka, tidak pernah mendapat jawab. Harapan akan turunnya penyelamat seperti yang diramalkan kitab-kitab yang pernah mereka tinggalkan, tidak juga datang. Lalu setelah beratus tahun hidup dalam kekacauan, seseorang yang mereka tunggu-tunggu akhirnya lahir dari rahim seorang perawan[1].
Kabar gembira akan lahirnya bayi itu menyebar lebih cepat dari virus yang hampir membuat punah spesies mereka. Orang-orang berlari dari pasar ke pasar meninggalkan rumah mereka demi ikut membagikan kabar gembira ini. Semua orang ikut bergembira dan ingin ambil bagian dalam menyebarkan kebahagiaan. Kabar gembira ini pun tiba di rumah si tua Musa.
“Mau ke mana kamu?” tanya Musa kepada Isra, cucunya, ketika anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu berlari menuju pintu rumah.
“Aku ingin ke pasar, Kek.”
“Apa dibuat di sana?”
“Aku mau lihat keajaiban. Aku ingin ikut membagikan kebahagiaan ke orang-orang.”
“Kamu tahu, Isra. Dulu, kakek-buyutmu pernah cerita kepadaku: orang-orang tidak perlu bertemu langsung jika ingin berbagi kabar, mereka cukup mengirim pesan lewat udara, dan tanpa perlu bertemu muka, mereka bisa bertukar kabar.”
Anak itu mendengarkan sekilas lalu. Dia sudah bosan mendengar cerita itu meluncur dari mulut keriput kakeknya. Ketika dia sudah akan pergi meninggalkan Musa, lelaki tua itu bangkit dari kursi lapuknya dibantu tongkat yang pada pangkal kepalanya membentuk kepala ular.
“Jangan keluar Israil!” kata Musa berteriak memanggil nama lengkap cucunya.
“Aku ingin melihatnya, Kek. Mereka akan memperlihatkan anak laki-laki itu di pasar.”
“Apa kamu ingin seperti ayah dan ibumu yang mati sia-sia? Bukannya kakek sudah bilang untuk menjauhi kerumunan. Masker saja tidak cukup untuk menyelamatkanmu. Lagi pula apa istimewanya anak itu? Ini pasti sama seperti cerita yang sudah-sudah,” kata Musa.
Si tua Musa sudah terlalu banyak kecewa. Berkali-kali dia mendengar kabar gembira tentang lahirnya seorang anak yang dipercaya sebagai juru selamat, tetapi kenyataannya anak itu malah tidak selamat, dan anak-anak itu mati, bahkan sebelum bisa mengucap kata pertama.
“Tidak sama, Kek. Anak ini berbeda, dia terlahir dari rahim seorang perawan, dan….” Isra mengambil jeda, “Kakek tahu, anak ini lahir dengan masker menutupi wajahnya[2].”
Si tua Musa terperangah. Dia merasa pernah membaca tentang kisah ini di sebuah kitab suci yang ditulis oleh Nabi Darwin[3]. Jika kabar itu benar, mungkin inilah yang disebut-sebut mukjizat. Musa ingin membuktikan mukjizat itu dengan matanya sendiri.
Tiba di pasar, kakek dan cucu itu dibuat tidak percaya melihat lautan manusia. Mereka tidak bisa maju dan hanya bisa menonton dari kejauhan. Di seberang lautan manusia, di sebuah panggung setinggi tujuh kaki, rombongan juru selamat sedang berbicara kepada lautan manusia. Mereka berteriak-teriak, tetapi Musa tidak bisa mendengarnya. Kupingnya tidak lagi sebagus dulu. Dia juga tidak bisa melihat dengan jelas karena matanya terlalu rabun untuk melihat dari jarak sejauh itu. Isra lebih parah lagi. Tubuhnya yang hanya sedikit lebih tinggi dari pinggang orang dewasa membuatnya tidak bisa melihat apa pun kecuali lautan manusia.
Musa lantas meminta orang-orang itu untuk menyingkir dengan sopan, tetapi lautan manusia tidak menggubrisnya. Mereka terus berkumpul menghalangi si tua Musa yang bertubuh bungkuk dan si cucu yang pendek. Musa yang kesal tidak diberi kesempatan untuk maju, lantas berteriak, “Kalian semua tidak punya sopan santun kepada orang tua!”
