Pagi itu, para buruh karet datang berjalan kaki hampir bersamaan dari berbagai penjuru. Mereka sedang menunggu jam kerja dimulai. Bagi mereka, bekerja mendahului jam kerja merupakan sebuah kerugian. Atasan tidak akan menghitung pekerjaan yang dilakukan tidak pada waktunya. Maka dari itu, para buruh memilih bersantai terlebih dahulu. Sebagian dari mereka mengobrol, merokok, dan sarapan. Sebagian lagi mengasah arit kecil yang biasa digunakan untuk mengelupas kulit pohon karet.

Seorang bertubuh gempal datang dengan mengendarai motor berkecepatan 75cc. Hanya beberapa orang di kota ini yang memiliki motor tersebut. Salah satu orang itu adalah bos kebun karet tersebut.

“Ayo semuanya, mulai bekerja! Para orang kaya asing sedang butuh karet kita,” seru orang yang gempal itu.

Satu persatu buruh mendekati bangunan besar yang tampak seperti gudang di depan perkebunan karet. Mereka mengambil sebuah tas gendong yang terbuat dari anyaman bambu untuk menaruh karet yang akan dipanen dari dalam gedung. Hampir semua kebagian tas. Ada juga tas yang belum bertuan. Mungkin itu milik seseorang yang sedang sakit atau sedang tidak niat untuk bekerja.

“Mau sampai kapan kita begini?” tanya Cahyo kepada beberapa orang di dekatnya.

“Entah, Kang. Kita hanya orang miskin. Kalau tidak begini, tidak bisa makan.”

Cahyo terdiam dan tidak ada lagi yang menimpalinya. Mereka fokus mengambil karet yang terkumpul di batok kelapa kemudian mengiris kembali batang pohon karet agar keluar cairan putihnya. Hal tersebut mereka lakukan dari satu pohon ke pohon lain. Yang terpenting, batok kelapa di pohon karet itu masih terdapat getah karetnya. Jika tidak ada, tentu sudah dipanen oleh orang lain.

“Aku dengar, kamu mengeluh dengan keadaan ini,” ungkap Tono kepada Cahyo.

“Iya, betul.”

“Lalu kamu ingin melakukan apa?”

“Entah.”

Muka Tono langsung masam. Ia berangsur-angsur meninggal Tono dan memilih wilayah yang masih jarang ada orangnya. Sebab karet di tempat itu tentu belum dipanen oleh teman-teman mereka.

Hari beranjak siang dan sinar matahari tepat berada di atas pohon karet. Tadinya mereka masih dapat terhindar dari matahari karena dipunggungi oleh pohon karet. Namun, ketika matahari sudah berada tepat di atas kepala, tidak ada lagi yang dapat melindungi. Kecuali mereka yang sengaja membawa topi dari rumah.

Di sisi yang lain, pria gembul itu bekerja melindungi dirinya dari terik surya. Ia berada di dalam gudang sambil menempelkan telepon di kupingnya. Tampak kesibukan pria gembul itu berbeda dengan buruh karet lainnya. Kesibukannya adalah menelpon atasan untuk melaporkan perkembangan bisnis karet yang ia kelola. Selain itu, ia juga menelpon mucikari langganannya yang akan dikunjungi nanti malam.

Bagi para buruh, waktu pagi hingga petang hanyalah waktu yang sekejap. Sebab mereka disibukkan oleh pekerjaan yang berulang-ulang hingga tertanam dalam alam bawah sadar. Pada jam petang juga, mereka harus menyetorkan karet yang dikumpulkan kepada pria gempal di gudang. Nantinya karet tersebut ditimbang dan ditukar dengan uang. Jika tas anyaman buruh hanya terisi setengah oleh karet-karet itu, maka dipastikan esok hari dia akan memakan nasi berlauk tempe. Jika tas anyaman berisi penuh, maka esok hari dia akan sarapan nasi berlauk ikan seperempat potong.

“Sungguh miris,” kata Cahyo di depan pria gembul setelah diberikan uang.

“Apa kau bilang? Kamu tidak mau uang itu? Sini kembalikan saja.”

Sudah barang tentu Cahyo tidak mau memberikan. Jika uang itu dikembalikan, besoknya dia akan pingsan kelaparan. Cahyo tetap menggenggam uang tak seberapa itu dengan sekuat-kuatnya sambil berjalan menjauh dari gudang.

“Waktunya istirahat.” Cahyo bergumam dalam perjalanannya. Lelaki itu mengurai beberapa lembar uang bernominal kecil. Namun, jika dibandingkan menganggur, lebih baik bekerja seperti ini. Cukup bermodal tenaga tak payah pusing, jika Tuhan berkehendak, maka besok dia dapat makan.

