Lelaki paruh baya yang terlihat kumal dan gempal tubuhnya itu sering dipanggil Parno oleh anak-anak. Entah kenapa anak-anak di kampung itu memanggil lelaki kumal itu sebagai Parno. Yang mereka tahu bahwa si Parno ini adalah orang gila yang sering duduk di bawah pohon nangka dekat kebun Pak Haji Narto. Mungkin awalnya lelaki yang berambut gimbal, dengan kumis dan jambangnya yang lebat membuat anak-anak merasa takut atau paranoid. Akhirnya anak-anak sering berseloroh, ‘orang gila itu bikin parno’. Akhirnya, dari pembicaraan-pembicaraan itu muncullah penamaan untuk lelaki itu dengan sebutan Parno. Tetua kampung pun tidak mengetahui dari mana asal lelaki gila itu. Tidak ada catatan atau silsilah bahwa Parno adalah warga kampung itu.

Tempat “tinggal” Parno di bawah pohon nangka itu dekat dengan rumah penduduk. Meskipun awalnya mereka takut, namun orang-orang di kampung itu bisa menerima kehadirannya meskipun tak pernah bertegur sapa. Sesekali ada warga yang memberinya makan, cukup menyimpannya di dekat pohon itu dengan penuh hati-hati. Ada juga warga yang memberinya pakaian karena Parno terkadang kelihatan setengan telanjang. Itu pun dengan menyimpannya begitu saja. Entah bagaimana Parno selalu menghabiskan makanan dan memakai baju yang diberikan warga. Kalau menghabiskan makanan wajar saja karena instingnya untuk menyambung hidup mungkin masih ada. Namun untuk mengenakan baju sendiri, warga kadang heran. Apakah Parno ini benar-benar gila? Sebab, dia bisa mengenakan pakaian dengan baik tanpa pernah ada warga yang memergokinya.

Akhir-akhir ini Parno tidak kelihatan berdiam di bawah pohon nangka. Dia pergi entah ke mana. Di satu sisi warga merasa senang kalau Parno tidak kembali lagi. Bukan karena takut, tapi karena risih, tidak sedap dipandang mata kalau ada Parno di bawah pohon nangka. Warga dari kampung lain yang baru tahu keberadaan Parno suka memutar balik mengambil jalan yang lain karena takut. Namun, di sisi lain warga pasti merasa kehilangan, sebab selama ada Parno di sana tingkat pencurian nyaris nol persen. Belakangan diketahui kalau Parno suka jalan keliling kampung saat tengah malam. Mungkin itulah yang menyebabkan maling takut menjamah kampung ini.

“Ke mana kira-kira si Parno pergi? Sudah tiga hari tidak kelihatan,” ujar seorang warga yang hedak ke sawah.

“Oh, iya ya…, saya baru sadar kalau di bawah pohon nangka tadi, si Parno tidak ada. Biasanya kan dia suka ada di situ,” ujar warga satunya lagi.

“Tapi apa peduli kita, kok kita jadi perhatian sama si Parno.”

“Iya juga ya….”

***

Pada hari keempat, tiba-tiba saja Parno sudah ada lagi di bawah pohon nangka. Dia sedang duduk bersandar pada batang pohon. Rimbun daun pohon nangka itu membuat Parno tidak tersentuh paparan sinar matahari. Sesekali dia meracau entah apa yang dibicarakan. Waktu yang lain Parno akan tidur pulas tanpa pernah memikirkan apakah hari ini dia bisa menemukan makanan atau tidak. Sepertinya tidak makan satu minggu pun dia akan tetap kuat bertahan hidup.

Ketika pohon nangka itu berbuah, tidak ada warga yang berani memetiknya. Padahal buah nangka yang dihasilkan adalah yang terenak. Isinya besar-besar, seratnya jarang, dan rasanya sangat manis. Siapa yang sering menikmati kelezatan buah nangka itu? Tiada lain adalah si Parno.

Keadaan yang sering membuat khawatir warga adalah ketika musim hujan. Meskipun hujan besar dan angin kencang, si Parno tetap tenang diam di bawah pohon itu. Dia seperti tidak pernah merasakan dingin meskipun bajunya basah kuyup. Dia pun tidak khawatir kena halilintar. Malah, pohon nangka itu seolah melindunginya. Kalau tanah mulai becek karena tergenang air hujan, si Parno akan naik ke atas pohon itu, dan duduk bertengger di antara dahan. Meskipun warga kadang kasihan melihatnya, tetapi tidak ada yang mau untuk membawanya ke dalam rumah.

***

“Tumben si Parno tidak ke mana-mana,” celetuk Bu Mira yang hendak pergi ke pasar bersama Bu Susi.