Lautan manusia bergeming. Sambil berteriak lantang, Musa memukul-mukulkan tongkat ke batu yang membisu di depan lautan manusia. Tiba-tiba lautan manusia terbelah. Musa berjalan dengan gagah di tengah lautan manusia. Isra yang berjalan di belakangnya terkagum-kagum menatap punggung bungkuk kakeknya. Saat itu dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan mendengarkan setiap perkataan Musa[4].
Begitu mereka berdua tiba di barisan paling depan, mereka terkejut karena rombongan juru selamat bukannya memperlihatkan sosok bayi ajaib, malah menawarkan kupon. Nilainya seharga kebutuhan hidup tiga minggu. Katanya dengan kupon itu mereka bisa melihat juru selamat dari dekat.
“Jadi nanti di purnama ketiga, kami akan datang lagi ke pasar ini. Dengan kupon ini kalian akan bisa bertemu langsung dengan juru selamat. Mereka yang sudah mencium tangan juru selamat tidak akan memerlukan masker lagi,” kata si juru bicara.
Nada-nada kagum meluncur dari mulut-mulut yang dibekap masker. Mereka mengucap syukur dengan bahasa dan kepercayaan mereka. Berbondong-bondong mereka maju untuk membeli kupon. Musa dan Isra terseret maju. Lalu mereka jatuh dan tenggelam diamuk gelombang lautan manusia. Keduanya nyaris mati kehabisan napas jika saja seorang lelaki tidak berteriak.
“Berhenti-berhenti!” pekik seorang pria paruh baya. “Kalian semua dibodohi!” lanjutnya.
Gelombang manusia kembali tenang. Musa dan cucunya tertatih-tatih berdiri.
“Memangnya anak itu bisa bicara?” tanya pria itu membuat orang-orang menoleh kepadanya. “Apa bukti anak itu adalah juru selamat?”
Si juru bicara menoleh ke temannya yang berkepala botak dengan wajah dipenuhi bulu-bulu lebat. “Dia lahir dengan masker menutup wajahnya. Apakah itu tidak membuat kalian percaya?”
“Tapi itu tidak sesuai dengan kitab yang kupercaya. Hanya jika anak itu bisa bicara baru aku percaya bahwa anak itulah yang kita tunggu-tunggu. Kalau dia bisa bicara, berarti dialah sosok yang akan membawa kita melewati zaman kegelapan menuju zaman terang benderang. Zaman tanpa masker!”
“Tentu saja anak itu bisa bicara,” kata si botak. “Namun hanya orang-orang terpilih yang bisa mendengar kata-kata juru selamat.”
Lautan manusia mengangguk-angguk. Suara decak kagum terdengar. Termasuk juga dari bibir si tua Musa. Dia berharap dirinya termasuk orang-orang terpilih. Meski dia sendiri tidak punya cukup uang untuk membeli kupon, dia tetap menyimpan harapan bahwa dia adalah salah satu dari yang terpilih. Dia sudah berpikir akan meminjam uang di rumah pinjam. Meski harus membayar berkali-kali lipat di kemudian hari, dia tidak peduli. Itu adalah harga yang harus dibayar demi membuktikan dirinya adalah salah satu dari orang-orang terpilih.
Ketika Musa hendak balik badan untuk menuju rumah pinjam, ketika sebagian besar orang yang punya uang menuju loket penjualan kupon, seorang pria tiba-tiba berteriak:
“Kalian jangan mau dibodohi! Kita semua yang selamat sampai hari ini pasti sudah kebal terhadap virus itu. Sudah berpuluh-puluh tahun sejak wabah terakhir membunuh orang-orang kita. Tubuh kita pasti sudah beradaptasi.”
“Ngawur. Anakku baru saja meninggal,” kata seseorang.
“Anakmu mati karena kurang gizi,” kata seseorang yang berdiri tepat di sebelah si tukang protes.
“Bajingan,” kata pria itu. “Anakku mati karena kami kehabisan stok masker bersih.”
Pria itu maju dan hendak menantang berkelahi si tukang protes dan temannya. Namun pria itu segera mundur ketika ternyata lebih satu lusin orang maju mendampingi si tukang protes. Mereka adalah sisa-sisa dari kelompok yang dulunya menentang penggunaan masker. Setelah kelompok mereka habis disapu wabah, mereka akhirnya sadar bahwa virus itu nyata adanya. Kemudian gerakan mereka berubah dari menentang secara radikal, menjadi menyelidiki dengan rasional. Mereka menemukan celah bahwa wabah ini dimanfaatkan untuk keuntungan segelintir orang.
