Dara adalah anak yang malas membaca. Nilai ujiannya buruk, dan tak jarang ia melupakan pekerjaan rumahnya. Ia lebih suka bermain game dan menonton TV sepanjang hari. Setiap detik ia habiskan untuk berbaring di kasur. Ibunya tidak senang akan hal itu. Dara dimarahi oleh ibunya, ia sedih dan memilih untuk pergi ke taman di belakang rumah. Sayangnya, hari itu bukanlah hari yang cerah, hujan datang secara tiba tiba dan membasahi tubuh Dara.
Saat Dara mencari tempat bersembunyi dari hujan, ia tanpa sengaja masuk ke perpustakaan milik kakeknya. Perpustakaan itu tua dan kotor.Debu di mana-mana. Dara penasaran akan buku-buku yang tertata di rak. Ia terus masuk ke bagian dalam perpustakaan. Di sana, ia menemukan sebuah buku tebal berdebu bertuliskan “Jangan Dibuka Kalau Tidak Ingin Belajar!”
Penasaran, Dara membuka buku itu. Tiba tiba, ada cahaya yang keluar dan
“Halo!”
Boom! Buku itu berbicara! Dara terkejut dan segera melempar buku itu ke tanah.
“Aduh! Jangan kasar begitu dong!” Suara itu terdengar dari buku yang kini tergeletak terbuka. Dara menatapnya dengan mulut ternganga. Buku itu, benar-benar berbicara.
“Siapa kamu?!” Tanya Dara gugup sambil mundur perlahan.
“Aku Buku Si Pintar! Kamu bisa panggil aku Pintar. Aku sudah tidur lama sekali di rak itu sampai kamu membangunkanku. Terima kasih, ya,” jawab buku itu dengan suara ramah dan lucu.
“B-buku bisa bicara? Ini pasti mimpi!”
“Bukan mimpi. Tapi, kalau kamu tidak percaya, ayo ikut aku sebentar.” Sebelum Dara bisa menolak, halaman-halaman buku itu berputar sendiri, menciptakan pusaran cahaya yang semakin besar.
“Tunggu! Aku belum—”
Zzzrrpp! Dara tersedot masuk ke dalam buku. Dalam sekejap, ia berada di tempat yang sama sekali berbeda.
Ia berdiri di tengah padang luas penuh angka yang berjalan sendiri. Ada angka 5 yang melompat-lompat seperti kelinci, angka 3 yang tidur di bawah pohon, dan angka 9 yang sedang membentuk barisan seperti prajurit.
“Selamat datang di Kerajaan Matematika!” seru Pintar, kini muncul di udara seperti hologram. “Di sini, semua angka hidup dan punya tugas masing-masing. Kamu harus menyelesaikan teka-teki agar bisa ke tempat berikutnya.”
Dara mengerutkan kening. Ia tidak suka matematika. Tapi saat angka-angka mulai mengajaknya bermain teka-teki dengan cara seru, ia mulai menikmatinya. Ia harus membantu angka-angka menemukan urutan yang benar untuk menyelamatkan sang Ratu Perkalian dari jebakan labirin.
Butuh waktu dan berpikir keras, tapi Dara berhasil. Saat teka-teki terakhir selesai, seluruh angka bersorak dan memberi Dara sebuah medali berbentuk simbol ∞ (tak terhingga).
“Selamat, Dara! Kamu lulus tantangan pertama,” seru Ratu Perkalian sambil tersenyum bangga. “Kamu telah membuktikan bahwa dengan kemauan dan kerja sama, bahkan matematika pun bisa menyenangkan.”
Dara memegang medali itu erat-erat. Untuk pertama kalinya, ia merasa bangga karena bisa memecahkan soal matematika. Tapi ia belum lupa bahwa ia masih berada di dalam buku.
“Pintar, bagaimana cara aku keluar dari sini?” tanyanya.
“Perjalananmu belum selesai, Dara. Dunia pengetahuan itu luas. Masih banyak yang harus kamu pelajari sebelum kembali,” jawab Pintar.
Tiba-tiba, dunia di sekeliling Dara mulai kabur. Angin kencang berhembus, dan angka-angka berterbangan seperti daun kering. Sekali lagi, pusaran cahaya terbentuk dan menyedot Dara.
Ketika ia membuka mata, Dara kini berada di hutan lebat. Tapi bukan hutan biasa. Daun-daunnya berbentuk huruf, dan dahan pohon-pohon melengkung membentuk kata-kata. Seekor burung beterbangan sambil berkata, “Ka-ta ka-ta ka-ta.”
