DENGERIN MITOS PULANG YANG LAGI KETINGGALAN KERETA

Hidup itu kayak kaki yang kesemutan kelamaan duduk,
terjebak, nggak bisa bangun lagi,
pulang? Itu cuma mitos,
seperti kucing yang lupa jalan balik,
akhirnya tidur di tempat yang asing.

Kaki-kaki itu ngeluh,
mau pulang, tapi terdiam kaku,
darah berhenti mengalir,
ingat rambut kekasih,
kayak mie instan yang kadaluwarsa.

Air mata kekasih, seperti minyak goreng
yang udah kering, dipanasin lagi di wajan
berlubang,
mengukir jejak yang nggak punya arti.

Pesan-pesan yang nggak sampai,
seperti struk belanja yang tak pernah dipakai,
kita terus berharap,
ada yang datang, bilang:
“Tunggu, ini ada yang baru!”
Tapi tetap nggak ada.

Trauma yang nggak pernah selesai,
jadi bayangan di kaca jendela kereta,
mundur ke arah mimpi buruk.
Kita lari ke arah yang salah,
nungguin waktu yang udah hilang,
berharap bisa kabur dari hal-hal
yang nggak pernah kita ngerti.

Di akhir hari, sisa-sisa kebodohan
tetap mejeng di meja makan.
Kita duduk, menatap jalan yang tak berujung,
lihat orang-orang nungguin kereta
yang nggak datang,
tetap berharap, meskipun mereka tahu,
mereka cuma jadi bagian dari mitos
yang nggak selesai.

2025

***

SENI HIDUP CAPEK

Pagi yang lagi mandiin matahari,
tapi airnya nggak pernah cukup buat
nutupin dosa-dosa
yang sudah kamu utarakan berulang kali,
kayak lagu pop yang selalu diputar di radio
yang sama,
yang sudah mati dan diputar di otak
seperti kaset rusak yang tak bisa berhenti ngomong.
Benang-benang cerita itu,
yang katanya bisa bikin pusing,
cuma bikin aku mikir,
kenapa, ya, lengan langit bisa lebih pendek
dari pipi kananku.
Apalagi luka cuma bekas ciuman dari
mantan,
yang cuma tinggal kenangan manis
di telapak tanganmu yang mulai kehabisan
kata-kata.

Genangan pikiran itu jangan dibawa ribet,
nggak usah khawatir,
habis dipakai buat mainan air,
langsung kering sendiri.
Katanya, dilahap keabadian,
tapi apa pula yang abadi,
kalau kayak janji yang cuma angin doang?
Tapi kita masih aja nyimpan stiker kosong,
buat ngarep bisa ingat sesuatu yang bisa tahan 1000 tahun.

Lihat aja, tuh dunia terus
berputar,
tapi kita masih stuck di sini,
nungguin sesuatu yang tak pasti,
seperti tiket berhadiah gratis jalan-jalan yang nggak pernah ada,
berhadiah janji kosong.
Keabadian mah cuma omong kosong
yang dipaksa bisa teriak di dalam kepala,
tapi yang didengar cuma suara perut dan lapar,
bukan suara hati yang sudah kebakar,
sama microwave harapan gosong.
Jadi gitu, mari kita nikmatin aja,
dunia ini cuma taman kanak-kanak,
buat seru-seruan aja.
Kita semua ibarat orang yang lagi sarungan,
nunggu di halte bus nggak pernah
datang,
nggak tahu mau kemana,
tapi tetap aja duduk,
ngitungin berapa kali cicilan yang belum
dibayar malah nambah lagi,
kayak lemari tua yang terus nambah baju
baru,
tapi kita nggak pernah pergi jalan-jalan.

Dunia cuma ruang lingkup
buat nunggu konser yang nggak
pernah jadi,
goyang-goyang sambil nyelipin es batu
dalam gelas kaca retak,
terus berharap bisa kasih rasa manis di
mulut yang sudah lupa rasa.
Serius, ya, kita kayak bayangan yang
ditunggu buat dijepret,
tapi nggak ada kamera,
dan kita juga nggak tahu siapa yang
nginget kita.

2025

***

HIDUP CUMA SEKALI, NGGAK ADA REMEDIAL

Busur terbang dari langit,
nabrak ke garis-garis wajah awan yang keriput,
jadi pori-pori cinta yang basi,
numpang mojok di kepala,
berkelap-kelip kayak buku pelajaran
yang nggak pernah kubuka sebelum ujian.

Laut menari samba,
menggandeng ikan malas yang nggak mau
jemur badan di pasir.
Batu-batu kecil ngeluh tentang malam
yang kelamaan ke-puase,
“Dinginnya kayak nyimpan stiker amarah,
yang nempel di langit-langit malam,”
bisik mereka.
Sementara pohon-pohon mengubah foto
profil mereka setiap lima menit sekali,
seolah-olah itu cara instan
buat kabur dari rasa bosan.

Angin datang,
bawa gosip dari pulau sebelah,
berteriak pakai toa,
“Jangan terlalu dipikirkan,
santai aja, cuy!
Ini cuma hidup, nggak bakal ada remedial.”
Langit kuning muda lagi belajar
ngerajut kata-kata
dari awan-awan yang suka nyasar,
yang nggak bisa baca Google Maps.

Bintang insomnia sibuk bergadang,
nunggu senja yang lagi bawa kabar buruk;
tentang pagi yang lupa nyalain alarm,
atau matahari yang mogok kerja,
nggak kasih alasan.

Aku lompat dari bayanganku sendiri,
yang diam-diam naksir pada jejak kaki orang asing.
Mungkin karena jejak itu bau ikan asin,
atau karena jalannya jadi titik-titik
kayak rasi bintang.
Kelelawar mimpi jadi kupu-kupu,
katanya, hidup lebih indah
kalau nggak nyeker.

Di bibir angin mampir lagu-lagu tua,
tentang gerimis yang suka nyuri warna dari pelangi,
dan pelangi yang malas workout,
rebahan di perut awan sambil makan
donat senja.

Di layar sinetron dunia lain,
endingnya tiba-tiba dipotong,
semua orang pura-pura tahu
cerita lengkapnya,
padahal nggak ada yang pernah nulis skenarionya,
dan aku cuma bayanganku sendiri,
pikun jalan pulang ke tempat terakhir
aku merasa utuh.

2025

*) Image by istockphoto.com