Di Kota yang Tak Menyebut Namaku
kota ini menatapku
dari balik jendela berembun,
ia tahu namaku
tapi memilih diam
seperti angin yang lupa arah pulang.
di trotoar retak
kutinggalkan jejak
dari sepatu murah dan doa ibu
yang masih mengepul
di punggung baju kerjaku.
warteg jadi pelabuhan,
nasi dingin adalah satu-satunya teman
yang tak banyak bertanya.
aku menyesap sambal seperti menyesap masa lalu
yang tak sempat kubakar habis.
kadang aku ingin runtuh
di depan mesin ATM,
tapi bayangan adik
yang menggenggam mimpi dengan buku bekas
membuatku berdiri lagi
meski dengan lutut yang lelah.
(2025)
***
Perempuan yang Tak Lagi Menyebut Kata Pulang
dulu,
pulang adalah kata paling manis
yang kusimpan di ujung minggu.
kini,
ia berubah menjadi benda asing
seperti boneka lama
yang tak lagi punya suara.
kota ini mengajarkanku
bahwa rumah tak selalu berupa genteng merah,
tapi bisa jadi sepasang tangan sendiri
yang terus menampung kehilangan.
aku tak lagi mencari terminal
atau tiket murah,
karena di sini,
aku telah menanam luka
dan menyiraminya dengan kerja.
suatu saat,
mungkin aku pulang
dengan tubuh lebih kukuh
dan mata yang tak lagi basah
bukan untuk kembali,
tapi untuk mengucap terima kasih
pada tanah yang mengirimku pergi.
(2025)
*) Image by Titan Sadewo – Kembali