KURUNGBUKA.com – Di negeri yang senewen, menteri mengurusi puisi. Bagaimana hari-harinya yang sibuk masih bisa membuat keputusan resmi untuk puisi? Menteri itu memang sudah sejak dulu dikenal akrab dengan sastra. Pada suatu masa, ia malah ikut menggerakkan majalah Horison, majalah sastra yang dianggap bergensi. Beberapa kali publik membaca esai-esainya. Namun, yang patut dipuji adalah usahanya membuat perpustakaan dengan beragam koleksi yang bikin iri dan ngiler.

Lembaran kertas yang mendapatkan tanda tangan dan stempel berhasil meresmikan Hari Puisi. Yang suka berdebat kadang ingin melengkapinya dengan pilihan istilah berbeda: Nasional atau Indonesia. Kita jangan merasa menganggur sehingga ikut berdebat. Pada beberapa hari yang lalu memang sempat ada yang membedakan mutu dan gengsi untuk Hari Puisi Nasional atau Hari Puisi Indonesia.

Menteri dan puisi di negeri yang terlalu banyak hari peringatan. Bagaimana sikap kita dengan adanya Hari Sastra, Hari Buku, Hari Puisi, Hari Pantun, dan lain-lain? Penguasa negeri ini jika mau boleh mengubah kalender. Setahun ada seribu hari. Yang 900 hari usahakan adalah hari-hari peringatan. Maka, penduduk akan kelelahan dan klenger akibat kelelahan dengan hari peringatan.

Yang tidak merasa mementingkan menteri atau Hari Puisi sebaiknya membaca tulisan dalam majalah Hai, 23 Oktober 1984. Tulisan sehalaman saja, Foto yang dipasang itu sangar. Sosok berambut gondrong dan sedang merokok bernama Sutardji Calzoum Bachri. Iadalah orang yang lebih mengerti puisi ketimbang seratus menteri di Indonesia, dari masa ke masa.

Tulisan dibuat dari hasil omong-omong. Pernyataan-pernyataan yang dikutip menyegarkan meski kadang-kadang basi. Jadi, sekarang kita berurusan puisi bersama Sutardji Calzoum Bachri, bukan bersama kebijakan pemerintah.

“Waktu kecil, saya ingin meniru abang saya yang suka membuat pantun,” kata Sutardji. Siapa nama abangnya? Kita tidak tahu. Artinya, yang memberi pengaruh kepada Sutardji adalah abangnya, sebelum Chairil Anwar atau siapa saja. Yang dibuatnya adalah pantun. Kita pun ingat pantun diajarkan sejak SD. Ada beberapa pantun yang masih kita ingat gara-gara guru gagal mendapat beragam contoh pantun. Yang diajarkan hanyalah yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya, Sutardji tidak menjadi “raja pantun” atau “bapak pantun” di Indonesia. Ia justru disibukkan dengan mantra saat dewasa.

Sejak masa 1970-an, ia memang menggegerkan sastra Indonesia dengan puisi-puisi yang unik. Kita simak dulu pengakuannya: “Saya tidak puas melihat puisi-puisi yang ada. Saya heran, puisi yang menurut saya begitu jelek mendapatkan banyak pujian. Saya bukan sombong. Saya hanya percaya pada kemampuan diri sendiri. Menurut saya, saya bisa membuat puisi yang sepuluh kali lebih baik dibanding dengan puisi-puisi yang dipuji-puji itu. Saya mulai mempublikasikan puisi.” Yang masih membingungkan, Sutardji menyerang puisi-puisi gubahan siapa-siapa?

Yang mencuat memang puisi-puisi gubahan Sutardji Calzoum Bachri. Para kritikus dan pengamat sastra berpolemik. Ada yang membelanya. Ada yang menyerangnya. Puisi ternyata memungkinkan pertengkaran, sengketa, dan perselisihan yang terdokumentasi selama puluhan tahun.

Sutardji Calzoum Bachri juga dikenal sebagai redaktur di majalah Horison. Yang diungkapkan: “Kalau di Horison, saya kerja lebih karena saya ingin berperan dalam pembinaan perpuisian di Indonesia.” Kalimat ini jelas mengandung “kesombongan”. Buktinya, ia menggunakan istilah “pembinaan”, yang sangat sering digunakan penguasa atau para pejabat masa Orde Baru. Apakah ia sudah terpengaruhi doktrin-doktrin rezim Soeharto? Konon, ia mampu membuat puisi-puisi yang apik tapi belum bisa mengganti atau menghindari istilah “pembinaan”.

Kita sampai pada pernyataan-pernyataannya yang mirip di mimbar agama: “Kesenian adalah karya manusia, karya yang indah. Meremehkan karya manusia berarti meremehkan manusia. Dan, yang meremehkan manusia adalah iblis.” Cermatilah tafsirnya bersumber kitab suci. Pada saat omong-omong puisi, ia sampai menyebut iblis. Maka, yang terbaik adalah Sutardji Calzoum Bachri mengadakan “pembinaan” kepada para iblis agar menggemari puisi. Kita menyesalkan Sutardji Calzoum Bachri seperti terpengaruh Golkar masa 1980-an. Buktinya, ia keseringan menggunakan istilah “karya”. Padalah, yang paling terkenal pada masa lalu adalah Golongan Karya.

Kini, Sutardji Calzoum Bachri sudah sepuh. Ia pasti memiliki pernyataan-pernyataan yang berbeda dari masa 1980-an. Usia mungkin berpengaruh. Berkurangnya kekuatan dalam menggubah puisi atau memikirkan sastra di Indonesia juga membuatnya tidak harus cerewet dan menggebu-gebu lagi seperti dulu.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<