Malam ini, tanah di bawah kakiku mengeluarkan bau lembap yang tebal, campuran antara darah kering yang menua bersama akar-akar lapuk. Seperti napas makhluk yang baru saja bangun dari tidur panjangnya. Setiap kali aku menghirupnya, ada rasa getir manis di tenggorokan. Aku seolah menelan rahasia, amarah, sekaligus kasih sayang. Setiap embusan angin terasa seperti desahan perut bumi yang lapar. Dalam diam, tanah itu bergeser pelan, mengendus-endus kakiku, lalu membuka diri seperti ingin menelan seluruh tubuhku dengan tenang.
***
Tujuh tahun lalu, saat usianya genap enam puluh tiga, Kakek Danang menanam tujuh bibit bunga seolah ingin menggenapkan sesuatu. Pagi itu matahari tampak pucat, dan embun di pucuk daun seperti menahan napas. Dengan langkah tegap dan tangan yang sabar, Kakek menanam satu per satu bibit itu di tanah belakang rumah: lili, mawar, melati, lavender, matahari, sedap malam, dan widuri. Setelah selesai, ia menatap kami bertujuh dengan senyum yang samar, seperti seseorang yang baru saja menandatangani perjanjian rahasia dengan bumi.
“Bibit-bibit ini akan Kakek bagikan pada kalian menjelang usiaku yang ketujuh puluh tahun,” katanya.
Kami menertawakannya, bukan karena meremehkan melainkan mengira itu hanya gurauan orang tua yang terlalu mencintai tanah. Namun di wajah Kakek ada sesuatu yang membuat kami diam, sebuah keyakinan yang seolah tidak berasal dari dunia ini. Aku pernah menanyakan dari mana datangnya kepastian itu. Ia menjawab ringan, seolah menceritakan hal paling biasa di dunia, “Tujuh bunga itu yang membisikkan padaku.”
Aku tertawa setengah tak percaya, tapi di dalam tawaku ada rasa dingin yang tak bisa dijelaskan.
Kakekku selalu tampak seperti kakek biasa. Ia memakai kaus tipis, celana panjang, dan sandal jepit. Namun di balik kesederhanaannya, ada keanehan yang tak bisa disembunyikan. Setelah pensiun, ia tak lagi betah di dalam rumah. Setiap hari berkebun dari subuh hingga senja. Kadang aku memergokinya berbicara pelan pada daun-daun atau kelopak yang baru tumbuh, seolah sedang menenangkan anak kecil yang menangis. Kadang, suara tawa halusnya terdengar dari kebun tanpa ada siapa pun di sana.
Burung-burung selalu datang menghampiri, hinggap di bahunya seperti sahabat lama. Kupu-kupu menari di atas kepalanya, lebah membuat sarang lalu pergi meninggalkan madu yang paling jernih. Kucing dan anjing mengikuti ke mana pun ia pergi, seakan takut dunia akan hening tanpanya. Tidak ada tanaman yang mati di tangannya. Bibit kering pun akan bersemi, seolah tersentuh berkah yang tak tampak. Dalam pikiranku yang kanak-kanak, Kakek adalah peri hutan yang tersesat di perkampungan manusia.
Bagiku dan keenam sepupuku, Kakek adalah rumah. Tempat kami pulang ketika ayah dan ibu sibuk mempersiapkan kami menjadi “masa depan”. Orang tua kami mendidik kami sebagai investasi. Hanya Kakek yang memberi jalan kami menjadi diri sendiri. Seandainya kami bisa memilih, tentu kami ingin hidup bersama Kakek.
Aku masih ingat ketika suatu sore saat aku pulang ke rumah Kakek karena dimarahi Ayah, ia hanya berkata, “Kalau hujan begini, bunga tak patah. Ia merasa diingat.”
Aku baru mengerti kalimat itu beberapa tahun kemudian.
