Image by istockphoto.com

Srak. Srek. Srak. Srek….

Bunyi itu. Aku terbangun dari tidur. Kupandang istriku yang masih tidur pulas. Ia sama sekali tak terbangun oleh suara berisik itu. Lalu aku beranjak menuju ruang kecil depan rumah, ruang biasa kami menata batu nisan yang kubuat. Mereka bergerak. Tiga batu nisan! Aku tersenyum, besok ketiganya pasti laku.

“Ini sudah tak masuk akal!” ucap istriku. “Kau bilang dengan cara ini bisa terjual!” tegasnya kembali.
“Mau bagaimana lagi, tak ada cara lain,” sanggahku. Aku masih tetap sibuk dengan cat putih dan kuas serta papan triplek bekas.
“Tak berpengaruh terhadap penjualan, kan?” Istriku berkata makin sengit.
“Kau lebih baik diam!” aku berpaling. Aku mulai menulis di papan itu.
“Tetap saja tak masuk akal! Kita bukan jualan pakaian, yang sudah tidak laku lalu diobral. Kita itu jualan batu nisan! Kau dengar? Batu nisan!”
“Emang salah mengobral batu nisan?” ujarku sambil mengaitkan papan bertuliskan; OBRAL BATU NISAN, yang baru kubuat di pohon pinggir jalan, aku tak menghiraukan kembali apa kata istriku yang terlalu sengit.

Aku tahu ini tak masuk akal, tapi aku kira ini harus kukerjakan mengingat sudah bertahun-tahun batu nisan itu diam saja tanpa tersentuh. Tegak tertata rapi hingga debu merebah nyaman di atasnya. Enggan pula kubersihkan. Aku hanya menunggu pengumuman kematian. Inilah pekerjaanku selama sepuluh tahun, membuat batu nisan dan menjualnya. Sisa-sisa batu yang sudah kupahat akan dijual di pasar untuk bahan bangunan.

Terkadang aku membantu para tetangga untuk memperbaiki motor mereka. Tapi akhir-akhir ini nasib sial menimpa, tak ada pekerjaan yang bisa kulakukan. Keluargaku tak ada rezeki, sementara persediaan beras menipis, istriku mulai berisik agar aku mencari pekerjaan lain, pun anakku melapor harus bayar uang sekolah yang lima bulan tertunda.

Intinya, bisnis batu nisan berarti membisniskan kematian. Aku hanya menunggu sebuah keluarga ditimpa kesedihan dulu baru aku bisa dapat rezeki. Masalahnya, tidak ada yang bisa meramal kapan datang kematian. Percayalah, bahwa setelah selesai membuat batu nisan, maka malaikat maut akan menjaganya selalu. Kemudian aku mulai percaya, bahwa tak ada malaikat berdiam di rumahku selain malaikat maut.

Biasanya, sekitar jam sebelas hingga jam tiga malam, batu nisan akan bergerak-gerak seperti terisi nyawa. Maka batu nisan itulah yang besok akan laku terjual. Aku teringat ketika masa awal aku melakukan pekerjaan ini, aku tertekan dan ketakutan. Tetapi kini aku berbalik bahagia jika sebuah batu nisan bergerak-gerak sendiri sebab itu berarti aku akan mendapat rezeki.

Tapi sayang, sudah bertahun-tahun tidak ada satu batu nisan pun yang bergerak. Ini berarti tak ada kematian yang datang. Aku mencela teknologi dan segala obat instan yang membuat manusia awet muda, semuanya membuat rezekiku mampat! Aku membencinya! Kemudian aku berpikir keras, apa yang bisa kulakukan agar batu nisanku laku terjual? Aku pun sudah cukup bosan melihat tumpukan batu nisan itu berdiri rapi dengan debu merebah di atasnya.

Ide cerdik pun melintas, aku meminta sisa cat dan papan triplek bekas pintu kamar tetangga, kutuliskan; OBRAL BATU NISAN. Meski istriku tak habis marah, tapi aku melakukan hal tak masuk akal ini untuk mencukupi kebutuhan keluargaku. Tak habis pikir, aku memberikan diskon 60% dari harga normal. Toh aku masih akan mendapat tambahan dari upah memperbaiki motor tetangga. Tapi ingat, jika keadaan ekonomi keluargaku sudah stabil maka aku akan mengembalikan harga batu nisan ke harga normal.