“Iya. Biasanya dia suka pergi seharian, baru sore hari datang lagi,” sahut Bu Susi.

“Sudah hampir dua minggu loh si Parno itu hanya duduk-duduk atau kadang rebahan seharian. Tidak peduli apakah lapar atau tidak. Kayaknya orang gila tidak pernah merasa lapar ya,” kata Bu Mira sambil tertawa cekikikan.

“Kalau kita hanya duduk atau diam berhari-hari di rumah mana tahan ya. Badan serasa dikurung seperti burung dalam sangkar,” timpal Bu Susi.

“Iya bener. Nggak kebayang ya kalau kita menghabiskan waktu hanya diam saja di rumah. Apalagi kalau tidak melakukan apa-apa seperti menunggu kematian saja.” Mereka pun terus berjalan menuju pasar.

Anak-anak sudah tidak merasa takut lagi jika lewat ke tempat si Parno berdiam diri. Anak-anak sudah tahu kalau si Parno tidak pernah membuat ulah apalagi menyakiti atau mengejar anak-anak.

Pak RT pun seakan sudah menerima kehadiran si Parno sebagai bagian dari warga kampung ini. Hanya saja karena tidak waras, si Parno tidak pernah diajak untuk bergabung melakukan berbagai kegiatan di kampung. Meskipun sempat waktu pemilihan presiden akan dipaksa datang ke tempat pemungutan suara, namun si Parno seakan sadar diri bahwa dirinya itu bukan orang waras. Pada hari pemilihan itu tiba-tiba saja si Parno tidak ada sejak subuh, dan baru kembali lagi menjelas sore saat batas waktu pemungutan suara sudah ditutup. Terkadang ketidakwarasan justru menjadi kewarasan di saat orang-orang merasa diri paling waras.

***

Sudah satu minggu ini semua warga tiba-tiba panik. Wabah misterius tiba-tiba menyerang kampung ini. Enah dari mana datangnya, tiba-tiba separuh warga kampung ini sudah terpapar wabah yang gejalanya aneh. Gejala yang paling kentara adalah warga menjadi merasa tidak kenal dengan tetangganya, bahkan dengan keluarganya. Tatapannya kosong dan linglung. Ketika berpapasan di gang, warga yang terpapar tidak lagi saling menyapa atau bersalaman. Mereka justru saling menghindar. Tak ada lagi tawa canda atau kongkow-kongkow di bale-bale depan rumah. Situasi semakin mencekam ketika ada warga yang terpapar meninggal dunia.

Tajuk tempat warga shalat jumat atau berjamaah pun tiba-tiba sepi. Setiap warga saling curiga akan menularkan wabah misterius ini. Apalagi jika ada salah seorang anggota keluarganya diketahui terpapar. Kampung lain pun segera menutup diri terhadap kedatangan warga dari kampung ini. Warga kampung lain pun tidak berani lagi datang ke kampung ini karena takut ketularan. Warung-warung di kampung ini tutup, orang-orang tidak lagi bebas lalu-lalang. Pak RT menyampaikan pengumuman lewat toa tajuk bahwa semua warga harus mengurung diri di rumah, apalagi setelah ada warga yang kedua meninggal dunia. Ancaman gagal panen dan kelaparan benar-benar mengancam jika kepala desa tidak cepat menyupai bantuan sembako. Itu pun harus disalurkan dengan pengawalan ketat dari pihak puskesmas dan aparat keamanan.

Minggu kedua wabah kian menjadi. Tercatat sudah 15 warga yang diduga tertular wabah itu meninggal dunia. Kecemasan, ketakutan, dan bayang-bayang kematian semakin membuat suasana kampung ini sangat mencekam. Lantunan ayat-ayat suci samar-samar terdengar dari setiap rumah. Doa-doa dipanjatkan setiap siang dan malam. Warga menyadari bahwa ternyata manusia itu sangatlah lemah dan tidak berdaya.

Wajah-wajah warga kampung ini sangat tegang dan stres. Menjalani hidup dengan penuh tekanan bukanlah sesuatu yang sehat. Dengan memikirkan kerabat dan tetangga yang terkena wabah atau meninggal dunia karena wabah sama saja mengundang wabah itu datang merasuki setiap warga. Di tengah kecemasan dan ketakutan yang memuncak, hanya si Parno yang duduk-duduk tenang. Kadang rebahan seperti biasanya di bawah pohon nangka.

