Sebuah komputer bernomor 07 berada di sudut warnet, dekat dispenser galon yang kadang-kadang bocor. Keyboard sedikit lengket karena pernah ketumpahan es teh manis, dan mouse agak cerewet soal alasnya. Kalau tidak pakai kertas bergambar pahlawan, ia mogok.
Keyboard merasa dirinya agak superior karena setiap hari dipakai anak paling ramai di warnet. Adalah Rama, seorang bocah kelas 8 yang tidak pernah serius belajar, tapi jago bikin meme dan nulis status Facebook lucu. Rama selalu datang dengan sandal jepit basah, membawa kerupuk di saku, dan memiliki ide-ide gila di kepalanya.
Keyboard: “Ketik Apa Hari Ini, Nak?”
Keyboard punya memori ketikan yang hebat. Ia ingat status Rama minggu lalu yang viral tentang ‘Kalau cinta ditolak, minumlah teh kotak. Setidaknya masih ada yang manis dan kotak.’
Lucu sekali. Bahkan tombol Enter ikut tergelak.
Keyboard bangga menjadi bagian dari kejenakaan harian Rama. Kadang, Rama menulis surat cinta pakai gaya pantun absurd seperti:
‘Kalau kau ikan, aku kolam renang. Kalau kau siaran, aku saluran TV lokal.’
Dan lalu Rama ketawa sendiri.
Sementara, Mouse suka mengkhayal. Mouse sebenarnya lebih lembut. Ia sering mengamati Rama yang membuka gambar-gambar lucu, video kucing main gitar, bahkan kadang iklan-iklan aneh. Tapi Mouse punya mimpi besar bahwa ia ingin dipakai untuk desain grafis profesional. Setiap kali Rama membuka Paint dan menggambar wajah temannya seperti kentang, mouse merasa potensinya belum maksimal.
“Aku dibuat bukan hanya untuk klik meme!”
“Aku ingin menggambar logo… atau setidaknya stiker yang keren.”
Tapi ia tetap sabar. Siapa tahu Rama tumbuh jadi kreator digital besar.
Suatu hari, Rama menulis cerpen parodi tentang guru galak yang ternyata punya akun TikTok joget rahasia. Ceritanya lucu sekali. Semua tombol dipencet semangat. Mouse bahkan diarahkan ke fitur bold dan italic, sesuatu yang langka!
Tapi saat mau menyimpan, warnet tiba-tiba mati listrik.
Hening.
Keyboard panik. Mouse hampir histeris.
Tapi Rama hanya bilang santai, “Ah, enggak apa. Nanti aku tulis lagi versi yang lebih gokil!”
Sejak itu, Keyboard dan Mouse tahu bahwa mereka memang bukan bagian dari kisah tragis. Mereka bagian dari kekacauan yang bahagia dan itu lebih menyenangkan.
Rama mungkin akan dewasa. Mungkin berhenti datang ke warnet. Mungkin beli laptop sendiri. Tapi Keyboard dan Mouse di Komputer 07 akan tetap setia, menunggu anak-anak berikutnya datang dengan ide-ide aneh, status alay, dan gambar wajah temannya yang dimiripkan dengan tahu bulat.
Karena tawa, seperti ketikan, selalu punya tempat untuk kembali.
Setelah libur semester, Rama mulai jarang datang. Entah kenapa komputer 07 merasa sepi, walau anak-anak lain tetap bergiliran duduk di depannya. Tapi tak ada yang seheboh Rama. Hingga suatu sore datang seorang bocah baru yaitu Genta.
Genta berbeda. Ia anak kelas 6 SD yang kalem, tapi punya rasa ingin tahu yang luar biasa. Ia tak pandai bercanda seperti Rama, tapi ia penuh ide ajaib dan eksperimental.
Genta membuka Microsoft Word. Keyboard sempat berharap ia akan menulis puisi tapi tidak. Genta mengetik tentang Jurnal Rahasia, Penelitian Rahasia, Apakah Alien Bisa Ngidam Sate Padang?
Mouse langsung berkedut.
Lalu Genta mulai menggambar alien di Paint. Tapi bukan alien biasa, aliennya pakai sarung, pakai peci, dan sedang memegang tusuk sate dengan ekspresi serius.