“Obral batu nisan?” seorang wanita paruh baya bertanya heran, dia tetanggaku. Aku yang terduduk di depan rumah sambil menghitung jumlah kebutuhan yang harus kubayar selama sebulan, lalu melirik ke wanita tersebut.
“Ya, lagi obral, Bu.” Aku berharap padanya.
“Berapa?” tanya wanita itu kembali.
“Saya kasih diskon 60%.” Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu pergi. Tiba-tiba istriku yang baru datang tergesa dari pasar berkata padaku, “Pak, kau tahu para tetangga bilang kalau kau gila karena mengobralkan batu nisan?” ucapnya dengan wajah kesal.
“Hiraukan saja! Sampai kapan pun aku tidak akan melepas tanda itu. Aku percaya tanda obral itu pembawa hoki dan pasti akan berhasil.”


Hari silih berganti, aku bangun pagi dan mengelap tiga batu nisan yang semalam bergerak-gerak. Mempersiapkan salah satu dari tiga batu nisan untuk kujual saat wanita paruh baya yang kemarin datang kembali.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku.
“Suamiku. Dia kena diabetes,” jawabnya.
“Kau pasti sedih.”
“Tidak. Dia memang sudah terlalu lama hidup, dia kena diabetes karena sering minum teh dengan gula yang teramat banyak setiap hari.”

Aku terdiam mendengar jawabannya. Kujual batu nisan itu, wanita itu kelihatan senang mendapat setengah harga lebih untuk batu nisan suaminya. Tak ada gurat penyesalan.

Baru beberapa jam setelah selesai mengantar batu nisan. Tiba-tiba tiga orang tetanggaku datang. Mereka mengeluarkan uang dan mengumpulkannya jadi satu setelah bertanya harga diskonnya.
“Siapa yang mati?” tanyaku.
“Kau tahu,” kata salah satu dari mereka sambil berbisik, “si rentenir itu tadi siang keracunan. Tak ada yang tau siapa yang meracuninya.”

Aku kembali mengantarkan batu nisan itu ke rumah rentenir tersebut. Rombongan tetangga yang membayar untuk batu nisan rentenir adalah mereka yang sering berutang pada rentenir itu.
Hari menjelang malam, sudah dua batu nisan laku. Kurang satu lagi. Siapa kira-kira yang akan meninggal? Aku heran dengan dua kematian tadi. Tak ada yang mati wajar, pikirku.
Kemudian tiba-tiba beberapa motor dan mobil polisi berhenti di depan rumahku. Istriku keluar dari rumah untuk melihat apa yang terjadi, anakku yang baru kelas lima SD pun sama. Empat orang polisi turun dan mendekatiku, aku heran ada apa. Mereka menanyai namaku dan bertanya apa benar aku telah mengobral batu nisan. Aku mengiyakan.
“Memang apa yang terjadi, Pak?” tanyaku.
“Kau ditahan atas tuduhan dua pembunuhan.”

Belum sempat aku membantah, mereka langsung menangkap dan melilitkan borgol di tanganku. Istriku menangis amat keras menolak aku tertangkap. Aku berontak. Aku mulai mendengar anakku menangis. Aku tak merasa telah membunuh siapa-siapa. Mereka bilang bahwa telah mendapat laporan dari beberapa warga karena hari ini ada dua kematian tak wajar yang disebabkan obral batu nisan milikku.

Aku termangu tak percaya, aku tetap berontak. Istriku menahanku dari polisi-polisi yang akan meringkusku. Saat aku didudukkan ke dalam mobil, anakku mencoba menarik-narikku. Dia tak ingin melepasku, polisi berusaha agar melepaskan genggaman anakku dariku.

Polisi lalu mencoba merayunya, tapi genggamannya malah tambah keras. Para tetangga mulai datang menyaksikan. Polisi mendorong anakku dengan kuat hingga ia tersungkur ke tanah. Semuanya terdiam. Aku refleks teriak memanggil nama anakku, begitu juga istriku. Kepalanya bersimpuh darah, aku berusaha keluar dari mobil, tanganku masih diborgol.

Dengan cepat kudekati anakku, suasana yang semula riuh jadi terdiam. Aku dan istriku berusaha menyadarkan anakku, badannya lemah, kepalanya bocor. Dia tak kunjung sadar. Kami menangis sejadinya. Tak ada denyut di nadinya. Sebuah duka datang di rumahku. Pihak kepolisian membayarkan ongkos penguburan dan batu nisan untuk anakku, batu nisan ketiga yang dibeli dariku, dan masih diobral!

Purwokerto, 16 Januari 2023