Tujuh puluh hari sebelum ulang tahunnya yang ketujuh puluh, Kakek memanggil kami semua. Lima anak dan tujuh cucu. Suaranya serak tapi masih memantul di dinding rumah seperti gema lama. “Cucu-cucuku,” katanya sambil mengelus perutnya yang tampak kurus dan berdenyut halus, “tujuh puluh hari lagi Kakek akan berulang tahun. Kakek ingin membagikan hadiah istimewa pada kalian.”
Kami bersorak kegirangan, sementara para orang tua mulai berbisik-bisik seperti kawanan burung yang gelisah. Mereka membayangkan rumah, mobil, perabotan, dan perhiasan. Kakek memang berkecukupan, sedangkan nasib anak-anaknya tak semuanya mujur. Ayahku sering mengeluh bahwa Kakek terlalu keras. Kakek selalu berkata, “Berdirilah di atas kakimu sendiri.” Kalimat itu membuat Ayah menggeram dan Ibu berdecak kesal, seolah nasihat bisa menumbuhkan uang.
“Coba lihat ke sana,” kata Kakek sambil menunjuk kebun. Kami menoleh serentak. Ratusan bunga bermekaran dalam berbagai warna dan aroma. “Pilihlah satu jenis bunga yang kalian sukai dari tujuh bunga di sudut kebun itu. Setiap bunga menyimpan hadiah yang sama istimewanya.” Tujuh bunga yang dimaksud adalah bibit yang ditanam Kakek tujuh tahun lalu.
Suasana yang semula riuh mendadak menjadi hening. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah desir angin di sela kelopak. Kakek berdiri tenang, matanya menatap kami satu per satu.
“Tapi aku laki-laki, Kek. Tak pantas memelihara bunga,” protes Dika, cucu pertama.
“Kau tak mau hadiah di baliknya?” tanya Kakek lembut.
Dika mengangkat bahu, lalu menunjuk bunga yang tampak paling berharga. “Lili.”
Satu per satu kami menyebutkan pilihan. Ana memilih mawar, Darla memilih melati, Mona bunga matahari, Rani lavender, Anya sedap malam. Aku menunggu sampai nama terakhir dipanggil. Aku mendapatkan yang tersisa: widuri. Bunga yang hampir tidak pernah dilihat, keras, getir, tapi indah dengan caranya sendiri. Sedikitnya seperti diriku.
Seperti disengat ribuan lebah, aku akhirnya mengerti mengapa dari ratusan bunga, hanya tujuh bunga itu yang dipilih Kakek. Ternyata bunga-bunga ini bukan sekadar tanaman, mereka adalah bayangan halus dari diri kami. Pantulan yang hanya bisa dibaca oleh seseorang yang benar-benar mencintai.
Dika, cucu pertama sekaligus anak pertama, selalu ditempa menjadi yang paling hebat. Dalam dirinya tumbuh rasa ingin diakui, keanggunan yang dipaksakan untuk menutupi kesepian. Ia mirip bunga lili yang tampak tegar namun rapuh di dalam. Ana yang cantik seperti mawar, dibesarkan untuk selalu sempurna. Ia membawa durinya sendiri agar bertahan. Darla yang lembut dan pelan, sering tidak didengar. Ia seperti melati, wangi dalam kesunyian, indah tanpa pernah menuntut dilihat. Rani yang pendiam tapi berani, adalah lavender yang tenang dan tegak. Ia menyimpan kekuatan di dalam keheningannya. Mona yang selalu diminta ceria, bersinar seperti bunga matahari. Ia tampak kuat, selalu menoleh ke arah cahaya, tetapi diam-diam letih karena harus mengikuti terang yang bukan miliknya sendiri. Anya, anak semata wayang yang harus selalu tampak kuat, mengingatkanku pada sedap malam. Ia mekar justru ketika gelap, hanya bisa menjadi dirinya saat dunia terlelap. Dan aku… aku adalah widuri. Getir, keras, dan jujur. Anak yang tumbuh dari luka, tapi tetap memilih berbunga.
“Datanglah tujuh puluh hari lagi,” kata Kakek, “dan persembahkan kado untuk Kakek dari bunga-bunga itu. Kado itu akan Kakek tukar dengan hadiah.”