Keyboard girang. “Wah, akhirnya ada penulis fiksi ilmiah lokal!”
Mouse pun semangat, mengarahkan kursor dengan presisi luar biasa, seolah setiap kliknya adalah sapuan kuas di kanvas digital.
Setiap minggu, Genta menulis satu episode baru dari ceritanya yang absurd seperti ‘Alien mencoba jadi tukang ojek online’ atau ‘Alien ikut audisi penyanyi dangdut’ atau lebih absurd lagi ‘Alien belajar membuat nasi goreng tapi tersesat di toko cat’. Judul-judulnya aneh bahkan isinya lebih aneh lagi, tapi semua diketik serius, dengan ilustrasi penuh warna dan dialog lucu.
Keyboard merasa berguna bahkan Mouse merasa kreatif. Bahkan printer di pojok warnet, yang biasanya menganggur, ikut bahagia ketika Genta mencetak bukunya dan menyatukannya pakai staples warna emas.
“Ini buku pertama saya,” kata Genta pada Mas Warnet.
“Saya mau jadi penulis alien, bukan penulis cinta-cintaan kayak Kak Rama.”
Tiba saatnya, Rama datang lagi. Ia duduk di Komputer 07 dan terkejut bahwa folder lamanya sudah ada subfolder baru berjudul, Alien Mencari Sambal Terasi.
Rama tertawa keras, “Siapa nih jenius yang bikin beginian?”
Genta muncul dari bilik sebelah, malu-malu, “Saya, Kak. Foldernya enggak sengaja saya simpan di situ.”
Rama tersenyum, lalu bilang, “Lanjutkan. Dunia butuh cerita alien sambal kayak gini.”
Dan sejak hari itu, Komputer 07 resmi jadi sarang kreatif tentang Rama dan Genta kadang duduk berdampingan. Satu nulis status lucu, satunya nulis alien menanam kangkung di Mars.
Keyboard tak pernah seceria ini. Mouse merasa akhirnya mencapai mimpinya, bukan jadi alat kerja kantoran, tapi bagian dari karya lintas generasi.
Komputer 07 makin sibuk saja. Bukan karena error, tapi karena ide-ide Genta dan Rama seperti mi instan tiga rasa yaitu cepat, aneh, dan bikin ketagihan.
Suatu sore, Genta mengetik dengan semangat sambil menjejali mulutnya dengan kerupuk,
“Alien kembali! Tapi kali ini bukan cari sambal atau sate padang.”
“Ia datang karena rindu… lemper isi abon!”
Rama yang duduk di sebelah langsung nyeletuk, “Gila. Alien lo tuh, bukan perantau dari Brebes.”
Genta nyengir. “Justru itu plot twist-nya, Kak. Ternyata alien itu dulu keturunan makhluk luar angkasa yang pernah transit di Pasar Minggu zaman Majapahit.”
Rama ngakak. “Lo tuh bakat jadi penulis sinetron galaksi.”
Di luar dugaan, cerita-cerita Genta mulai menarik perhatian anak-anak warnet lain. Bahkan Mas Iqbal, penjaga warnet yang biasanya cuma sibuk main catur online, ikut membaca dan tertawa.
***
Suatu sore, Rama sedang mengetik naskah baru di Komputer 07. Judulnya Kampung Alien Pencinta Cireng. Genta yang duduk di sebelah, sibuk bikin logo negara fiktif mereka yaitu Lemperon. Bentuknya bulat kayak lemper, warnanya hijau stabilo, ada ekor di atasnya.
Tiba-tiba Mas Iqbal datang bawa selebaran, “Ini ada lomba dari Dinas Kebudayaan. Judulnya ‘Ketik Cepat, Fantasi Hebat. Kalian bisa ikut tuh. Hadiahnya modem Wi-Fi!’.
Genta dan Rama langsung semangat. Tapi mereka punya satu masalah, bahwa keyboard Komputer 07 mulai rusak. Huruf “E” harus dipencet lima kali baru muncul. Tombol spasi suka lompat dua huruf. Dan paling parah adalah tombol Enter yang harus dipukul dengan sandal jepit biar nurut.
