KURUNGBUKA.com – Sastra Indonesia mutakhir masih suka ribut-ribut. Kita bisa membedakan ribut yang bermutu atau ribut menimbulkan seribu neraka. Ribut-ribut itu biasanya diketahui di media sosial meski masih ada yang tercantum dalam lembaran koran dan majalah. Mengapa ribut itu “penting” dan selalu ada dalam sastra Indonesia? Yang menjawab pasti bukan Prabowo Subianto atau Sri Mulayani. Dua tokoh itu memiliki banyak pertanyaan sangat besar, yang tidak memungkinkan ikut memberikan pertanyaan dan jawaban dalam sastra.
Bagaimana kalau kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Saut Situmorang dan Goenawan Mohamad agar ada jawaban-jawaban yang makin menggairahkan dalam sastra. Konon, seribu pertanyaan mengenai sastra di Indonesia belum mampu dipikirkan secara jernih. Jawaban-jawabannya masih ada di langit, belum ikut jatuh bersama hujan.
Yang menyenangkan dan menyakitkan memang bertanya. Orang yang membuat pertanyaan-pertanyaan kadang tidak bodoh tapi berlagak menjadi yang “mahatahu” dengan menuntut jawaban kepada orang-orang sampai “benar” atau sesuai keinginannya. Jadi, pertanyaan daam sastra bisa bikin muak dan mencret.
Mengapa kita ruwet dalam pertanyaan? Kita selingi duku dengan membaca beberapa alinea yang tercetak di majalah Tempo, 29 Juni 1985. Penulisnya Bambang Bujono, yang biasa membuat ulasan-ulasan seni rupa. Ia membaca buku dan membuat alinea-alinea agar orang lain ikut tertarik membeli dan membaca buku.
Yang dibaca adalah buku berjudul Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Penulisnya bernama Ajip Rosidi, nama yang “paten” dalam perkembangan sastra Indonesia. Yang menerbitkan buku adalah Gunung Agung, 1985. Padahal, Ajip Rosidi itu sibuk dan membesarkan Pustaka Jaya. Bukunya malah berada di penerbit lain, yang mengingatkan kita dengan kerja perbukuan yang dilakukan Haji Masagung.
Ajip Rosidi membuat judul buku berupa pertanyaan. Ia mungkin sedang kurang ajar atau malah memamerkan keseriusan yang berlebihan. Pembaca seperti diminta memberi jawaban sejak membaca judul. Ajip Rosidi berusaha membuat jawaban tapi pembaca diikutkan agar urun jawaban. Pembaca yang tidak mau menjawab dipastikan tidak berdosa. Buku itu perlu dibaca meski tanpa janji membuat ribut-ribut untuk jawaban yang benar dan argumentasi yang paling matang. Dulu, Ajip Rosidi itu pengarang yang suka ribut-ribut. Bukunya bisa saja diterbitkan agar terjadi pengawetan ribut-ribut dalam sastra Indonesia.
Bambang Bujono menulis: “Tak banyak memang orang yang getol mempersoalkan kapan sastra Indonesia lahir, apa bedanya sastra Melayu dan sastra Indonesia. Ajip Rosidi, sastrawan yang pada usia 17 tahun menjadi pemimpin majalah sastra Prosa, tampaknya menyukai hal-hal semacam itu.” Ajip Rosidi diakui tekun dalam sastra. Konsekuensinya berhak membuat pertanyaan dan mendatangkan jawaban-jawaban agar ada kejelasan dalam sejarah sastra (di) Indonesia.
Bambang Bujono sadar membaca buku yang tipis. Buku tidak utuh. Artinya, buku memuat esai-esai, tidak diniatkan ditulis sebagai kajian panjang dan utuh. Kritik yang disampaikan Bambang Bujono: “Mungkin karena perhatian Ajip Rosidi terlalu luas, 17 artikel dalam buku terasa sebagai artikel ‘secara elang terbang’. Padahal, terasa benar, persoalan yang dikemukakan adalah masalah-masalah yang relevan dengan perkembangan sastra kita. Mungkin karena sebuah artikel atau esai tak cukup bermodal masalah besar. Tapi juga cara atau gaya penulisan jadi ikut menentukan seberapa jauh persoalan di dalamnya menjadi menarik dan seberapa kaya alasannya.” Kita membacanya sebagai saran. Yang meresensi buku punya saran tapi penulis buku belum tentu tahu dan mau.
Puluhan tahun setelah penerbitan buku dan pemuatan resensi, kita belum mengetahui buku sejarah mengenai sastra yang lengkap dan benar. Bagi yang ikut menekuni sejarah sastra di alur kaum peranakan Tionghoa dan pengarang-pengarang Belanda-Indo, penulisan babak-babak awal sastra modern di Indonesia pasti mengandung kerumitan. Yang jelas semanya tidak bermula dari Balai Pustaka atau masa 1920-an. Seru lagi bila penulisan sejarah untuk sastra atau kelahiran sastra memberikan bab untuk sastra dicap “bacaan liar”.
Pada abad XXI, buku Ajip Rosidi itu tidak cetak ulang. Kita yang mau membacanya tetap edisi lama. Ajip Rosidi tidak pernah berjanji menyempurnakan bukunya. Ia tidak memberikan pesan kepada para penerus agar tekun dalam penulisan sejarah sastra. Yang terjadi kini adalah ribut-ribut saja, yang belum tentu bertema sejarah sastra.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