Waktu terasa begitu cepat ketika tidak melakukan apa-apa. Begitu pula waktu Cahyo setelah pulang dari kebun karet. Perasaan baru saja ia pulang petang, sekarang harus datang ke depan gudang. Menunggu kembali bos besar membuka pintu bangunan besar itu. Lagi-lagi dengan motornya, orang itu datang lalu membuka gudang.

Rutinitas mengambil karet, menyayat kulit pohonnya, dan berkeliling merupakan hal yang terjadi di luar alam sadarnya. Entah bisikan dari mana, rutinitas itu tergantung oleh sebuah pikiran. Aliran listrik dalam otak yang tak terbendung untuk segera disampaikan ke orang lain. Cahyo pun buru-buru mendekati temannya Tono.

“Apakah kita rugi jika mogok kerja?” Cahyo menepuk pundak Tono.

“Tentu saja. Jika tidak kerja, besok mau makan apa?”

“Tapi bagaimana jika seluruh pekerja mogok kerja? Apakah babi itu akan rugi?”

“Bisa jadi rugi, karena tidak ada yang memanen karetnya. Tapi apakah kau bisa menjamin seorang orang akan mogok kerja? Bisa jadi sebagian kekeh bekerja dan tidak menurutimu.”

Cahyo terdiam dan berpikir. Ucapan Tono cukup masuk akal. Perlu rencana lain jika harus memberikan pelajaran kepada pria seperti babi itu. Hampir lama Cahyo termenung lalu bos karet itu melihatnya. “Hei! Niat kerja atau tidak? Hanya melamun saja kerjaannya.” Cahyo buru-buru mencari pohon karet yang belum dipanen dan mulai mengumpulkan karetnya lagi.

Hampir setengah hari Cahyo berpikir cara menggulingkan sifat semena-mena pria babi. Namun, dia belum menemukan cara efektif dan masuk akal. Kerja sempat melambat karena berpikir dan melamun. Hal itu menarik perhatian Tono.

“Aku punya rencana. Bagaimana kita obrak-abrik saja gudang pengepulan di malam hari. Kita bakar karetnya, kita rusak tas bambunya, jika ada uang, kita ambil.”

“Ah, bukankah itu perilaku kriminal? Lebih kriminal mana orang kecil hanya semalam menjarah sedikit harta dengan babi yang selalu menyiksa puluhan orang?”

“Baiklah. Cara ini terlihat cukup masuk akal untuk sedikit memberi pelajaran pada makhluk gempal itu.”

“Baiklah, ikuti rencanaku. Nanti, tengah malam kau datanglah ke sini. Aku sering ke sini tengah malam karena rasa bosan di rumah. Tampaknya setiap tengah malam selalu sepi. Kamu ke sini. Cukup bawa minyak satu botol dan korek. Pagar kayu tua dan karet adalah bahan mudah terbakar.”

Cahyo terdiam dan mengiyakan dalam hati. Mereka kemudian berpisah seperti tidak terjadi apa-apa. Cahyo pergi ke timur kebun dan Tono pergi ke utara kebun. Mereka pergi dan Cahyo tidak merasakan lagi kepusingan dalam kepalanya. Sudah ada solusi sekaligus kawan dalam perjuangan. Ia tinggal menunggu waktu saja untuk beraksi bersama sohibnya itu.

Ketika tengah malam tiba, Cahyo menepati perintah kawannya. Ia membawa dua botol minyak karena takut sebotol saja tak cukup. Tak lupa pula pria itu membawa sebuah korek api. Sambil menunggu Tono, dia duduk bersandar di pagar dekat gudang. Rasa lelah bekerja di pagi hingga petang membuatnya hampir terlelap. Namun rasa kantuk itu hilang ketika tiga buah cahaya dari lampu motor menyorot badannya. Dalam batinnya berkata, apakah Tono membawa teman untuk memperlancar aksi ini?

“Sudah menunggu lama ya, Yo?” suara Tono dari belakang cahaya lampu motor.

Sembari berkata, Cahyo menutupi matanya dengan lengan. “Cukup lama. Kamu membawa siapa?”

“Aku membawa bos kebun karet ini.”

Sontak, Cahyo kaget. Saking kagetnya, dua botol minyak yang ia pegang jatuh ke tanah. Kata-kata sama sekali tidak bisa keluar. Kaki pun tidak bisa melangkah. Hingga akhirnya suara orang yang Cahyo takutkan pun terdengar.

“Ayo! Habisi pemuda miskin ini.”

Image by istockphoto.com