Kami bersorak lagi, tapi kali ini ada sesuatu yang berat di udara. Mungkin karena matahari tiba-tiba tertutup awan, atau karena aroma bunga widuri yang samar-samar di ujung hidungku. Aku menatap bunga itu lama sekali, seolah ia memandangi balik dengan mata yang belum sempat mekar menunggu sesuatu yang tak seorang pun tahu.
***
Persembahan untuk Kakek bukan lagi urusan cinta cucu kepada kakek, melainkan ajang pembuktian anak-anak kepada ayahnya. Kami, para cucu, hanya bayangan kecil di pinggir gelanggang. Para orang tua sibuk memamerkan bakti lewat benda-benda yang bahkan belum mereka miliki. Dalam bisikan, mereka menyebut rumah, mobil, perhiasan, atau apapun yang dapat menebus jarak antara kesuksesan dan kegagalan. Mereka percaya, hadiah terbesar Kakek tersembunyi di balik bunga-bunga itu, seperti emas yang dikubur di bawah akar.
Hari demi hari berlalu, dan aku masih menatap bunga widuri tanpa tahu harus berbuat apa. Semakin lama aku memandangnya, semakin aku merasa bunga itu bukan sekadar tanaman, melainkan sesuatu yang hidup dengan pikirannya sendiri. Setiap kali aku mendekat, batangnya seolah menegang. Aku bahkan seperti dapat melihat getah putih di dalamnya, seperti urat nadi yang berdenyut. Kelopaknya seperti mahkota lilin, pucat dan licin, tampak kokoh sekaligus rapuh oleh sesuatu yang tak bisa dinamai.
Sore itu, Bi Idah datang mengetuk pagar. Tubuhnya bungkuk, kakinya menyeret seperti menyapu tanah. Ia berhenti di depan kebunku, menatap bunga widuri yang tumbuh di pot tanah liat.
“Neng, boleh Bibi minta bunganya?” tanyanya lirih, hampir seperti permohonan.
“Boleh, Bi. Tapi buat apa?”
Bi Idah mengangkat wajahnya, dan di matanya ada pantulan cahaya yang aneh. “Bunga widuri bisa menyembuhkan luka dan menenangkan orang yang hampir mati, asal diperlakukan dengan benar,” katanya, “tapi kalau salah langkah, bisa sebaliknya.”
Aku terdiam. Kata-katanya menggantung di udara seperti kabut dupa.
“Getahnya jangan disentuh tangan,” tambahnya cepat, “beracun.”
Setelah Bi Idah pergi, aku duduk di samping pot itu. Aroma bunga widuri tercium kuat, seperti campuran antara madu dan logam, antara hidup dan busuk. Aku menatap kelopaknya yang berwarna ungu keputihan, bergetar lembut seperti bibir yang menahan kata. Dalam cahaya sore, bunga itu tampak memantulkan bayanganku di permukaannya. Bayangan yang tidak sepenuhnya milikku.
Perlahan tumbuh dorongan lembut dalam diriku untuk membuat sesuatu dari bunga ini untuk Kakek. Bukan untuk menyaingi siapa pun, bukan pula untuk hadiah. Hanya agar Kakek tahu, aku memahami bahasa bunga-bunga yang dulu membisiki janjinya.
Malamnya, aku memetik tiga kuntum widuri dengan sarung tangan plastik. Getahnya menetes perlahan, jatuh ke lantai seperti air mata susu. Aku menaruh bunga-bunga itu di atas nampan logam. Di sela keheningan, bunga-bunga itu tampak bernafas, mengembang dan mengempis seperti dada yang menahan bisikan. Saat kelopak terakhir kugunting, sesuatu yang lembut menjilat udara. Aku tidak tahu, apakah itu aroma racun atau harapan, atau keduanya yang menyamar dalam wangi yang sama.
***
Kakek berdiri di ambang pintu, menyambut kami satu per satu. Tubuhnya tampak renta, tapi matanya jernih seperti permukaan air yang menyimpan langit. Setiap kali disalami, Kakek menatap lama, seolah sedang membaca sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang akan pergi. Dari dalam rumah, tercium wangi masakan bercampur mawar dan kayu manis.
