“Mama ayo kita ke Dufan!” rengek Dean pagi ini.
Hari ini masih pukul 06.30 pagi. Dean sudah merengek meminta agar Mama dan Papa menyetujui keinginannya untuk pergi ke Dufan pada liburan kenaikan kelas nanti. Dean masih duduk di kelas 3 sekolah dasar. Cantik rupanya. Akan tetapi, jika sudah mulai merengek, wajahnya akan terlihat menggembung seperti ikan fugu.
Suatu malam, saat sedang makan malam, “Dean masih tertarik mengunjungi Dufan?” tanya Papa.
Tentu saja Dean langsung mengangguk dengan semangat. Ekspresi wajahnya terlihat bersinar seperti rembulan.
“Mama dan Papa akan dengan senang hati mengajak Dean pergi ke Dufan dengan satu syarat,” ucap Mama.
“Apa syaratnya, Ma? Dean akan melakukanya,” jawab Dean antusias.
Mama tersenyum, kemudian menjawab, “Kita akan pergi ke Dufan kalau Dean mendapat peringkat satu di kelas.”
Tentu saja Dean terkejut dengan syarat tersebut. Bayangkan saja, biasanya mendapat peringkat lima belas di kelas saja ia sudah merasa lega. Kini ia harus mendapat peringkat satu di kelas jika ingin mengunjungi Dufan, tempat yang didambakannya semenjak kecil.
“Bagaimana? Dean sanggup, kan?” tanya Papa dengan nada menggoda.
Dean terdiam. Ia sibuk berpikir bagaimana caranya mendapat peringkat satu di kelas. Saat ini masih awal semester dua. Jika rajin belajar, ia pasti bisa mendapat peringkat satu di kelas. Tekadnya sudah bulat. Ia ingin sekali pergi ke Dufan. Tawaran ini sangat menarik bagi Dean. Ia juga merasa tertantang. Nanti ia pasti akan merasa bangga saat cerita pada kawan-kawannya karena liburannya ke Dufan adalah hasil dari kerja keras dan belajarnya selama semester dua ini.
***
Esoknya, ketika istirahat, Dean tidak ke kantin seperti biasanya. Ia mengeluarkan kotak bekal dari tasnya lalu membukanya. Kemudian tersenyum senang karena Mama membawakannya nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi, makanan kesukaannya. Dean berjalan mendekati Billie, si bintang kelas yang juga sedang menikmati bekal. Dean duduk di samping Billie.
“Hai, Bill! Boleh tidak aku duduk di sini untuk makan bekal bersamamu?” tanya Dean.
Tentu saja Billie mengangguk. Ia tersenyum senang.
Tiba-tiba saja Jen masuk. “Dean, ayo kita jajan ke kantin, nanti makannya di taman! Teman-teman sudah menunggumu. Kau lama sekali!” Jen terdengar jengkel.
“Jen makan saja dulu bersama teman-teman. Aku mulai sekarang bawa bekal. Aku ingin belajar bersama Bill selama istirahat sambil memakan bekal. Aku baru sadar kalau nilai-nilaku semakin jelek,” jawab Dean, santai.
Tentu saja Jen terkejut. Dean yang biasanya paling menantikan lonceng istirahat agar bisa jajan di kantin dan memakannya sambil bercerita bersamanya dan kawan-kawan lainnya, tiba-tiba memutuskan membawa bekal dan memakannya di kelas bersama Billie, si bintang kelas yang tidak terlalu disukai kawan-kawannya. Kemudian Jen tertawa.
“Dean, apa aku tidak salah dengar? Kau ingin memakan bekal bersama si Billie anak sombong ini?” ucap Jen dengan nada tidak suka. Billie menunduk sedih.
“Jen bisakah kau menjaga perkataanmu! Bill anak baik. Ia tidak sombong seperti kata teman-teman yang lain. Ia ingin berbaur dengan kita. Hanya saja, ia tidak pintar bergaul, Jen.”
“Bill? Itukah panggilan kesayangan untuk teman barumu?! Aku membencimu, Dean. Kau anak aneh!” Jen lalu berjalan keluar. Tentu saja dia marah.
Billie menatap Dean. “Dean maafkan aku. Aku akan mengajarimu pelajaran-pelajaran yang tidak kau kuasai. Mungkin kita bisa belajar bersama,” ucap Billie riang.
Tentu saja Dean menyambut dengan senang ide itu. Pasti sangat menyenangkan belajar bersama Billie.
***
Dean tiba di rumah. Dean berteriak mencari Mama, kemudian menyampaikan idenya dengan Billie. Tentu saja Mama merasa sangat senang. Billie akan datang ke rumah Dean pukul 15.00 nanti. Dean sudah mempersiapkan semuanya dengan baik
Billie akhirnya sampai di rumah Dean. Disambut hangat oleh Dean bersama mama dan papanya, karena kebetulan papanya tengah libur bekerja hari ini. Dean mengajak Billie masuk ke kamar.