“Bahkan tanpa masker pun kita tidak akan mati,” kata pria pertama. Lalu pria ini bersama kelompoknya membuka masker yang menempel pada wajahnya. Apa yang dilakukannya diikuti oleh yang lain. Kulit wajah orang-orang itu terlihat belang. Perbedaan warna antara wajahnya yang selalu ditutupi masker dan yang dibiarkan terbuka begitu kontras seperti bagian pantat panci yang selalu dijilati api dan bagian panci yang tak sekalipun terkena lidah api. Melihat kejadian itu semua orang yang berada di sana panik dan lari tunggang-langgang.
Musa dan cucunya termenung menatap peristiwa bersejarah itu.
Beberapa hari setelah kejadian itu, seluruh kelompok pria penentang masker ditemukan mati tanpa sebab yang jelas. Tidak ada luka fisik pada tubuh mereka. Orang-orang lantas menduga mereka terkena wabah. Mayat-mayat mereka kemudian dibakar di lapangan guna mencegah penyebaran.
Kemudian desas-desus tersebar. Ada yang mengatakan bahwa para penentang masker tidak mati karena virus, melainkan mati diracuni oleh para pengiring juru selamat. Gosip itu juga menyebar lebih cepat dari wabah. Orang-orang desa tempat Musa mukim lantas membuka masker yang menutup wajah mereka. Beberapa orang yang mengawali membuka masker ditangkapi. Beberapa diamuk masa dan mati. Beberapa dibiarkan saja.
Seminggu berlalu tidak ada yang mati. Dua minggu berlalu juga tidak ada. Satu bulan berlalu dan hanya beberapa orang mati, tetapi jumlahnya tidak signifikan. Tiga bulan berlalu beberapa orang mati, tetapi tidak cukup menakuti. Akhirnya muncul kesimpulan-kesimpulan bahwa virus yang selama ini membelenggu mereka tidak lagi berbahaya. Entah karena virus itu sudah mati atau tubuh mereka telah kebal, tidak ada kesimpulan pasti. Musa pun ikut-ikutan membuka masker yang menutup wajahnya sejak dia lahir di dunia. Air menetes membelah pipinya ketika untuk pertama kali dalam hidupnya ia keluar rumah tanpa masker. Dihirupnya udara serakus-rakusnya seperti seorang narapidana yang baru saja keluar penjara.
Sejak hari itu tidak terdengar lagi rombongan juru selamat berkeliling dari desa ke desa setelah desa-desa yang mereka singgahi mulai sepi pengunjung. Kemudian terdengar kabar bahwa juru selamat telah mati. Dia mati untuk menebus kesalahan orang-orang yang melepas masker. Dengan mengorbankan nyawanya, juru selamat menanggung beban penggunaan masker seluruh umat manusia, agar manusia bisa hidup bahagia tanpa masker.
Blencong, 2024.
[1] Dalam kitab yang kini telah menjadi lembaran-lembaran rapuh, diceritakanlah suatu masa di mana umat manusia akan berhasil keluar dari zaman kegelapan berkat lahirnya seorang yang nantinya dikenal juru selamat. Terceritalah bahwa juru selamat ini lahir dari rahim seorang perawan. Meski sudah tidak ada lagi yang mampu membaca kitab itu karena para ahli kitab telah habis tersapu wabah, kisah tentang datangnya juru selamat ini dipercaya sebagai kebenaran yang terus diwariskan ke anak-cucu.
[2] Anak ajaib yang disebut-sebut itu lahir dengan selaput tipis menyerupai masker yang menutupi sebagian wajahnya, mulai dari hidung sampai dagu.
[3] Dalam kitab The Origin of Species, yang masih bisa dibaca beberapa orang, meski kurang dipahami artinya, terceritalah bahwa manusia berasal dari kera dan manusia masih akan terus berkembang menjadi bentuk yang lebih istimewa. Lahirnya seorang bayi dengan masker menutup wajahnya dipercaya sebagai penanda keistimewaan itu.
[4] Isra di kemudian hari akan menjadi orang besar yang berhasil membangun peradaban yang tidak kalah besarnya, dan namanya akan dicatat sebagai nama sebuah bangsa. Dia akan menjadi pemimpin pertama dan pemimpin terbesar sepanjang sejarah bangsanya. Dia memerintah bangsanya dengan berpegang kepada sepuluh perintah Musa. Sayangnya, di kemudian hari anak keturunannya malah melupakan sepuluh perintah Musa dan sibuk menimbun kekayaan juga menjajah bangsa lain.
*) Image by istockphoto.com