Kami duduk mengelilingi Kakek di ruang tengah. Ia di kursi goyangnya, kursi yang sejak dulu seperti tak dapat diduduki siapa pun. Hadiah-hadiah memenuhi meja. Kotak berwarna keemasan, botol kaca, bunga-bunga yang dirangkai, wangi-wangian yang menumpuk seperti doa-doa yang ingin diterima.
“Cucu-cucuku,” suara Kakek berat tapi hangat, “Kakek menantikan kado kalian.”
Udara di ruangan seolah menebal. Dika maju lebih dulu, membawa kotak kecil. Di dalamnya ada jam tangan berkilau.
“Aku menjual lili-lili dari kebun Kakek,” katanya dengan bangga. “Uangnya kubelikan ini.”
Kakek tersenyum, bukan pada jamnya, tapi pada nada di suara Dika yang muda dan penuh kemenangan.
Ana menunjukkan rangkaian mawar yang ia taruh di setiap sudut rumah. Darla menyuguhkan secangkir teh melati. Mona membawa kuaci dari biji bunga matahari. Rani mempersembahkan minyak aromaterapi dari lavender. Anya mengeluarkan parfum beraroma bunga sedap malam.
Semuanya harum dan manis. Kakek menerima tiap hadiah dengan anggukan lembut, seperti tanah yang menampung benih tanpa bertanya dari mana asalnya.
Saat giliranku tiba, aku maju pelan. Keringat dingin mengalir di punggung, tapi bukan karena takut. Ada perasaan lain, semacam ketenangan yang aneh, seperti daun yang berhenti bergetar ketika angin reda.
“Kakek,” kataku, “aku ingin memberikan sesuatu yang mungkin membuat tubuh Kakek lebih ringan. Bolehkah kuoleskan sebuah obat di perut Kakek?”
Kakek mengangguk. Aku membuka kaus di perutnya dengan hati-hati. Dari dalam tas, kuambil dua wadah kecil. Satu berisi daun widuri yang telah kulayukan di atas api, satu lagi berisi tumbukan akar yang dicampur tepung beras. Aku oleskan perlahan di perut dan di kaki Kakek. Daun widuri menempel lembut di kulitnya, dingin tapi hangat di waktu yang sama.
Kakek memejamkan mata, napasnya teratur. Wajahnya tampak teduh, seperti orang yang akhirnya tiba di rumah setelah perjalanan jauh. Entah kenapa, saat itu aku merasakan bumi di bawah seolah merentangkan tangannya, hendak memeluk Kakek.
“Terima kasih, cucu-cucuku,” ujarnya lirih. “Kalian telah mengolah bunga-bunga itu menjadi kehidupan.”
Hening. Hanya bunyi kursi goyang yang masih berderit pelan.
Lalu Dika bersuara, “Lalu… hadiah istimewanya, Kek? Bukankah Kakek menjanjikan sesuatu?”
Kakek membuka matanya perlahan. Tatapannya lembut, nyaris seperti cahaya yang menembus kabut.
“Hadiah itu… sudah mendekat,” jawabnya tenang. “Nah, sekarang biarkan Kakek beristirahat.”
Setelah itu, tak ada yang berani menyahut meski anak dan mantu menahan kesal. Mereka membiarkan Kakek tertidur. Kakek terlelap dalam senyum panjang, wajahnya damai seperti bunga yang menutup kelopaknya menjelang malam. Hanya rasa kecewa yang menjalar pelan, seperti akar yang mencari air di bawah lantai.
Di luar rumah, angin melintas membawa wangi bunga. Aromanya menggantung di udara, samar dan abadi, menempel di langit sore. Di kebun belakang, tujuh rumpun bunga bergetar pelan, seolah menunduk dalam doa.
***
Malam itu, Kakek Danang dikebumikan. Aku berdiri di ambang makam, menatap para orang tua yang tampak lega. Wajah mereka seperti baru selesai menunaikan tugas, bukan kehilangan. Tubuh mereka gelisah, seakan ingin segera pergi. Bergegas membagikan warisan yang selama ini mereka damba-dambakan. Ini hanya prosesi, seperti tanda tangan di buku kehadiran sebelum pulang ke rumah masing-masing dan menerima gaji. Kelak, apakah aku juga akan seperti mereka saat orang tuaku mati?
