“Tahu nggak, kenapa senja itu menyenangkan? Kadang ia merah merekah bahagia, kadang ia hitam gelap berduka, tapi langit selalu menerima senja apa adanya.”

KURUNGBUKA.com – Film Sore: Istri dari Masa Depan garapan Yandy Laurens ini salah satu karya yang bikin saya termangu cukup lama setelah credit title, sambil terus nangis jelek. Rasanya nggak cuma selesai di layar, tapi ikut nyangkut di kepala dan di hati. Kalau kamu pernah nonton serial web-nya di YouTube, anggap saja itu seperti latar belakang—setup kecil yang nggak terlalu memberi pengaruh, karena filmnya berdiri sendiri dengan alur yang sangat berbeda.

Cerita dibagi dalam tiga babak yang masing-masing menawarkan sudut pandang berbeda; Jonathan, Sore, dan Waktu. Tapi transisinya halus dan tetap relevan. Yang menarik buat saya adalah bagaimana tiap bagian bikin kita ikut terlibat dalam kondisi emosional karakter. Capek, bosen, kehilangan arah, dan rindu yang bikin nyesek. Ada satu titik di film ini yang bikin saya merasa… hampa banget. Nggak sedih secara berlebihan, tapi kosong. Dan justru kekosongan itu yang mengganggu sampai film selesai.

Hormat setinggi-tingginya buat Sheila Dara dan Dion Wiyoko yang memainkan dua karakter utama dengan sangat brilian. Ada beberapa momen mereka hanya bermain mimik wajah tapi perasaannya tersampaikan dengan sangat baik. Sulit saya membayangkan bagaimana Sheila mendalami karakter Sore yang mempunyai banyak lapisan perasaan dan timeline yang berganti-ganti. Selain itu, saya tidak berhenti-hentinya kagum dengan bagaimana Yandy Laurens menulis skenarionya, penasaran banget pen liat omaygat! Jujurly, ini film terbaik beliau sejauh ini.

Adegan-adegannya pun disusun dengan sangat indah. Penyuguhan tiap shot-nya bukan sekadar mau “wah” belaka, tapi semua pas pada porsi dan kebutuhan cerita. Beberapa malah berasa kayak lagi di dalam galeri lukisan, indah banget, tapi tetap dalam konteks cerita. Scoring-nya juga jujur aja, sangat berperan besar. Musiknya nggak cuma tempelan, tapi benar-benar mengangkat suasana dan memperkuat rasa magis filmnya. Saya sampai merinding beberapa kali karena musik dan gambarnya klop banget!

Yang bikin saya makin salut, film ini tahu kapan harus pelan, tahu kapan harus bikin penonton frustrasi, dan tahu kapan harus menahan sesuatu yang emosional sampai benar-benar mencapai klimaksnya. Beberapa kali saya sampai tahan napas karena mengira sudah mencapai akhir cerita tetapi rupanya belum. Mungkin itu kenapa di beberapa bagian kita bisa ikut ngerasain capeknya karakter utama. Bukan karena kita bosan, tapi karena memang filmnya ngajak kita ikut lelah bareng.

Tokoh Marko jadi mentor untuk Sore yang muncul di pertengahan cerita juga punya peran penting. Lewat dialognya, kita diingatkan bahwa ada tiga hal yang nggak bisa diubah: masa lalu, rasa sakit, dan kematian. Tapi dari situ juga kita belajar buat nggak terus-terusan ngotot memperbaiki semuanya. Karena pada akhirnya yang bisa mengubah diri kita, adalah kita sendiri yang memiliki kemauan dan kesadaran mana yang baik dan mana yang buruk untuk kita jalani. Dosen saya pernah bilang: kamu egois kalau kamu nggak mikirin bagaimana kematian kamu nanti, karena artinya kamu nggak mikirin kondisi orang-orang di sekitar kamu.

Yang saya suka dari film ini adalah keberaniannya mengajak kita untuk jujur dengan diri sendiri dan berdamai dengan masa lalu semenyakitkan apa pun. Rasanya jarang ada film Indonesia yang nggak takut bikin penonton mikir dan ngerasa nggak nyaman. Perasaan yang saya rasakan setelah nonton ini tuh mirip waktu pertama kali nonton film-filmnya David Fincher kayak Fight Club, Seven, atau The Game. Bukan dari segi genre atau gaya, tapi dari efek setelah menontonnya. Ada sensasi ditinggalin begitu aja tanpa persiapan, tapi justru itu yang bikin puas. Kalau secara cerita justru berasa nonton anime kayak Your Name, yang main-main dengan time travel.

Dan ending-nya… saya nggak akan cerita. Tapi ada satu momen kecil yang bikin saya speechless. Nggak tahu kenapa, mungkin karena akhirnya ekspektasi saya sebagai penonton terpenuhi.

Film ini bukan buat semua orang. Tapi kalau kamu suka film yang punya kedalaman pesan dan ngajak kamu mikir, yang lebih banyak main di rasa dan kenangan, ini layak banget ditonton. Dan bisa jadi salah satu film terbaik tahun ini. Kalau kamu pernah kehilangan seseorang, atau pernah berharap waktu bisa diputar ulang, film ini mungkin akan terasa sangat dekat dan personal untuk dinikmati.

Skor: 9.5/10

*) Image by IMDb.com