Si Parno tidak ada menunjukkan gejala tertular wabah misterius ini. Terlebih selama ini si Parno tidak pernah kontak secara fisik dengan warga. Warga selalu menjaga jarak dengan si Parno karena gila, kumal, gimbal, dan bau. Pada minggu ketiga wabah misterius ini menyerang warga, Pak RT mulai menyadari bahwa hanya si Parno lah yang bisa hidup normal. Dia beraktivitas seperti biasanya, duduk-duduk di bawah pohon nangka, rebahan, meracau sambil melihat daun yang bergerak ditiup angin, dan kadang bertengger di dahan pohon ketika hujan. Ketidaknormalan yang biasa dilakukan Parno itu sekarang malah menjadi sesuatu yang normal bagi dirinya, di tengah ketidaknormalan aktivitas warga akhir-akhir ini.

Pak RT pergi menemui si Parno. Pak RT ingin melihat lebih dekat apa yang dilakukan si Parno selama ini. Siapa tahu Pak RT bisa menemukan cara jitu menghindari dan mengusir wabah misterius ini dari kampung.

“Hai, Parno! Apa kamu tidak merasa sakit dengan adanya wabah ini? Pegal-pegal gituh? Atau mual dan pusing?” Pak RT bertanya dari jarak satu meter.

Parno seolah tidak mendengar ucapan Pak RT. Dia asyik sendiri memainkan ranting pohon. Menggambar sesuatu yang tidak jelas di atas tanah yang sedikit berpasir.

“Parno, apakah kamu merasa cemas dengan keadaan sekarang? Lihatlah warga di sini sudah banyak yang meninggal karena wabah misterius ini. Saya pun sangat cemas, jangan-jangan menanti giliran untuk mati,” Pak RT mencoba terus mengajak Parno bicara.

Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulut Parno untuk menjawab semua pertanyaan Pak RT. Parno malah bersandar pada batang pohon, kemudian tidur dengan pulasnya. Pak RT pun kembali ke rumahnya dengan perasaan yang tidak menentu.

***

Minggu keempat warga semakin hidup dalam ketakutan dan bayang-bayang kematian. Jumlah warga yang meninggal dunia kembali bertambah. Sekarang sudah 30 orang yang harus meregang nyawa akibat wabah misterius ini. Kampung tetangga semakin waspada. Sedangkan petugas kesehatan dari puskesmas masih terus berupaya mencari tahu penyebab wabah ini.

Pak RT merasa kalut dan putus asa. Kredibilitas kepemimpinannya selama ini dipertaruhkan di hadapan Tuhan dan seluruh warga. Sebagai upaya seorang RT, Pak RT mengajak warga yang masih hidup untuk meniru pola hidup si Parno.

“Apa? Pak RT juga sudah gila?” teriak Mas Tikno ketika mendengar ajakan Pak RT.

“Namanya juga ikhtiar. Setelah saya merenung dan memperhatikan pola hidup si Parno yang ternyata sampai sekarang sehat dan bugar, tidak ada salahnya kita meniru si Parno.

“Akhh… ini benar-benar rencana gila!” Mas Tikno semakin marah. Tapi, Pak RT mencoba tetap tenang.

“Ya, sudah kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa,” Pak RT pergi menuju tempat si Parno.

Beberapa warga yang manut pada Pak RT ikut serta juga. Mereka berpenampilan seperti si Parno. Baju kumal dan compang camping, badan dibuat bau dan dekil, rambut dibiarkan kusut dan gimbal. Mereka pun duduk di dekat si Parno, menirukan segala gerak geriknya. Tidak ada yang berbicara. Bergerak pun seperlunya. Pak RT dan beberapa warga seperti sedang bertapa dan menjadi murid kebatinan si Parno. Mereka berkeyakinan bahwa wabah ini hanya menyerang orang-orang waras. Ketidakwarasan diharapkan dapat membuat wabah ini segera hilang dari kampung ini agar warga bisa hidup dengan kewarasan yang baru.

***

Malam pada hari terakhir bulan ini terasa berbeda. Langit yang bertabur bintang terlihat lebih indah. Dalam keadaan antara sadar dan tidak karena kantuk, Pak RT mendengar seseorang sedang berdoa khusuk sekali.

Pagi-pagi warga yang tertular wabah ini datang berhamburan ke tempat Pak RT dan sebagian warga yang berdiam di bawah pohon nangka tempat si Parno biasanya. Warga yang datang merasa sangat sehat dan bugar ketika bangun tidur. Mereka hendak menyampaikan kabar gembira pada Pak RT bahwa mereka sudah sembuh. Pak RT tidak bisa berkata-kata. Pak RT hanya tersenyum sambil menitikan air mata. Pa RT pun baru menyadari bahwa si Parno sudah tidak ada di sampingnya.***

Banjaran, 1 Mei 2020