“Bill, apa yang akan kita pelajari hari ini? Aku sudah tidak sabar,” tanya Dean, semangat.
“Sabar Dean, hari ini kita akan belajar matematika,” jawab Billie, riang. Ia merasa gemas dengan perilaku teman barunya. Ekspresi Dean tampak murung. Tentu saja karena ia membenci matematika.
***
Esoknya, Billie dan Dean mendapat masalah. Jen memberitahu kawan-kawan agar menjauhi Billie dan Dean. Billie merasa bersalah pada Dean karena menurut Billie, ia adalah sumber masalah yang menimpa Dean. Berkali-kali Billie meminta maaf pada Dean, berkali-kali Dean mengatakan bahwa itu bukan salah Billie.
“Bill jangan khawatir, itu bukan kesalahanmu. Jangan hiraukan mereka. Jika ada masalah menimpamu katakan saja padaku,” ucap Dean. Bill mengangguk tersenyum. Ia memeluk Dean, merasa bersyukur memiliki sahabat sebaik Dean.
Hari ini adalah hari pertama ulangan kenaikan kelas. Dean sudah belajar tadi malam. Masalah dengan Jen sudah usai. Jen sudah bosan memusuhi Dean, sahabat karibnya sejak kecil. Sekarang Jen selalu bersama Dean dan Billie. Selalu bersama ke mana pun mereka pergi. Bahkan, Jen juga ikut belajar bersama. Mereka bertiga mengerjakan ulangan kenaikan kelas.
***
Hari ini Dean, Billie, dan Jen akan menerima hasil belajarnya selama satu tahun. Dean sudah tidak sabar untuk mengetahuinya. Ia yakin pasti mendapat peringkat satu lalu akan berangkat liburan ke Dufan. Astaga! Membayangkannya saja sudah membuat Dean merasa senang.
Mama keluar dari kelas. Ekspresinya terlihat datar. Lalu Mama menggandeng Dean pulang. Dean merasa ada yang tidak beres. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa takut.
“Hari ini kita tidak makan di rumah. Mama tidak masak. Malas,” ucap Mama.
Dean sedari pulang sekolah diam di kamar. Belum melihat hasil belajarnya sama sekali. Mama Dean juga tidak mengatakan apa pun dari tadi. Papa pulang. Kemudian sore itu mereka pergi keluar untuk makan malam.
“Ini hasil belajarmu, Dean.” Mama menyodorkan hasil belajar Dean selama setahunan ini.
Dean membukanya, jantungnya berdegup kencang. Nilainya jauh lebih baik dibanding semester lalu. Hatinya bergejolak.
“Dean mendapat peringkat tiga di kelas,” ucap Mama datar.
Bagaikan jatuh dari angkasa rasanya. Tadinya ia sudah merasa senang sekali saat melihat nilainya yang bagus, rasanya bagai terbang ke angkasa. Ketika mendengar Mama mengatakan itu, Dean merasa sedih sekali mendengarnya. Dean menangis lalu memeluk papanya yang sedari tadi hanya diam.
“Dean jangan menangis. Meski Dean belum bisa mendapat peringkat satu di kelas, Mama dan Papa sudah merasa bangga. Lihat saja nilai matematika Dean, 95! Sempurna sekali! Padahal, biasanya Dean tidak pernah tuntas dalam pelajaran matematika.” Mama tersenyum sambil menunjukkan hasil belajar Dean selama setahunan ini kepada Papa dan Dean. Dean menatap nilainya. Mencermati kembali satu per satu.
“Besok lusa kita akan berangkat ke Dufan, sayang. Persiapkan barang bawaanmu!” ucap Papa, hangat.
Dean yang tadinya menangis jadi tertawa. Dean merasa sangat bahagia karena ia akan pergi ke tempat yang didambakannya, yaitu Dufan. Dean merasa semakin bangga karena dirinya mendapatkan hasil tersebut dengan kerja keras. Ia merasa berterima kasih kepada Billie yang telah membantunya belajar dan Jen yang telah memberinya semangat. Dalam hati, Mama dan Papa merasa sangat bangga kepada Dean. Mereka kagum akan usaha Dean. Mama dan Papa juga senang karena Dean sekarang jadi rajin belajar.
Diam-diam Dean berjanji pada dirinya, mulai sekarang ia akan rajin belajar. Lalu bagaimana dengan Jen dan Billie? Billie tentu saja berada di peringkat satu. Jen berada di peringkat lima. Ia merasa sangat bahagia.[]