Pandanganku kini jatuh pada kamboja, satu-satunya pohon yang menaungi makam Kakek Danang. Di bawahnya terbuka tujuh lubang kecil di tanah. Menurut pengurus pemakaman, jauh hari sebelumnya Kakek sudah berpesan agar lubang-lubang itu disiapkan, katanya untuk tujuh bunga istimewa yang hendak ia selamatkan. Namun, bunga-bunga itu tak pernah datang. Lubang-lubang itu tetap menganga, seperti menunggu sesuatu selain bunga.
Ketika para pelayat pergi, dunia mendadak terasa lebih sunyi. Tinggallah kami—ketujuh cucu yang menolak beranjak. Rasanya mustahil menerima bahwa Kakek telah benar-benar pergi. Siapa yang akan memeluk kami ketika beban hidup terasa tak tertahankan? Siapa yang akan menerima kami tanpa syarat?
Orang tua kami mencoba menarik-narik tangan, menyuruh kami pulang. Pulang? Bagaimana mungkin, jika satu-satunya rumah yang pernah kami miliki baru saja hilang?
Angin berembus lagi, kali ini membawa bisikan yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh bunga-bunga. Suara halus seperti seseorang mengunyah perlahan di bawah sana. Dika yang berdiri di sebelahku memejamkan mata.
“Kau dengar itu?” tanyanya.
Aku mengangguk, tetapi suaraku tertelan keheningan.
Embusan angin berhenti. Lalu sesuatu yang aneh terjadi. Tanah di bawah kaki kami bergeser lembut seperti kedua tangan yang merentang hendak memeluk. Ada seseorang yang menunggu kami di dalam.
Dika sedikit mengerang kemudian tersenyum. Tubuhnya melengkung seperti batang muda yang perlahan tumbuh. Dari kulitnya keluar serat hijau, licin, dan bergetah. Ana menatap jemarinya yang merekah menjadi cabang. Darla menutup mata dengan tenang ketika rambutnya berubah menjadi daun-daun kecil. Mona tertawa pelan ketika kulitnya memantulkan warna keemasan. Rani menggenggam udara dan melihat kelompak-kelopak ungu bermunculan dari tubuhnya. Anya menatap bahunya yang mengeluarkan wangi malam.
Aku merasakan akar-akar halus muncul dari telapak kakiku. Jari-jariku terbelah menjadi akar-akar halus menjulur, menembus bumi yang hangat dan berdebar. Tidak ada rasa sakit, justru seperti disentuh oleh tangan Kakek ketika dulu menuntunku melintasi pematang sawah. Lalu aku tahu, kami sedang dipanggil kembali oleh sesuatu yang lebih tua dari darah dan bunga. Apakah ini hadiah yang Kakek janjikan?
“Ini hadiah Kakek yang terindah,” bisik Darla seolah membaca pikiranku.
Orang tua kami berteriak, panik dan tak berdaya, namun tangan mereka tak mampu menjangkau kami. Di tengah kegaduhan itu, kami justru merasakan ketenangan yang lembut mengalir. Kami menatap para orang tua, mengucapkan salam perpisahan paling damai tanpa suara. Kami sama-sama memahami bahwa yang memanggil kami bukan kematian, tetapi rumah.
***
Makam Kakek Danang terletak di bawah pohon kamboja yang menaungi tujuh rumpun bunga: mawar, melati, lavender, matahari, sedap malam, widuri, dan lili. Ketujuhnya menggugurkan kelopak tanpa mengenal musim, seakan terus hidup dalam kesedihan dan kebahagiaan yang tak bisa dibedakan. Orang-orang menyebutnya tujuh rumpun bunga yang menangis.
Hanya kami yang tahu, itu bukan tangisan. Itu cara kami merayakan kebahagiaan dengan tetap bersama.