“Tapi kalau kita pindah ke komputer lain, keyboard-nya enggak keramat,” kata Rama serius.
“Betul,” jawab Genta. “Keyboard 07 ini udah kita rawat kayak kucing. Dia ngerti bahasa kita.”
Hari H lomba. Mereka datang pagi-pagi, bawa topi alien dari karton dan pin bergambar sambel terasi sebagai ‘Identitas Lemperon’. Tapi saat Genta mengetik paragraf pertama…
Keyboard 07 mati total.
Mereka panik. Rama mencoba sulap pakai stik es krim. Genta menyuapi keyboard dengan nasi kucing, tapi tidak berhasil. Lomba dimulai, peserta lain mengetik cepat, suara tek-tek-tek bergema seperti drum marching band.
“Apa kita nyerah?” tanya Rama.
Genta menatap layar kosong. Lalu… muncul ide.
Genta membuka Word dan menulis dengan mouse. Satu huruf, satu klik, pakai fitur Insert Symbol.
Sementara itu, Rama berdiri dan mulai orasi, “Kami tidak punya keyboard! Tapi kami punya imajinasi! Jika kalian mengetik dengan tangan, kami akan mengetik dengan hati! Jika kalian menulis fiksi, kami sedang membangun peradaban!”
Panitia bingung. Tapi karena terhibur, mereka izinkan Genta dan Rama lanjut.
Tiga jam kemudian, file mereka selesai. Judulnya Kenangan Terpendam dari Planet Lemperon. Isinya? Tentang dua sahabat yang berjuang mempertahankan warnet dari invasi alien berbentuk petugas kelurahan yang ingin ganti fungsi warnet jadi pos ronda.
Anehnya, mereka menang. Alasannya? Karena mereka satu-satunya yang naskahnya diketik dengan mouse dan berhasil bikin semua juri ngakak.
Mas Iqbal menangis haru. “Kalian memang absurd. Tapi absurd yang produktif.”
Sebulan kemudian, Komputer 07 dipajang. Keyboard rusak itu diberi plakat, ‘Keyboard Pejuang Imajinasi. Jasa-jasanya tidak bisa di Enter-kan’.
Sejak saat itu, di warnet Mas Iqbal, siapa pun yang duduk di Komputer 07 harus memberi salam dulu ke keyboard. Karena di sana, imajinasi bukan hanya ditulis tapi diperjuangkan.
Setelah tulisan-tulisan absurd mereka viral di media sosial, warnet Mas Iqbal benar-benar jadi terkenal. Bukan karena ada planet alien atau tombol keyboard bisa ngetik sendiri, tapi karena komunitas kecil bernama Ruang Lemperon tempat remaja nulis, ngedit, dan ketawa bareng tanpa takut dihakimi.
Genta dan Rama, yang awalnya cuma iseng, jadi sering diundang sekolah-sekolah untuk ngajarin nulis kreatif. “Nggak harus bagus dulu, yang penting nulis,” kata Genta saat diminta tips.
Masalah muncul bukan dari luar, tapi dari dalam diri mereka sendiri.
“Kita beneran bikin perubahan, Gen? Atau cuma jadi lucu-lucuan doang?” kata Rama sempat ragu.
Genta diam lama sebelum jawab, “Kalau tulisan kita bisa bikin satu anak yang kesepian jadi ngerasa ditemani, itu udah perubahan.”
Dan itu bukan teori semata. Satu hari, mereka menerima email dari anak kelas 8 di kota kecil, tertulis isinya: “Aku suka cerita kalian. Waktu aku sedih, aku ketawa pas baca ‘kucing pembaca puisi di ruang tamu. Makasih ya.”
Malam itu, mereka kembali duduk di warnet, di depan Komputer 07. Keyboard masih rusak sebagian, tapi jari mereka sudah hafal triknya. Di layar, mereka mulai mengetik bab baru, isinya bukan cerita fiksi absurd, tapi panduan menulis untuk pemula.
Di luar, hujan turun pelan. Di dalam, dua sahabat menulis kalimat pembuka yang akhirnya sangat nyata, tertulis, “Setiap orang punya dunia kecil di kepalanya. Yuk, kita tuliskan.”
*) Image by istockphoto.com