“Selamat datang di Hutan Huruf Hidup,” ucap Pintar dari balik semak-semak yang terdiri dari kalimat panjang. “Di sini, kamu akan belajar tentang bahasa. Tapi hati-hati, jika kamu salah mengeja, kamu bisa tersesat!”
Dara menelan ludah. Ia tidak pandai mengeja. Tapi petualangan membuatnya penasaran. Ia pun berjalan menyusuri hutan dan bertemu dengan sekelompok anak kucing yang kehilangan cerita mereka.
“Kisah kami hilang! Semua kalimatnya kacau!” rengek mereka.
Dara membantu mereka menyusun ulang cerita dengan kata-kata yang ia temukan di sepanjang jalan. Beberapa kata bersembunyi di balik rima, ada pula yang hanya muncul jika ia bisa membuat kalimat puisi. Semakin jauh ia masuk ke dalam cerita, semakin ia belajar tentang diksi, kalimat utama, hingga makna tersirat.
Akhirnya, ketika cerita itu selesai tersusun, hutan itu berubah. Pohon-pohon menyala seperti lampu neon, dan huruf-huruf beterbangan membentuk pelangi. “Terima kasih, Dara,” kata anak kucing. “Sekarang cerita kami bisa dibacakan lagi.”
Sekali lagi, Pintar muncul. “Pelajaran kedua selesai. Ayo kita lanjut.”
Dalam sekejap, Dara kini berada di laboratorium luar angkasa, di mana para ilmuwan ternyata adalah hewan-hewan dari berbagai planet. Seekor burung hantu dengan jas lab menyambutnya. “Aku Profesor Biologi dari Planet Flora,” katanya. “Kami sedang mempelajari proses fotosintesis menggunakan sinar bintang. Mau membantu?”
Dara mengangguk. Ia penasaran. Ia membantu menyusun rangkaian eksperimen sederhana, mendengarkan penjelasan tentang tumbuhan, air, cahaya, dan energi. Meski awalnya sulit, ia perlahan paham. Bahkan ia berhasil menciptakan miniatur ekosistem sendiri dalam tabung kaca.
Setelah itu, ia diajak ke Planet Fisika, di mana gravitasi bisa diatur sesuai keinginan. Di sana, ia bermain dengan bola melayang dan mengenal hukum Newton secara langsung, bukan dari buku, tapi dari pengalaman.
Di Planet Kimia, ia mencampur zat berwarna dan membuat kristal berbentuk bintang. Sementara di Planet Ekologi, ia menyelamatkan sungai dari limbah beracun dan belajar tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Semua pengalaman itu membuat matanya terbuka. Belajar ternyata bukan hanya soal menghafal, tapi mengalami.
“Dara,” kata Pintar ketika mereka berada di ruang hampa berisi semua bintang pengetahuan. “Apakah kamu siap pulang?”
Dara terdiam. Ia menatap langit penuh bintang yang masing-masing bersinar dengan ilmu yang berbeda.
“Masih banyak yang ingin aku pelajari. Tapi, aku juga ingin pulang,” katanya lirih. “Aku ingin membagikan semua ini ke teman-temanku. Aku ingin menunjukkan bahwa belajar bisa seseru ini.”
“Jawaban yang bagus,” jawab Pintar. “Itu berarti kamu telah mengerti pelajarannya: belajar bukan kewajiban, tapi petualangan tanpa akhir.”
Dengan senyum terakhir dari Pintar, Dara kembali tersedot ke dalam cahaya.Ia terbangun di perpustakaan tua kakeknya. Hujan sudah reda. Di tangannya, buku tebal itu masih terbuka, namun kini tak lagi bersinar. Hanya halaman kosong yang tersisa, seakan seluruh petualangan itu hanya imajinasi.
Tapi Dara tahu, itu nyata. Ia bangkit, membersihkan tubuhnya yang masih sedikit basah, dan membawa buku itu pulang.
Sejak hari itu, Dara berubah. Ia bukan lagi anak yang malas membaca. Ia rajin ke perpustakaan, membaca segala jenis buku, dan mulai membantu teman-temannya belajar dengan cerita-cerita yang membuat semua tertawa dan berpikir.
Ibunya terkejut melihat nilai-nilainya meningkat. Tapi yang paling mengejutkan, Dara kini sering berkata, “Ayo belajar! Siapa tahu, kita masuk dunia ajaib lagi!”
Dan dari rak paling atas, Buku Si Pintar tersenyum. Petualangan Dara mungkin telah berakhir, tapi kisah baru sedang menunggu halaman selanjutnya.
*) Image by istockphoto.com